Menuju konten utama

Anggarannya Ikut Disunat, Nasib Riset Indonesia Makin Suram

Pemangkasan anggaran K/L sektor riset bisa berdampak pada hilangnya talenta riset Indonesia.

Anggarannya Ikut Disunat, Nasib Riset Indonesia Makin Suram
Tim riset Pupuk Kujang melakukan penelitian uji kualitas mikroba di Laboratorium Riset Pupuk Kujang, Karawang, Jawa Barat, Selasa (21/1/2020). ANTARA FOTO/M Ibnu Chazar/ama.

tirto.id - Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025 semakin kentara berdampak jauh lebih besar dari yang semula diperkirakan.

Beberapa waktu belakangan, media massa dan media sosial terus diramaikan dengan kabar-kabar terkait dampak pemangkasan anggaran di berbagai instansi pemerintahan. Tak terkecuali di sektor riset dan inovasi di Indonesia.

Dua Kementerian atau Lembaga (K/L) yang membidangi riset dan inovasi, yakni Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), diketahui ikut terdampak Inpres Nomor 1/2025 tersebut.

Direktur Jenderal Riset dan Pengembangan Kemendiktisaintek, Fauzan Adziman, tak menampik bahwa kebijakan pangkas anggaran juga berlaku untuk bidang riset. Meskipun demikian, dia memastikan bahwa pemangkasan dana riset tak sepenuhnya menghentikan kerja-kerja penelitian di Indonesia.

Kami dari riset dan pengembangan tentunya juga menjadi bagian dalam proses efisiensi [anggaran] ini," kata Fauzan saat ditemui wartawan di Gedung Kemendiktisaintek, di Senayan, Jakarta Pusat, pada Selasa (11/02/2025).

Sebelum ada kebijakan efisiensi pun, anggaran Kemendiktisaintek yang dialokasikan untuk riset sebenarnya tergolong kecil, yakni Rp1,2 triliun dari total Rp57 triliun. Sehingga, Fauzan berharap pemangkasan anggaran riset tidak terlalu besar.

Jadi, kami masih mencoba merasionalisasikan agar potongan di dana riset itu sekecil-kecilnya gitu,” ujar Fauzan.

Sementara itu, BRIN melakukan efisiensi anggaran 2025 hingga Rp2,074 triliun dari total pagu anggaran sebelumnya sebesar Rp5,842 triliun.

Kepala BRIN, Tri Handoko, melaluipaparannya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi X DPR RI mengungkap bahwa lembaganya harus menghapuskan seluruh anggaran riset dan inovasi riset di 12 organisasi riset akibat pemangkasan signifikan tersebut.

Itu artinya, seluruh organisasi riset di BRIN tidak akan mendapat dana riset jika pemotongan anggaran tersebut dilakukan.

Dua belas organisasi riset yang bernaung di bawah BRIN adalahRiset Kebumian dan Maritim; Hayati dan Lingkungan; Pertanian dan Pangan; Kesehatan; Arkeologi, Bahasa dan Sastra; Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora; Tenaga Nuklir; Tata Kelola Pemerintahan, Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat; Nanoteknologi dan Material; Elektronika dan Informatika; serta Penerbangan dan Antariksa.

Oleh karena itulah, kebijakan pemangkasan anggaran justru dinilai berisiko menghambat kemajuan riset yang menjadi kunci untuk daya saing dan kemajuan teknologi negara di masa depan.

Ini akan berdampak sangat serius terhadap masa depan riset di Indonesia,” ujar pengamat pendidikan, Ubaid Matraji, kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).

Pemerintah Tak Anggap Riset Penting?

Menurut Ubaid, pemangkasan anggaran riset tersebut menunjukkan bahwa pemerintah menganggap bidang riset tidak penting dan hanya buang-buang anggaran saja. Padahal, kata dia, kebijakan yang baik adalah yang berbasis pada data riset.

Bisa jadi pemerintah tidak butuh lagi data riset untuk sebuah kebijakan. Jika demikian, kebijakan pemerintah mungkin dianggap cukup dengan melandaskan pada bisikan-bisikan para kolega,” jelas dia.

Bidang riset sendiri, kata Ubaid, adalah tulang punggung kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi yang dibutuhkan untuk memecahkan berbagai masalah kebangsaan. Maka berkurangnya dana riset akan menimbulkan beberapa dampak negatif.

Misalnya, penurunan kualitas dan kuantitas riset. Riset-riset yang membutuhkan dana besar, seperti riset kesehatan, energi terbarukan, dan teknologi tinggi, akan terhambat.

Hal itu akan memperlambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Selain itu, daya saing Indonesia di kancah global juga akan menyusut.

Pemangkasan dana riset juga sangat aneh. Pasalnya, negara-negara lain justru terus meningkatkan investasi mereka dalam riset dan inovasi untuk mendongkrak daya saingnya.

Pemangkasan anggaran riset juga bisa berdampak pada hilangnya talenta riset. Peneliti-peneliti muda yang potensial mungkin akan kehilangan motivasi atau beralih ke bidang lain yang lebih menjanjikan secara finansial. Bahkan, mereka bisa saja memilih untuk bekerja di luar negeri.

Pemerintah mengabaikan riset karena pemerintah belum sepenuhnya memahami betapa pentingnya riset bagi pembangunan bangsa. Riset sering dianggap sebagai ‘biaya’ yang bisa ditunda, padahal sebenarnya adalah ‘investasi’ untuk masa depan,” jelas Ubaid.

Oleh karenanya, Ubaid mendesak pemerintah untuk merevitalisasi kembali bidang riset. Pemerintah perlu mempertimbangkan kembali alokasi anggaran dan memastikan bahwa riset mendapatkan porsi yang memadai.

Di samping itu, pemerintah juga harus meningkatkan transparansi dan partisipasi publik. Proses penganggaran harus lebih transparan dan melibatkan partisipasi publik, termasuk para peneliti dan masyarakat sipil.

Hal itu, menurutnya, untuk memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan kebutuhan bangsa.

Efisiensi Harus Hati-Hati

Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI), Warsito Purwo Taruno, menilai bahwa efisiensi anggaran yang berlaku pada K/L sebaiknya dilakukan secara hati-hati. Pemerintah dalam hal ini harus bisa membuat kategorisasi prioritas pengetatan anggaran berdasarkan kepentingan masing-masing.

Hal itu bertujuan agar program yang benar-benar penting dan diperlukan dapat berjalan sesuai rencana. Menurutnya, pemangkasan anggaran jangan sampai dipukul rata dan malah mengorbankan alokasi untuk riset.

"Di tengah ruang fiskal yang sempit, program efisiensi ini memang perlu dilakukan. Tapi, pelaksanaannya harus mengacu pada urutan prioritas yang jelas. Bukan pukul rata yang membuat program yang strategis malah tidak dapat berjalan,” jelas Warsito kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).

Menurut Warsito, bidang riset dan teknologi justru perlu mendapat perhatian lebih. Apalagi, kegiatan riset saat ini sulit berkembang karena secara kelembagaan masih tumpang tindih.

"Riset dan inovasi merupakan kunci peningkatan kesejahteraan masyarakat ke depan, di saat sumber daya alam sudah tidak mampu lagi mencukupi kebutuhan belanja negara. Karena itu, pemerintah perlu memberi perhatian yang memadai," tegas dia.

Koordinator Kaukus Indonesia Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul, memahami bahwa pemotongan anggaran K/L sektorriset, khususnya yang terjadi di BRIN (hingga Rp2 triliun), tentu menimbulkan kekhawatiran.

Penting untuk melibatkan berbagai pihak terkait, terutama mereka yang menjadi penerima manfaat atau dampak langsung dari riset BRIN, dalam menilai apakah pemotongan anggaran tersebut memiliki dampak signifikan terhadap kemajuan riset dan inovasi yang dibutuhkan oleh Indonesia di masa depan,” kata Satria kepada Tirto, Rabu (12/2/2025).

Tentu, dengan berbagai pertimbangan di atas, kita berharap pemerintah akan lebih memperhatikan dampak jangka panjang dari kebijakan efisiensi anggaran, terutama yang menyangkutbidang riset.

Selain itu, menurut Satria, pemerintah perlu mengevaluasi kembali alokasi anggaran sektor riset dengan melibatkan berbagai pihak terkait. Ini penting agar efisiensi anggaran tidak mengorbankan masa depan riset dan inovasi di Tanah Air.

Baca juga artikel terkait ANGGARAN RISET atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi