tirto.id - Mulai tahun depan, klaim asuransi kesehatan kini tak lagi bisa menutup 100 persen biaya medis. Pemegang polis mesti ikut patungan 10 persen setiap mereka ingin mengajukan klaim. Aturan ini tertuang dalam regulasi anyar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan bakal berlaku per 1 Januari 2026.
Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan kalau Surat Edaran (SE) OJK Nomor 7/SEOJK.05/2025 tentang Penyelenggara Produk Asuransi Kesehatan ini dibuat untuk memperkuat pengawasan dan tata kelola industri asuransi kesehatan.
Lebih jauh, SEOJK ini juga merupakan amanat dari Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 36 Tahun 2024 tentang Perubahan Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 69/POJK.05/2016 Tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi, dan Perusahaan Reasuransi Syariah.
"Di mana isinya mengatur lebih lanjut kriteria perusahaan asuransi dan perusahaan asuransi syariah yang dapat menyelenggarakan lini usaha asuransi kesehatan," kata Ogi, dalam konferensi pers hasil Rapat Dewan Komisioner (RDK) Bulanan Mei 2025, secara daring, dikutip Selasa (10/6/2025).
Sementara batas maksimum yang harus dibayarkan pemegang polis, OJK menetapkan, tertanggung atau peserta membayar sebesar Rp300 ribu untuk rawat jalan per pengajuan klaim dan Rp3 juta untuk rawat inap per pengajuan klaim.
Bukan berarti biaya ini tak bisa lebih mahal. Perusahaan asuransi, perusahaan asuransi syariah, dan unit syariah pada perusahaan asuransi dipersilakan untuk memasang batas maksimum lebih tinggi, asalkan sudah ada kesepakatan antara perusahaan dengan pemegang polis, tertanggung, atau peserta.
Menurut SEOJK, ketentuan pembagian risiko ini hanya berlaku untuk produk asuransi kesehatan dengan prinsip ganti rugi atau indemnity dan produk asuransi kesehatan dengan skema pelayanan kesehatan yang terkelola atau managed care.
"Pembagian risiko (co-payment) sebagaimana dimaksud pada angka 3 sampai dengan 5 dikecualikan untuk Produk Asuransi Mikro," tulis SEOJK tentang produk asuransi kesehatan ini.
Perlu diketahui, asuransi mikro sendiri merupakan produk asuransi yang dirancang khusus untuk memberikan perlindungan finansial kepada masyarakat berpenghasilan rendah, dengan ciri-ciri sederhana, mudah diakses, ekonomis, dan proses klaim yang cepat. Tujuannya yakni untuk melindungi risiko keuangan yang mungkin dialami oleh kelompok masyarakat ini, seperti kecelakaan, sakit, atau kematian.
Lantas, apa yang menjadi alasan dikeluarkannya kebijakan ini?
Karena Inflasi Medis Melonjak?
Pengamat asuransi, Dedi Dwi Kristianto, menilai keputusan OJK dilakukan lantaran inflasi medis atau inflasi kesehatan terus mengalami kenaikan. Inflasi medis ini merupakan kondisi terjadinya peningkatan biaya layanan kesehatan karena sejumlah faktor.
Inflasi medis yang tinggi ini disebut Dedi akan berdampak pada rasio klaim perusahaan asuransi. Jika dibiarkan, menurutnya, hal ini bakal memengaruhi kesehatan keuangan perusahaan.
“Inflasi medis di Indonesia terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu, tahun 2024 inflasi medis di Indonesia sekitar 10,1 persen dan tahun 2025 ini diprediksi bisa mencapai angka 19 persen,” tutur Dedi, lewat keterangan tertulis, Selasa (10/6/2025).
Prediksi itu berdasarkan riset Mercer Marsh Benefits bertajuk Health Trends 2025 Asia, di mana proyeksi 19 persen ini menjadikan Indonesia sebagai negara dengan inflasi medis tertinggi kedua di Asia Pasifik, menyusul Filipina dengan inflasi 21 persen.
“Kenaikan inflasi medis itu tentu juga berpengaruh langsung terhadap besarnya klaim kesehatan yang dibayarkan oleh Perusahaan Asuransi. Selain daripada itu juga masalah pada iklim layanan kesehatan kepada masyarakat, dan ini terus menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan,” sambung Dedi.
Pada 2024, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat total klaim asuransi kesehatan jiwa meningkat sebesar 16,4 persen secara tahunan menjadi Rp24,18 triliun, seperti dilansir Kontan. Meski masih mengalami kenaikan, tren pertumbuhan klaim kesehatan pada 2024 lebih terkendali dibandingkan tahun sebelumnya, di mana pada 2023 kenaikannya mencapai 24,6 persen.
“OJK sebagai regulator melihat ini sebagai tantangan sekaligus menjadi persoalan yang segera harus dicarikan jalan keluar dan mitigasinya agar perusahaan asuransi tidak berdarah-darah dalam jangka waktu yang lama,” tutur Dedi.
Meski begitu, tak bisa dipungkiri, aturan baru OJK ini tentu berpengaruh pada penetrasi asuransi swasta. Dedi bilang, ketetapan ini sedikit banyak akan berdampak terlebih bagi mereka yang berpendapatan rendah, yang membeli polis asuransi kesehatan.
“Aturan baru ini akan semakin memberatkan mereka dan tidak mungkin beralih ke BPJS Kesehatan yang tidak menganut sistem copayment, sehingga dikhawatirkan surrender rate-nya akan tinggi dan itu menjadi masalah bagi perusahaan asuransi,” sambungnya.
Apalagi, proporsi penggunaan asuransi swasta di Tanah Air sangat tipis. Dari 69,62 persen penduduk Indonesia yang memiliki jaminan kesehatan pada 2022, sebanyak 62,22 persen penduduk di dalam negeri merupakan peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan. Bahkan, hanya 0,58 persen masyarakat yang tercatat memakai asuransi swasta.
“Namun bagi mereka yg berada pada pendapatan atas mungkin akan tetap stay walaupun ada aturan ini karena mereka sanggup bayar. Perusahaan asuransi perlu membuat inovasi-inovasi baru untuk mengantisipasi hal tersebut,” tutur Dedi.
Secara umum, persentase penduduk yang memiliki jaminan kesehatan merangkak naik dari tahun ke tahun. Merujuk pada laporan “Indikator Kesejahteraan Rakyat 2024” yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk yang punya jaminan kesehatan mencapai 75,48 persen pada 2024, meningkat 3,1 poin ketimbang tahun sebelumnya.
Penduduk dikatakan memiliki jaminan kesehatan jika minimal memiliki salah satu jaminan kesehatan dari BPJS Kesehatan, Jamkesda, asuransi swasta, atau perusahaan/kantor dalam setahun terakhir.
Terlalu Berpihak Pada Perusahaan
Masalahnya, keputusan OJK ini dinilai terlalu berpihak pada perusahaan dan tidak menguntungkan konsumen. Sekretaris Eksekutif Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Rio Priambodo menyatakan aturan asuransi kesehatan ini merugikan konsumen yang sudah terlanjur kontrak polis dengan pihak asuransi.
“Harusnya peserta dijamin 100 persen oleh perusahaan asuransi sebagai bentuk pertanggungan terhadap konsumen dan itu sudah menjadi resiko,” tutur Rio kepada Tirto, Selasa (10/6/2025).
Kaji Ulang Aturan yang Bias
Rio dari YLKI mengungkap, pihaknya meminta OJK mengkaji ulang aturan pembebanan biaya 10 persen tersebut, yang berdampak besar terhadap konsumen yang sudah berjalan. Hal ini disebut akan menjadi rancu dan bias, serta bisa mengubah proses bisnis di luar kontrak polis.
“Sebab konsumen sudah menandatangani kontrak polis dalam asuransi. Namun OJK bisa mengeluarkan aturan mengenai kenaikan iuran maupun aturan lain. Aturan ini akan membuat konsumen berpikir ulang terhadap kelanjutan asuransi atau mengakhiri asuransi. Tentu kembali lagi ini hak pilih konsumen yang tidak boleh diintervensi oleh siapapun,” kata Rio.
Ia mendorong OJK sebaiknya mengawasi kesesuaian proses bisnis klaim asuransi, dibanding mengeluarkan aturan copayment. Rio beranggapan, aturan terbaru OJK ini belum menjawab persoalan konsumen asuransi kesehatan dan lebih berpihak ke pelaku usaha.
Dengan kondisi ekonomi Indonesia bisa dibilang belum baik-baik saja, jika melihat masih maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK), tingginya pengangguran, dan konsumsi masyarakat yang menurun drastis, Dedi selaku pengamat asuransi mendorong perusahaan asuransi melakukan berbagai upaya jika menerapkan aturan baru.
“Dengan metode sharing risk ini, maka akan semakin memberatkan pemegang polis dalam hal pengeluaran uang untuk hal yang penting, yaitu kesehatan yang tadinya itu sudah tahu beres dikerjakan oleh perusahaan asuransi, pada saat membeli polis asuransi kesehatan, oleh karenanya pemegang polis akan berpikir untuk mengakhiri polisnya. Perlu diantisipasi surrender rate yang tinggi pada perusahaan asuransi,” tutur Dedi.
Menurut dia, masyarakat bakal cenderung melirik BPJS Kesehatan yang lebih murah, di mana tidak terdapat sharing risk di sana dengan menerapkan copayment, walaupun dengan segala kekurangan dan kelebihan BPJS.
“Perusahaan asuransi jika tidak mau kehilangan banyak bisnis akibat penerapan ketentuan baru ini harus melakukan banyak inovasi, apakah dari sisi produk besaran premi yang lebih murah, peningkatan pelayanan baik secara internal maupun pelayanan kesehatannya,” sambung Dedi.
Ia menekankan pentingnya perusahaan asuransi untuk membangun ekosistem klaim asuransi kesehatan untuk mengurangi abuse dan moral hazard yang terjadi, baik dengan membangun sistem deteksi penipuan, investigasi yang mendalam, dan melakukan credential fasilitas kesehatan yang mendalam sebelum dijadikan provider mereka.
Dedy mendorong agar proses dan aturan coordination of benefit (COB) antara asuransi swasta dan BPJS yang telah lama sekali belum selesai dan diselesaikan dengan segara agar dapat menjadi salah satu mitigasi dan tidak memberatkan masyarakat.
“Bahwa hal-hal diatas harus mampu dikomunikasikan dengan baik oleh Perusahaan Asuransi kepada para Pemegang Polis sekaligus informasi inovasi-inovasi baru apa serta kemudahan dan pelayanan yang akan disediakan dan diberikan kepada Pemegang Polis dengan adanya penerapan ketentuan ini sehingga mereka tidak lari dan menggerus bisnis yang mereka jalani,” pungkas Dedi.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty