tirto.id - Apakah seorang pemilik bisnis restoran kelas atas selalu menyantap hidangan mewah yang disajikan di atas piring keramik mahal beserta pisau dan garpu perak yang berkilau? Ternyata tidak juga. Setidaknya bagi David Chang.
Ia menyimpan rahasia yang mungkin tak banyak orang tahu. Sebagai seorang pebisnis restoran, ia amat sukses. Pria kelahiran Virginia, Amerika Serikat, ini mendirikan jaringan restoran Momofuku yang menggabungkan pengaruh Asia dan Amerika. Pada 2009, Momofuku Ko mendapat 2 bintang Michelin.
Tapi sebagai pria Selatan, makanan favorit Chang adalah: ayam goreng. Virginia memang tidak hanya dikenal berkat tembakau jempolan, tapi juga hidangan ayam gorengnya. Hidangan itu menampilkan ayam yang direndam buttermilk, kemudian dibalur tepung yang sudah diberi berbagai rempah kering, lalu digoreng di genangan minyak bercampur lemak dan mentega dengan api besar.
"Aku mencintai ayam. Aku mencintai produk daging ayam: ayam goreng, ayam panggang, nugget ayam, apapun lah. Saat aku pergi ke Jepang, aku melihat ayam indah yang diasap dan kemudian dipanggang, menghasilkan kulit ayam yang renyahnya menakjubkan," ujarnya suatu ketika.
Kecintaan terhadap daging ayam sudah bukan rahasia lagi. Karena itu, tak perlu tertegun jika dalam Google Year in Search 2017, ada satu pencarian yang menyelip dan terasa janggal: ayam geprek. Dalam penelusuran populer, ia adalah satu-satunya pencarian kategori makanan. Ia berada dalam himpitan pencarian populer lain, semisal "Surat Cinta Untuk Starla", "Pengabdi Setan", Setya Novanto, Pilkada DKI, juga Jokowi Mantu. Ayam geprek bahkan mengalahkan pencarian tentang Raja Salman dan Sidang Ahok.
Ayam geprek memang menarik. Secara rasa, ia adalah perpaduan rasa yang digemari banyak orang Indonesia: gurih dan pedas. Meski demikian, sejatinya, ayam geprek bukanlah varian kuliner yang benar-benar baru.
Di Jawa Timur, kamu bisa menemukan ayam penyet yang secara konsep sama dengan ayam geprek: ayam yang sudah dimarinasi rempah, digoreng hingga kecokelatan, lalu dipenyet dengan sambal yang sudah dibuat sebelumnya. Sedangkan di Jawa Tengah, ayam geprek termasuk hidangan favorit, lengkap dengan sambal bawang yang pedasnya imbang dengan tendangan rasa dan aroma bawang.
Jika ayam penyet dan ayam geprek sudah dikenal lama dalam khazanah boga di Indonesia, kenapa baru 2017 ia menempati posisi pencarian populer? Salah satunya karena tren baru yang disebabkan oleh keju mozarella. Banyak warung dan restoran yang memadukan ayam geprek dengan mozarella, yang kemudian dibakar hingga meleleh.
Perpaduan ini melahirkan apa yang disebut sebagai instagramable food. Secara sederhana dapat diartikan, makanan yang menarik jika diunggah di Instagram. Karakternya, antara lain, warna cerah dan sesuatu yang mencolok secara visual --entah itu saus yang melimpah ruah, kuning telur setengah matang, hingga keju yang meleleh dan melar.
Baca juga:Aku Memotret Makanan, Maka Aku Ada
Terlepas dari tren, ayam penyet sebenarnya sudah lama jadi perbincangan, terutama di luar negeri. Pada 2010 silam, Catherine Ling menulis di CNN Travel tentang 40 makanan Singapura yang "we can't live without". Pilihannya tentu beragam dan lintas kebudayaan, karena Singapura juga dikenal sebagai negara mangkuk salad yang merangkum banyak produk budaya.
Dari daftar itu, ada ayam penyet. Ling menyebutnya sebagai flattened chicken. Di foto, tampak ayam goreng yang diberi remasak kremes, dan disajikan dengan sambal terasi dan timun.
"Makanan ini aslinya dari Indonesia, tapi sudah menggemparkan Singapura sejak beberapa tahun lalu," tulis Ling.
Murah dan Mudah
Kepopuleran ayam sebenarnya bukan hal yang mengherankan. Ia punya sejarah panjang, setidaknya sejak orang Babilonia mengonsumsi ayam sejak 600 Sebelum Masehi. Ayam-ayam itu disebut berasal dari India dan menyebar ke Asia Tenggara, lalu ke seluruh dunia.
Dibanding dengan sumber protein lain, harga ayam relatif lebih murah. Meski murah, ayam masih menjadi simbol kemakmuran. Pada 1928, saat sedang kampanye, calon Presiden Amerika Serikat, Herbert Hoover menjanjikan akan ada "ayam di setiap periuk keluarga". Janji itu dianggap menggiurkan. Pada momen Depresi Besar itu, daging ayam menjadi simbol kemakmuran dan kecukupan. Bukan daging sapi, bukan daging babi. Salah satu janji kampanye itu yang kemudian mengantarkan Hoover menjadi Presiden ke 31, bertugas mulai 1929 hingga 1933.
Di Indonesia, daging ayam jadi lauk yang cukup mewah. Apalagi jika dibandingkan dengan, katakanlah, tempe atau tahu. Meski begitu, harganya cukup terjangkau, apalagi jika dibandingkan dengan daging sapi dan kambing, atau sesama bangsa unggas lain seperti bebek.
Karena itu pula, ayam menjadi jenis hidangan yang paling mudah ditemui. Di restoran? Ada. Di warung? Banyak. Di gerobak pinggir jalan? Mudah ditemukan. Secara pengolahan, ayam juga tak ribet. Ia tak membutuhkan waktu lama untuk diolah, seperti, misalnya, daging kambing atau sapi. Cukup digoreng sebentar, ayam sudah bisa dinikmati.
Maka wajar belaka kalau ayam geprek bisa menjadi pencarian populer di Google tahun 2017. Hal ini ditambah, konsumsi ayam orang Indonesia cukup tinggi.
Jika merujuk data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (2016), konsumsi daging ayam broiler merupakan konsumsi produk peternakan tertinggi. Pada 2015, konsumsi daging ayam broiler orang Indonesia adalah 4,797 kilogram per kapita. Pada 2016, angkanya meningkat jadi 5,110 kilogram per kapita. Angka itu amat besar. Bandingkan dengan konsumsi daging sapi, yang stagnan di angka 0,417 kilogram per kapita.
Hal serupa juga pernah ditunjukkan oleh laporan DBS Asian Insight (Maret 2016) yang mengatakan bahwa pada 2012 konsumsi unggas mencapai 86 persen dari total konsumsi protein di Indonesia. Sedangkan daging sapi hanya 8 persen.
Di Indonesia, faktor penentu populernya daging ayam adalah harganya yang cukup murah. Sebagai daging putih, ia menjadi tandingan sepadan bagi daging merah yang lebih mahal dan sukar didapat. Sebagai ilustrasi, harga daging ayam broiler di Jakarta per 14 Desember 2017 adalah Rp33 ribu per ekor. Sedangkan harga daging sapi has mencapai Rp123 ribu per kilogram, dan daging kambing Rp110 ribu per kilogram.
Baca juga:Membedah Plus Minus Daging Merah dan Putih
Pasokan daging ayam juga relatif lebih mudah dicari. Dari data yang dirilis oleh Heinrich Boell Foundation dan diterbitkan oleh Business Insider, pada 2012, Indonesia memproduksi 1,7 juta ton unggas. Sedangkan produksi daging sapi hanya 0,5 juta ton.
Kecintaan terhadap ayam ini tidak hanya dimonopoli oleh satu negara saja. Di Amerika Serikat, pada 2014 lalu, untuk pertama kalinya konsumsi daging ayam melebihi konsumsi daging sapi. Salah satu alasannya adalah perkara kesehatan. Ayam dianggap lebih sehat ketimbang daging sapi. Merujuk pada data 2012, setiap orang AS rata-rata mengonsumsi 27 kilogram daging ayam per tahun.
Baca juga:Raja Burger yang Tak Lagi Malu Mengkonsumsi Ayam
Mengingat daging sapi yang masih tetap mahal, dan harus impor, sedangkan daging ayam masih lebih terjangkau, maka kita masih akan menyaksikan bagaimana masakan daging ayam akan terus jadi primadona boga di Indonesia.
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani