tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan bahwa putusan kasasi Mahkamah Agung Syafruddin Arsyad Temenggung bukanlah vonis bebas, melainkan vonis lepas.
"Vonis lepas, bukan bebas. Perbuatannya terbukti, tapi menurut majelis hakim perbuatannya bukan di ranah pidana," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah dalam acara 'Diskusi Publik Vonis Bebas MA terhadap Syafruddin', di kawasan Jakarta Selatan, pada Rabu (31/7/2019).
"Ingat, hakim mengatakan dakwaannya terbukti," penegasannya kembali.
Menurut Febri, KPK akan tetap terus melanjutkan kasus korupsi penerbitan SKL BLBI tersebut. Terlebih, selama memang belum masuk masa tenggang.
Febri menyampaikan bahwa batasan KPK untuk menyelidiki suatu kasus adalah 18 tahun. Kasus penerbitan tersebut terhitung terjadi pada 2004. "Belum kedaluwarsa," ujarnya.
Terkait dengan putusan tersebut, Febri pun menegaskan kembali bahwa putusan MA memang sempat diperdebatkan oleh ketiga Hakim MA. Namun, KPK secara kelembagaan menghormati putusan tersebut.
Di sisi lain, Koalisi Masyarakat Sipil melaporkan dua hakim Mahkamah Agung (MA) yang menangani perkara kasasi eks terdakwa kasus korupsi SKL BLBI Syafruddin Arsyad Temenggung ke Komisi Yudisial (KY).
Keduanya dilaporkan ke KY setelah menjatuhkan vonis bebas kepada mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) tersebut.
"Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi [selanjutnya disebut Koalisi] ada ICW, LBH Jakarta dan YLBHI resmi melaporkan dua Hakim Agung yang memutus lepas perkara atas nama terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana di kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Kurnia menyatakan pelaporan itu didasari sejumlah alasan. Pertama, Koalisi menilai putusan hakim di perkara kasasi Syafruddin kurang tepat.
Menurut dia, kasus penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sudah memenuhi unsur korupsi karena merugikan negara Rp4,58 triliun.
Putusan sidang praperadilan juga sudah menyatakan penanganan perkara Syafruddin oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah sesuai prosedur hukum acara pidana.
Kedua, Koalisi menganggap putusan MA dalam perkara kasasi Syafruddin timpang dengan vonis pengadilan sebelumnya.
Di pengadilan tingkat pertama Syafruddin divonis 13 tahun penjara dan putusan sidang banding menambah hukuman itu menjadi 15 tahun bui. Namun, di sidang kasasi, Syafruddin justru dibebaskan.
"Sebenarnya yang disesalkan, ketika ada dissenting opinion, ketua majelis tidak berinisiatif menambah komposisi majelis. Padahal, dimungkinkan ketika ada deadlock putusan atau voting untuk menambah majelis agar perhitungan lebih fair," ujar Kurnia.
Selain itu, Kurnia pun mempersoalkan salah satu hakim di perkara kasasi Syafruddin yang tercatat masih memiliki kantor advokat. Sementara UU Kekuasaan Kehakiman melarang hakim rangkap jabatan sebagai advokat.
"Apakah yang bersangkutan sudah mengundurkan diri atau tidak, lebih baik dijelaskan kepada publik. Jangan sampai ketika ada kantor hukum yang mengatasnamakan Hakim Agung justru menimbulkan ketidakpercayaan publik sehingga bisa berprasangka negatif," ujar Kurnia.
Dia berharap KY secara aktif menangani laporan Koalisi dan segera memanggil dua Hakim Agung tersebut untuk menjalani pemeriksaan.
"Jika ditemukan ada pelanggaran kode etik, harapan kami dua hakim ini dijatuhi sanksi," ujar dia.
Sementara Ketua KY Jaja Ahmad Jayus mengatakan lembaganya akan menangani laporan dari Koalisi dalam waktu 60 hari. KY akan mendalami laporan tersebut dan siap memberikan sanksi jika menemukan ada pelanggaran.
Penulis: Fadiyah Alaidrus
Editor: Maya Saputri