tirto.id - Timor Leste merayakan hari kemerdekaan yang ke-20 tanggal 20 Mei 2022 lalu. Pada perayaan tersebut, jurnalis Najwa Shihab berkesempatan hadir di sana dan mewawancarai sejumlah tokoh, di antaranya adalah Mari Alkatiri, Xanana Gusmão, dan Presiden Timor Leste terpilih, Jose Ramos Horta.
Selain berbincang dengan para petinggi politik, Najwa Shihab juga mewawancarai beberapa pemuda Timor Leste mengenai pandangan mereka tentang Indonesia yang kemudian diunggah di akun YouTube Narasi TV pada 20 Juli 2022 berjudul "20 Tahun Timor Leste: Cerita Setelah Merdeka | Mata Najwa".
"Indonesia 'kan salah satu negara yang pernah menjajah Timor Leste, jadi sudah menjadi bagian dari kami juga, kultur, makanan, ada juga yang kawin campur dengan orang Indonesia, jadi sudah menyatu, a part of Timor Leste," ungkap Lucitania Cris, Mahasiswi Hukum Universidade Nacional Timor Lorosa'e (UNTL).
Pandangan lain disampaikan oleh Natly Ornai. Mahasiswa Kebidanan UNTL ini justru mengungkapkan rasa syukurnya karena saat menjadi bagian dari Indonesia, generasi muda Timor Leste diwajibkan menempuh pendidikan hingga lulus sekolah menengah atas (SMA).
Hal ini, lanjut Natly Ornai yang memakai kata "menjajah" untuk menggambarkan situasi kala itu, berbeda dengan ketika Timor Leste berada di bawah pendudukan Portugis. Portugis atau Portugal hanya mewajibkan pendidikan hingga kelas 3 jenjang sekolah dasar.
"Saat menjajah, Indonesia itu mengharuskan sekolah. Jadi itu hal yang positif, kita harus sekolah dari SD sampai lulus SMA. Jadi kalau pandangan saya, saya bersyukur bisa dijajah oleh negara yang bisa menuntut kita sekolah," ungkap Natly Ornai.
Apakah Indonesia Pernah Menjajah Timor Timur (Timor Leste)?
Timor Leste dengan nama resmi Republica Democratica de Timor Leste (RDTL) merupakan negara kecil sekaligus termuda di kawasan Asia Tenggara yang resmi merdeka sejak tanggal 20 Mei 2002.
Pendeklarasian Timor Leste menjadi negara sendiri tersebut terjadi setelah dilakukan referendum pada 30 Agustus 1999. Sebelumnya sejak 1976 setelah Operasi Seroja, wilayah tersebut menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni Provinsi Timor Timur.
Referendum atau penentuan pendapat rakyat Timor Timur pada 30 Agustus 1999 akan menentukan nasib provinsi termuda tersebut, apakah menerima otonomi dan tetap menjadi bagian dari NKRI atau menolak otonomi alias berpisah dengan NKRI.
Hasil referendum rakyat Timor Timur adalah sebagai berikut: 78,5 persen menolak otonomi, 21 persen menerima otonomi, sisanya tidak sah. Dengan demikian, Timor Timur dipastikan akan lepas dari NKRI dan menjadi negara sendiri.
Lantas, apakah Timor-Timur merupakan jajahan Indonesia selama menjadi bagian Indonesia (1976-1999)? Laporan The Guardian(29 Agustus 2019) oleh Alison Rourke menyebutkan:
"The landmark vote in 1999, in which 78.5% of East Timorese chose independence from Indonesia, was the culmination of 24 years of occupation by Jakarta and, before that, hundreds of years of colonial rule by Portugal."
Beberapa laporan lainnya, termasuk dari Sian Powell, koresponden The Australian di Jakarta, dengan tajuk "UN Verdict on East Timor" (19 Januari 2006), menyebut bahwa Indonesia telah melakukan serangkaian hal yang tidak semestinya selama pendudukan di Timor Leste.
Selain pernah menjadi bagian dari Indonesia selama 24 tahun yakni pada 7 Desember 1975 hingga 24 Oktober 1999, sebelumnya wilayah Timor Leste diduduki oleh Portugis selama 450 tahun (1522-1975), dan Jepang selama 3 tahun (1942-1945).
Sejarah Pendudukan di Timor Leste
Menurut sejarah, kolonialisasi di Timor terjadi sejak abad ke-15 Masehi. Bangsa Portugis (Portugal) sering singgah untuk berdagang hingga akhirnya justru menduduki pulau seluas 30.777 km persegi itu.
Pada abad ke-17 M, Belanda juga datang dan ingin menguasai kawasan Timor. Setelah terjadi beberapa kali bentrokan, Portugis terpaksa menjalin perjanjian dan menyerahkan sisi barat pulau Timor kepada Belanda.
Oleh karena itulah wilayah Timor Timur atau pulau Timor bagian timur belum menjadi bagian dari Indonesia sejak awal, berbeda dengan pulau Timor bagian barat yang dikuasai Belanda atau yang nantinya menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Portugal sempat kehilangan wilayah Timor Timur pada 1942 seiring kedatangan Jepang yang kemudian menduduki kawasan tersebut hingga 1945. Sejak Jepang kalah dalam Perang Dunia II pada 1945, wilayah Timor Timur kembali dikuasai Portugis atau Portugal.
Perubahan di Timor Timur mulai muncul seiring bergolaknya politik di Portugal. Ronald H. Chilcote dalam Pembebasan Nasional Menentang Imperialisme (1999) menyebutkan bahwa tanggal 25 April 1974 terjadi kudeta tak berdarah yang dikenal sebagai Revolusi Anyelir.
Revolusi Anyelir yang dimotori Movimento das Forças Armadas (MFA) atau Pergerakan Tentara Darat berhasil menumbangkan kekuasaan Perdana Menteri Portugal, Marcello Caetano. Dari situlah muncul beberapa faksi di Timor Leste.
Setidaknya ada 3 faksi yang berpengaruh, yaitu Partai Uniao Democratica Timorense (UDT), Frente Revolucionaria de Timor-Leste Independente (Fretilin), dan Associacao Popular Democratica de Timor (Apodeti).
UDT menginginkan Timor Timur tetap menjadi koloni Portugal, Fretilin menghendaki kemerdekaan Timor Timur, sedangkan Apodeti ingin agar Timor Timur bergabung dengan Indonesia.
Namun, popularitas Apodeti kalah dari UDT maupun Fretilin. Persaingan sengit berlangsung antara UDT dan Fretilin untuk memperebutkan simpati masyarakat Timor Timur.
UDT menuduh bahwa Fretilin akan membawa Timor Timur menjadi negara komunis. Perseteruan ini berujung pada konflik berdarah dan banyak warga Timor Timur yang mengungsi ke wilayah perbatasan dengan Indonesia.
Operasi Seroja: Invasi Indonesia ke Timor Timur
Munculnya sejumlah faksi di Timor Timur pada 1974 membuat pemerintahan Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto merasa khawatir jika Timor Timur dipengaruhi ajaran komunis dan menyebarkan paham tersebut sampai ke Indonesia.
Soeharto, yang memimpin rezim Orde Baru, kemudian menjalin komunikasi dengan Presiden Amerika Serikat kala itu, Gerald Rudolph Ford Jr., terkait hal tersebut. Kemudian, pada 6 Desember 1975, Presiden Ford dan Menteri Luar Negeri AS, Henry Kissinger, diterima Soeharto di Jakarta.
Terungkap dalam Chega: Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran, dan Rekonsiliasi [CAVR] di Timor-Leste Volume 5 (2010), sehari setelah pertemuan itu dilancarkan invasi militer ke Timor Timur yang dikenal sebagai Operasi Seroja.
Kala itu, sedang berlangsung Perang Dingin antara kubu liberal yang digawangi oleh AS melawan kubu komunis dengan Uni Soviet sebagai motornya. Mendengar situasi terkini di Timor Timur dari Soeharto, pemerintah AS tidak ingin Indonesia menjadi negara komunis.
Kelak, dokumen transkrip pertemuan antara Soeharto dengan Ford dan Kissinger itu dipublikasikan tanpa sensor pada 7 Desember 2001. Dalam dokumen tersebut, terungkap bahwa pemerintah AS secara sengaja membiarkan invasi militer Indonesia ke Timor Timur.
Melansir Washington Post, terkuak juga bahwa Amerika Serikat menyuplai 90 persen senjata untuk militer Indonesia dalam upaya invasi tersebut.
Kissinger sempat mengemukakan dalihnya, termasuk menyebut bahwa apa yang dilakukan Indonesia terhadap Timor Timur bukanlah invasi atau operasi militer, melainkan suatu bentuk pertahanan diri.
Sebelum Operasi Seroja, pemerintah RI sudah melancarkan operasi intelijen dengan nama sandi Operasi Komodo pada 1974 untuk mencari info-info terkait politik di Timor Timur yang berpusat di Dili.
Mengutip buku Sejarah Kecil "Petite Histoire Indonesia, Volume 1 (2004), Operasi Komodo yang dipimpin Ali Moertopo bertujuan untuk memasukkan Timor Timur ke dalam wilayah NKRI.
Hasil penyelidikan mengungkapkan bahwa Fretilin yang berpaham komunis dan menginginkan kemerdekaan lebih diminati oleh sebagian besar rakyat Timor Timur. Itulah yang menjadi alasan pemerintah RI dan AS melancarkan Operasi Seroja pada 7 Desember 1975.
Terlebih, tanggal 28 November 1975, Fretilin menurunkan bendera Portugal dan mendeklarasikan Republik Demokratik Timor Leste.
Apa yang Terjadi Selama Invasi Indonesia ke Timtim?
Operasi Seroja yang berlangsung pada 1975 hingga 1977 adalah operasi militer berskala besar oleh Indonesia ke wilayah Timor Timur. Mengutip The Guardian, selama tahun-tahun awal invasi dan pendudukan Indonesia, lebih dari 100.000 orang tewas dalam konflik tersebut.
Sebagian besar yang tewas adalah warga sipil yang menjadi korban perang, mati kelaparan saat ditahan di kamp-kamp interniran, atau saat bersembunyi di perbukitan.
Kelompok-kelompok kecil gerilyawan Timor Lorosa'e melanjutkan perlawanan mereka selama beberapa dekade. Fretilin dan sayap bersenjatanya, Falintil, mundur ke pedalaman pulau bersama puluhan ribu warga sipil.
Pada 7 Desember 1975, militer Indonesia berhasil menguasai Dili, kota terbesar di Timor Timur, menyusul kemudian Kota Baucau yang dikuasai tiga hari kemudian. Tanggal 17 Juli 1976, akhirnya Timor Timur berhasil direbut dan resmi menjadi bagian dari NKRI sebagai provinsi ke-27.
Referendum Kemerdekaan Timor Leste
The Guardian menuliskan, pada 1998 terjadi gempa politik yang membawa perubahan di Indonesia.
Krisis keuangan Asia dan protes besar-besaran pro-demokrasi menyebabkan pengunduran diri Presiden Suharto yang telah berkuasa selama lebih dari 30 tahun dan telah mengizinkan invasi ke Timor.
Pengganti Soeharto, Baharuddin Jusuf (BJ) Habibe, lebih terbuka terhadap beberapa bentuk otonomi untuk Timor Timur, dan membebaskan pemimpin Fretilin, Xanana Gusmão, dari penjara di Jakarta, menjadi tahanan rumah.
Pada Maret 1999, Presiden Habibe mengumumkan bahwa jika dalam “proses konsultasi” rakyat Timor Timur lebih menyukai kemerdekaan daripada otonomi di bawah Indonesia, maka kemerdekaan akan diberikan kepada Timor Lorosa'e.
Atas permintaan Presiden Habibie kepada Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, pada 27 Januari 1999, PBB mengadakan referendum di mana Timor Timur akan diberikan pilihan antara memilih otonomi khusus dari Indonesia atau merdeka.
Pada 30 Agustus 1999, diadakan referendum dan hasilnya, sebanyak 78,5 persen pemilih menolak otonomi khusus yang diusulkan untuk Timor Timur. Sebanyak 21 persen menerima otonomi, sisanya tidak sah. Dengan demikian, Timor Timur dipastikan segera lepas dari NKRI.
Akhirnya, pada 19 Oktober 1999 melalui sidang MPR, diputuskan bahwa Timor Timur bukan lagi bagian dari wilayah Indonesia.
Pada 26 Oktober 1999, Presiden RI berikutnya, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menggantikan Habibie, menandatangani surat keputusan pembentukan UNTAET atau pemerintahan transisi di Timor Timur.
Selanjutnya, pada 30 Oktober 1999, bendera Indonesia diturunkan dari Timor Timur dengan upacara yang sangat sederhana. Media dilarang meliput acara ini, kecuali RTP Portugal.
Pada 20 Mei 2002 Timor Timur akhirnya resmi menjadi negara merdeka bernama Timor Leste hingga saat ini.
Editor: Iswara N Raditya