tirto.id - Hari pertama bulan Mei 2025, yang bertepatan dengan Hari Buruh Internasional, agaknya tercatat sebagai salah satu hari apes dalam kehidupan Cho Yong Gi. Mahasiswa program studi Ilmu Filsafat Universitas Indonesia (UI) itu sengaja terjun di tengah aksi sebagai bagian relawan medis. Meski mengenakan atribut penanda paramedis lengkap, tak disangka, Yong Gi malah ikut digelandang ke kantor polisi hari itu.
Aksi hari buruh di Jakarta saat itu berakhir ricuh. Namun, Yong Gi merupakan petugas medis yang bertugas memberikan pertolongan pertama kepada peserta maupun aparat keamanan yang terluka. Malangnya, niat baiknya untuk berkontribusi justru membawa nasib sial baginya.
Tak cuma digelandang ke kantor polisi usai aksi, ia diduga menerima tindakan represif dari aparat kepolisian. Belakangan, Yong Gi justru ditetapkan sebagai satu dari 14 tersangka kericuhan Hari Buruh Internasional pada 1 Mei 2025 di Jakarta. Penetapan para tersangka ini resmi diumumkan Polda Metro Jaya dengan jeratan Pasal 212 KUHP, Pasal 216 KUHP, dan Pasal 218 KUHP. Selain Yong Gi, tiga tersangka lainnya juga masih berstatus mahasiswa.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, tidak habis pikir dengan langkah kepolisian yang bersikukuh menetapkan Yong Gi beserta 13 orang lainnya sebagai tersangka. Usman memandang penggunaan Pasal 216 dan 218 KUHP terasa “karet”, alias hanya menguntungkan kepolisian.
“Pasal-pasal ini sudah sejak lama dikritik karena mengkriminalisasi kebebasan berekspresi yang seharusnya dilindungi karena dijamin oleh Konstitusi,” ucap Usman kepada wartawan Tirto, Kamis (5/6/2025).
Bab VIII, Pasal 216, buku kedua KUHP, ayat 1, memuat tentang tindak pidana ketika seseorang tidak menuruti perintah atau suatu tuntutan dari pejabat yang bertugas. Termasuk tindakan sengaja mencegah, menghalangi atau menggagalkan tindakan dalam menjalankan ketentuan undang-undang yang dilakukan oleh salah seorang pejabat.
Sementara Pasal 218 KUHP memuat tentang tindak pidana menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden di muka umum.
Usman menilai, penggunaan pasal 216 KUHP kepada Yong Gi dan tersangka lainnya sangat bermasalah dalam konteks unjuk rasa damai. Ditambah penggunaan Pasal 218 yang membuat seakan peserta aksi unjuk rasa Hari Buruh Internasional dianggap kepolisian telah menghina presiden dan wakil presiden. Usman menyatakan, penetapan tersangka ini sebagai bentuk kriminalisasi warga sipil yang menyampaikan pendapat sesuai konstitusi.
“Dari perspektif HAM, kriminalisasi atas 14 orang ini jelas melanggar prinsip-prinsip dasar dalam kebebasan berekspresi dan berkumpul yang dijamin dalam Pasal 28 UUD 1945 serta Kovenan Internasional soal Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia,” ucap Usman.
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Ade Ary Syam Indradi, mengonfirmasi bahwa empat mahasiswa yang menjadi tersangka pada aksi Hari Buruh Internasional atau May Day 2025 memang sedang bertugas sebagai paramedis dan paralegal. Ade Ary mengatakan empat orang yang merupakan paramedis dan paralegal itu ditetapkan sebagai tersangka karena diduga tidak menuruti perintah petugas untuk segera meninggalkan lokasi unjuk rasa.
Sementara 10 peserta aksi lainnya yang menjadi tersangka, ditetapkan sebagai tersangka usai diduga menghasut di muka umum, melawan petugas, hingga tidak mengindahkan imbauan untuk meninggalkan lokasi.
“Tim paralegal dan paramedis ini diduga melakukan tindak pidana tidak menuruti perintah atau dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah tiga kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang sebagaimana diatur di Pasal 216 dan 218 KUHP,” terang Ade Ary kepada para wartawan di Mapolda Metro Jaya, Selasa (3/6/2025).
Kriminalisasi Paramedis dan Paralegal?
Usman Hamid dari Amnesty International Indonesia menilai, apa yang dilakukan Polda Metro Jaya sebagai bentuk kriminalisasi terhadap paramedis dan paralegal. Padahal, mereka hadir di lokasi aksi tidak sebagai pelaku aksi secara langsung, tetapi memberi bantuan medis dan pendampingan hukum bagi siapa saja yang membutuhkan.
Dalam standar HAM internasional, kata Usman, aparat kepolisian tidak bisa sembarangan melakukan tindakan kekerasan ataupun penggunaan senjata terhadap individu seperti diatur dalam Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api oleh Penegak Hukum (1990).
Ia juga mengingatkan adanya UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dimana Pasal 57 menyebut bahwa tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum saat melaksanakan tugas profesinya, termasuk mencegah dan menanggulangi tindak kekerasan yang mengancam keselamatan mereka.
“Begitu pula pemberi bantuan hukum berhak mendapatkan jaminan hukum, keamanan, dan keselamatan dalam menjalankan pemberian bantuan hukum, menurut Permenkumham Nomor 3 Tahun 2021 pasal 3,” jelas Usman.
Cho Yong Gi sendiri mengaku mendapatkan tindakan kekerasan yang diduga dilakukan oleh aparatur kepolisian. Hal ini disampaikan Yong Gi usai diperiksa oleh penyidik di Polda Metro Jaya pada Selasa, 3 Juni 2025. Saat itu, ia ditemani Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD), Ketua Prodi Ilmu Filsafat UI Ikhaputri Widiantini, dosen filsafat UI Taufik Basari, serta kawan sesama mahasiswa UI.
Yong Gi menuturkan bahwa ia sempat diteriaki oleh seseorang yang diduga polisi ketika hendak membantu seorang warga yang terluka. Ia lalu didorong oleh orang tersebut hingga terjatuh. Setelahnya, ia dituduh melakukan pelemparan.
Setelahnya, Yong Gi langsung ditangkap oleh sejumlah polisi. Ia mengaku sempat dibanting, dan juga lehernya diinjak menggunakan sepatu. Tas miliknya juga sempat digeledah. Tas itu disebutnya hanya berisikan barang-barang keperluan medis. Meski begitu, ia digelandang masuk ke dalam mobil tahanan bersama sejumlah orang lainnya.
“Habis itu ya dipukuli membabi buta, enggak tau siapa yang mukul, enggak tau dari mana itu,” kata Yong Gi kepada awak media di Polda Metro Jaya.
TAUD, sebagai tim kuasa hukum dari 14 tersangka aksi Hari Buruh 1 Mei, menyayangkan sikap kepolisian yang terus meneruskan penyidikan perkara ini. Padahal, tim kuasa hukum sudah mengajukan permohonan penundaan serta penghentian penyidikan (SP3).
Mengancam Marwah Demokrasi
Dalam keterangan pers TAUD, Kamis (5/6/2025), mereka menilai Pasal 212, 216, dan 218 KUHP kerap digunakan Negara untuk mengkriminalisasi penyampaian pendapat yang sah dan dijamin oleh Konstitusi. Penerapan pasal-pasal tersebut dianggap bertentangan dengan Pasal 28E UUD 1945, yang menjamin kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat.
Hal itu juga melanggar Pasal 24 dan Pasal 25 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Selain itu, penerapan pasal-pasal pada para korban kriminalisasi turut melanggar Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (UU 9/1998).
Aturan tersebut memberikan perlindungan terhadap pelaku penyampaian pendapat dan secara eksplisit melarang pembubaran paksa sebagaimana termaktub pada Pasal 18 ayat (1).
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) sekaligus anggota TAUD, Muhamad Isnur, penetapan tersangka peserta aksi menggunakan pasal-pasal itu merupakan bentuk pelecehan terhadap hak sipil yang sah dan dijamin oleh hukum nasional maupun internasional.
“Kekerasan yang dialami oleh 14 massa aksi, mulai dari penangkapan sewenang-wenang, tindakan represif di lapangan, hingga rangkaian proses pemeriksaan yang menyimpang seperti “interview” dan “klarifikasi” — yang sama sekali tidak diatur dalam hukum acara pidana,” kata Isnur kepada wartawan Tirto, Kamis (5/6/2025).
TAUD juga menemukan adanya upaya penghilangan jejak kekerasan yang diduga dilakukan aparat. Ketika proses pemeriksaan, kata Isnur, dugaan tindakan kekerasan dan kekerasan seksual yang dialami saat penangkapan dinihilkan oleh pihak penyidik. Selain itu, terdapat dugaan pelanggaran terhadap hukum acara pidana.
Pasalnya, beberapa korban ditetapkan tersangka tanpa pernah diperiksa atau melalui proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan sebagai Saksi/Calon Tersangka terlebih dahulu, sebagaimana diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2024.
“Para korban juga mengalami 'pemeriksaan' tanpa diberitahukan hak-haknya dan dalam situasi ketidakjelasan mengenai tahap yang mereka jalani dalam sistem peradilan pidana,” kata Isnur.
Wakil Koordinator Bidang Eksternal KontraS, Andrie Yunus, menilai pasal yang digunakan menjerat 14 peserta aksi diterapkan dengan serampangan dan dipaksakan agar memenuhi unsur.
Sebagai bagian dari tim kuasa hukum 14 tersangka, Andrie justru menemukan fakta bahwa ketika aksi May Day berlangsung, terjadi upaya pembubaran paksa oleh kepolisian. Kliennya, kata dia, mengaku sama sekali tidak mendengar adanya imbauan dari petugas polisi. Bahkan, kemudian justru ditangkap sesaat setelah minum kopi di area DPR dan tidak sedang dalam posisi melakukan perlawanan terhadap petugas sebagaimana unsur pasal yang dituduhkan kepada mereka.
“Ini ironi dan tak ubahnya hukum digunakan sebagai alat kriminalisasi. Sudah barang tentu ini tidak masuk akan dan relevan dikenakan terhadap massa aksi May Day yang telah ditetapkan sebagai TSK,” kata Andrie kepada wartawan Tirto, Kamis (5/6/2025).
Andrie menilai kriminalisasi peserta aksi unjuk rasa dan para mahasiswa dalam hal ini lebih dari sekadar membahayakan, melainkan bentuk ancaman paling serius terhadap kebebasan berpendapat dalam iklim negara demokratis. Jika diteruskan, kata dia, gejala rezim saat ini menjalankan kekuasaan tanpa kontrol publik bukan tidak mungkin bakal terjadi.
“Ini semacam virus yang dapat merusak suara kritis publik guna menjalankan fungsi pengawasan publik terhadap jalannya kekuasaan,” ucap Andrie.
Sementara itu, Peneliti bidang hukum The Indonesian Institute (TII), Christina Clarissa Intania, mengingatkan unjuk rasa May Day atau Hari Buruh Internasional sudah dilakukan setiap tahun. Sehingga mekanisme pelaksanaannya merujuk peraturan terkait unjuk rasa, baik di tingkat UU maupun peraturan Kepala Polri.
Kepada Tirto, Intan menjelaskan bahwa praktik unjuk rasa dijamin UUD 1945 dan aturan lebih lanjutnya diatur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, serta Peraturan Kepala Polri Nomor 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan, Pengamanan, dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
“Maka dari itu, lebih masuk akal jika memang ada pelanggaran, maka pengaturan yang dijadikan rujukan adalah dari rangkaian peraturan ini yang lebih spesifik mengatur unjuk rasa. Bunyi pasal-pasal dari KUHP yang digunakan terlalu umum dan tidak spesifik,” ungkap Intan mengemukakan kejanggalan penggunaan pasal-pasal KUHP kepada para tersangka.
Selain itu, penetapan tersangka kepada petugas paramedis dan paralegal dinilai sebagai penghalangan pemenuhan akses peserta aksi terhadap kesehatan dan pelayanan hukum yang sebetulnya dijamin oleh konstitusi.
Hal ini memberikan sinyal bahwa aparat penegak hukum tidak cukup menghormati jaminan kebebasan berpendapat. Intan mendorong polisi juga tidak pandang bulu dengan mengusut pula dugaan tindak kekerasan terhadap peserta aksi yang diduga dilakukan kepolisian.
“Seharusnya Kepolisian fokus untuk mengusut aktor yang mengagitasi kerusuhan di unjuk rasa damai, bukan petugas pemberi bantuan kesehatan dan bantuan hukum,” ucap Intan.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty