Menuju konten utama

Babak Baru Kasus BLBI Setelah Hakim Syamsul Terbukti Melanggar Etik

Sanksi etik pada hakim Syamsul Rakan Chaniago membuka kemungkinan baru terhadap pengusutan kasus megakorupsi BLBI yang melibatkan Syafruddin Arsyad Temenggung.

Babak Baru Kasus BLBI Setelah Hakim Syamsul Terbukti Melanggar Etik
Terdakwa kasus korupsi pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Syafruddin Arsyad Temenggung bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Kamis (14/9/2018). ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww/18.

tirto.id - Komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif tak dapat menyembunyikan keheranannya saat tahu salah satu kasus korupsi kelas kakap kandas, Juli lalu. Ia bilang putusan lepas (ontslag) Mahkamah Agung (MA) terhadap Syafruddin Arsyad Tumenggung dalam kasasi "aneh bin ajaib".

Ini adalah kali pertama KPK kalah di kasasi.

Keheranan Laode mulai terjawab pekan lalu, saat salah satu hakim terbukti melanggar etik. Syamsul Rakan Chaniago, satu dari tiga hakim kasasi Syafruddin--terdakwa kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)--bersalah karena bertemu Ahmad Yani, yang tidak lain merupakan pengacara Syafruddin.

Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah juga bilang Ahmad Yani melanggar etik karena menggunakan namanya sebagai kantor pengacara di Riau.

"Hakim agung seharusnya papan nama sebagai lawyer diturunkan. Tapi tidak diturunkan. Itu yang paling berat. Kan hakim adhoc," ujarnya, Minggu (29/9/2019).

MA menjatuhkan sanksi kepada Syamsul berupa sanksi etik dengan menjadi hakim non-palu selama enam bulan, sebagaimana diatur Pasal 21 huruf b Peraturan Bersama Ketua MA dan Ketua KY nomor 02/PB/MA/IX/2012-02 /BP/P-KY/09/2012.

Juru Bicara MA Andi Samaan Nganro mengatakan Syamsul bertemu Ahmad Yani di Plaza Indonesia, salah satu mal kelas satu di Indonesia, pada 28 Juni 2019 pukul 17.38 sampai 18.30 WIB.

"Padahal saat itu yang bersangkutan [Rakan] duduk sebagai hakim anggota pada majelis hakim terdakwa SAT," kata Andi dalam keterangan tertulis, Ahad (29/9/2019).

Kasasi diregistrasi dengan nomor 1555 K/PID.SUS/2019, terdaftar di MA pada April. Sementara keputusan dibacakan Juli 2019.

Ahmad Yani mengakui bertemu Syamsul Rakan, tapi itu tak sengaja. Dia mengaku datang ke Plaza Indonesia dalam rangka bertemu dengan sejumlah wartawan dalam kapasitasnya sebagai caleg dari Partai Bulan Bintang untuk DPR RI Dapil DKI Jakarta I.

Saat itu proses pemilu berada di tahap gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Kebetulan ada Syamsul dengan kawan-kawannya. Jadi bukan saya ke sana untuk menemui dia. Ke sana juga saya untuk bahas MK bukan BLBI, bahkan sudah lupa saya soal itu," ujarnya, Selasa (1/30/2019). Dia menampik tuduhan mengintervensi kasus.

Ahmad Yani juga mendaku tidak tahu bahwa Syamsul merupakan hakim pada tingkat kasasi. Sebab ia sudah berhenti menjadi pengacara SAT saat dirinya terjun ke dunia politik praktis.

"Saya lawyer SAT saat masih di pengadilan negeri. Tapi di tingkat kasasi saya menyatakan off, tidak ikutan lagi," katanya.

Meski demikian, dalam sejumlah pemberitaan, usai ada putusan lepas dari MA, Ahmad Yani bertindak sebagai pengacara. Dia lalu menjemput Syafruddin ke penjara.

Dalam putusan kasasi MA, tiga hakim yang mengadili kasasi berbeda putusan. Ketua majelis hakim Salman Luthan menilai kasus ini pidana; Syamsul Rakan berpendapat perdata; dan Mohamad Askin menilai itu di ranah administrasi.

Dalam laporan Majalah Tempo edisi 28 September 2019, Syamsul mengakui pertemuan dengan Ahmad Yani. Kepada juniornya di Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Riau ini, dia kerap terlibat pembicaraan terkait politik, tapi tak menyangkut perkara.

Sejak Badan Pengawas MA memeriksanya terkait kasus ini, Syamsul tak lagi mememeriksa dan mengadili perkara. Menurutnya, sanksi non-palu selama enam bulan dimulai sejak 20 Agustus 2019.

Babak Baru BLBI

Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah merespons sanksi etik kepada Syamsul. Ia menilai itu artinya kasus BLBI akan menemui babak baru.

"Setidaknya memperjelas beberapa kontroversi dan keraguan sebelumnya," ujarnya kepada reporter Tirto, Ahad (29/9/2019).

Menurut Febri, KPK akan mempelajari terlebih dulu putusan kasasi MA yang bikin Syafruddin bebas.

"Namun sampai saat ini KPK belum menerima putusan kasasi dengan terdakwa SAT ini. Sebelumnya kami sudah meminta putusan kasasi kasus BLBI itu," ujarnya.

Meski demikian, salinan putusan kasasi Syafruddin telah tersedia di laman MA saat dilihat di situsweb, Selasa (1/10/2019).

Dalam waktu dekat, kata Febri, KPK akan mengadakan pembicaraan internal untuk membahas perkembangan kasus BLBI. Dia juga menegaskan "KPK serius dan berkomitmen" mengusut kasus korupsi yang merugikan negara sampai Rp4,58 triliun ini.

Oleh KPK, Syafruddin disangka terlibat korupsi karena memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim, terkait Bank Dagang Nasional Indonesia.

Sjamsul dan istrinya kini resmi jadi buron setelah dua kali tak hadir dalam pemeriksaan sebagai tersangka.

Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo mengatakan KPK perlu menindaklanjuti temuan MA. Hal itu bertujuan untuk mengurai ‘sesuatu’ yang ada di baliknya.

"Apakah dari pertemuan itu ada janji-janji, indikasi suap, dan lain-lain. Itu akan terlacak jika proses penyelidikan dilakukan," ujarnya.

KPK Didesak Ajukan PK

Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum UGM Zaenur Rohman menilai pelanggaran etik Syamsul merupakan hal luar biasa. Oleh sebab itu, ia berpendapat KPK perlu mempertimbangkan mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan kasasi yang membebaskan Syafruddin.

MK sebetulnya memutus jaksa tak dapat mengajukan peninjauan kembali (PK). Hal ini adalah putusan terhadap uji materi Pasal 263 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada 2016 silam.

Namun, kata Zaenur, "dalam kondisi adanya pelanggaran etik oleh hakim, maka jaksa perlu mempertimbangkan PK demi hukum."

"Apakah akan diterima atau tidak, biar MA yang memutuskan," tambahnya.

Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menilai KPK masih memiliki peluang untuk mengajukan PK. Sebab, katanya, mencari keadilan materiil dalam pidana tak terbatas waktu.

"MK memberi peluang untuk mengajukan PK berkali-kali atau lebih dari satu kali," katanya.

"Karena itu, dengan filosofi dan dasar pemikiran yang sama, maka KPK sebagai penuntut atau jaksa juga harus diberi ruang untuk PK dalam rangka mewujudkan keadilan materiil," pungkasnya.

Baca juga artikel terkait KASUS BLBI atau tulisan lainnya dari Alfian Putra Abdi

tirto.id - Hukum
Reporter: Alfian Putra Abdi
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Zakki Amali