Menuju konten utama
Newsplus

Apakah Penggeledahan Kantor Advokat Masuk Kewenangan KPK?

Menurut pakar hukum, penggeledahan oleh KPK bukan dalam rangka abuse of power, tapi bagian dari mencari alat bukti.

Apakah Penggeledahan Kantor Advokat Masuk Kewenangan KPK?
Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan penggeledahan terhadap kantor pengacara. Pada Rabu (19/3/2025), KPK menggeledah kantor Visi Law Firm, di Pondok Indah, Jakarta Selatan. Penggeledahan ini terkait dengan kasus Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mantan Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (SYL).

Visi Law sendiri merupakan kantor hukum yang didirikan oleh mantan Juru Bicara KPK, Febri Diansyah dan mantan peneliti Indonesia Corruption Watch, Donal Fariz.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, menjelaskan, penggeledahan ini dilakukan oleh penyidik usai memeriksa Rasamala, yang merupakan mantan kuasa hukum SYL, sebagai saksi dalam kasus ini. Tessa mengatakan, Rasamala turut hadir dalam penggeledahan.

Untuk diketahui, penyidik KPK memeriksa Rasamala sebagai saksi dalam kasus TPPU SYL yang merupakan pengembangan dari kasus gratifikasi dan pemerasan yang dilakukan oleh SYL di lingkungan Kementan.

Penggeledahan semacam ini bukan pertama kali. Seperti dilaporkan Antara, pada 2018, KPK juga menggeledah kantor advokat Fredrich Yunadi di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

KPK telah menetapkan Fredrich Yunadi alias Fredy Junadi yang juga mantan kuasa hukum Setya Novanto dan dokter spesialis penyakit dalam, konsultan ginjal, dan hipertensi Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta Barat, Bimanesh Sutarjo, sebagai tersangka.

Keduanya diduga dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek KTP-elektronik atas tersangka Setya Novanto.

Fredrich dan Bimanesh diduga bekerja sama untuk memalsukan tersangka Setya Novanto ke Rumah Sakit untuk dilakukan rawat inap dengan data-data medis yang diduga dimanipulasi sedemikian rupa untuk menghindari panggilan dan pemeriksaan oleh penyidik KPK.

Saat itu, muncul perdebatan terkait batasan hukum menggeledah kantor advokat, mengingat seorang advokat dilindungi Undang-Undang (UU) dalam menjalankan tugasnya. Kekhawatiran yang mencuat atas tindakan itu yakni terbongkarnya dokumen rahasia klien, yang tak berkaitan dengan kasus yang sedang ditangani pihak berwajib.

Antara Kewenangan dan Tak Menghormati UU

Penggeledahan kantor pengacara oleh KPK berada di persimpangan antara tak menghormati UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat dan merupakan kewenangan lembaga berwajib.

Ketua Dewan Kehormatan Profesi Advokat Peradi Pergerakan, Sugeng Teguh Santoso, menyatakan bahwa dokumen-dokumen yang dimiliki advokat itu bebas dari penyitaan. Hal tersebut merujuk pada pasal 19 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat).

Pasal itu berbunyi “advokat berhak atas kerahasiaan hubungannya dengan klien, termasuk perlindungan atas berkas dan dokumennya terhadap penyitaan atau pemeriksaan dan perlindungan terhadap penyadapan atas komunikasi elektronik advokat”.

Dengan begitu, Sugeng mengatakan, penegak hukum tidak menghormati UU yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah, yang disahkan pada tahun 2003.

“Ini kan bisa menimbulkan juga ketidakpercayaan advokat pada penegak hukum lain, karena dia tidak dihormati. Bisa dikatakan bahwa pekerjaan penegak hukum lain tidak menghormati advokat ya bisa juga dibalas tidak dihormati kan. Ngapain melakukan penghormatan terhadap proses yang melanggar Undang-Undang,” kata Sugeng.

Menurut Sugeng, jika pun mau ada tindakan hukum terhadap advokat, maka pemeriksaan oleh penegak hukum bisa berkoordinasi dengan organisasi advokat, dalam hal ini menghadirkan jika ingin diperiksa sebagai saksi.

“Tapi terkait dengan penyitaan itu memang belum diatur di dalam MoU dulu ya, antara Peradi [Perhimpunan Advokat Indonesia] dengan polisi. Dulu itu Peradi dengan polisi ya, sekarang ini kan KPK ya. Yang saya sarankan KPK itu menghargai lah Undang-Undang Advokat tuh,” ungkap Sugeng.

Organisasi advokat memang sudah memiliki Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak kepolisian mengenai banyaknya pemanggilan-pemanggilan yang ditujukan kepada advokat. Berdasarkan nota kesepahaman itu, pemanggilan polisi terhadap advokat PERADI harus dilakukan melalui Dewan Pimpinan Nasional (DPN) atau Dewan Pimpinan Cabang terdekat.

Meski tidak ada perpanjangan MoU, menurut Sugeng, Polri masih meneruskan praktik tersebut. Jadi, kata Sugeng, memang patut diapresiasi.

“Kalau di dalam pasal 19 itu dinyatakan tegas bahwa bebas dari penyitaan. Kalau memberi keterangan kan memang dalam perkara Undang-Undang, dalam perkara korupsi itu memang tidak dapat menolak ya, jadi memang harus memberi keterangan, tapi penyitaan kan tidak,” kata Sugeng menjelaskan UU Advokat.

Dengan begitu, advokat memang harus memberi keterangan untuk perkara korupsi, tapi tidak ada aturan bahwa penyitaan bisa dilakukan. Sugeng bilang kalau apa yang dilakukan KPK merupakan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), sehingga bisa dikatakan penyitaan tersebut tidak sah.

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya (UM Surabaya), Satria Unggul Wicaksana, justru berpendapat bahwa penggeledahan kantor advokat merupakan kewenangan KPK untuk mencari alat bukti.

“Ini memang tertuang di dalam Kitab undang-undang hukum acara pidana atau KUHAP, yang itu memberi kewenangan ya, termasuk di dalam undang-undang KPK sendiri sebagai Lex Specialis, di mana KPK dalam mengusut perkara tindak pidana korupsi itu berdasarkan alat bukti. Nah alat bukti ini kan di manapun, termasuk di kantor advokat,” ungkap Satria.

Asas Lex Specialis Derogat Legi Generali merupakan istilah dalam bahasa latin untuk mengartikan asas-asas hukum yang mengandung arti bahwa aturan yang sifatnya khusus mengesampingkannya aturan itu yang sifatnya umum.

Karena itu, menurut Satria, apa yang dilakukan KPK sah dilakukan. Menurut Satria, penggeledahan oleh KPK bukan dalam artian abuse of power, tapi bagian dari mencari alat bukti.

“Yang justru disoroti di sini adalah tugas advokat ya sebenarnya, adalah untuk membantu menemani ya tersangka untuk mempertahankan haknya, seperti itu. Dan dalam posisi advokat sebagai profesi yang mulia atau Officium Nobile tentu advokat tidak boleh melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang melawan integritas dalam proses penegakan hukum, seperti katakanlah menerima suap atau justru menjadi broker atau perantara dari praktek korupsi itu sendiri,” kata Satria.

Dibatasi dengan Tanggung Jawab Moral

Kewenangan advokat membela klien dibatasi oleh tanggung jawab profesi hukum. Satria menjelaskan, dengan demikian, dalam konteks penggeledahan Visi Law Firm, bukti-bukti yang disimpan oleh kawan-kawan Visi Law yang memperlemah klien, alias SYL, tidak boleh ditutup-tutupi.

“Bahkan di dalam kasus korupsi dia masuk kategori obstruction. tentu kita ingat ya semoga dari Setya Novanto dulu dianggap merintangi proses penegakan hukum karena dia sengaja menyembunyikan Setya Novanto dan kemudian menghilangkan alat bukti dan lain sebagainya,” ungkap Satria.

Menurutnya, preseden itu tidak ingin terulang kembali di kasus yang melibatkan mantan Menteri Pertanian, sehingga dokumen, benda, yang sebenarnya adalah bagian dari perintah pengadilan untuk dilakukan pemeriksaan atau perintah dari KPK patut dihormati dan dipenuhi.

“Sehingga siapapun yang kemudian menyembunyikan atau menutup-nutupi, memanipulasi, dia dapat dianggap sebagai merintangi proses penegakan hukum atau obstruction of justice, dan ini ada jerat pidananya kalau kita lihat di undang-undang Tipikor,” lanjut Satria.

Dalam prinsip hukum bagi advokat, Satria bilang, ada hal yang jauh lebih utama atau lebih tinggi daripada kerahasiaan data klien. Ketika itu diperintahkan oleh pengadilan atau KPK dalam proses penegakan hukum, maka seketika itu pula kespesialan hubungan antara advokat dan klien itu harus dihapus.

“Kalau berdasarkan perintah resmi atau perintah formil untuk menggeledah, dalam proses Tipikor tentu bukti-bukti itu yang kemudian menjadi kata kunci. Dan fenomena bagaimana advokat secara membabi buta kemudian melindungi klien itu adalah sebuah pelanggaran, tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran etik, tapi bisa masuk dalam obstruction of justice, jika itu dianggap merintangi prosedur atau proses pemidanaan,” pungkas Satria.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty