Menuju konten utama

Alasan Sri Mulyani Bantah Keras Kritik Zulkifli Hasan Soal Utang

Sri Mulyani menyatakan pengelolaan utang pemerintah pada era Presiden Joko Widodo tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya.

Alasan Sri Mulyani Bantah Keras Kritik Zulkifli Hasan Soal Utang
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat memberikan keterangan pers tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (27/7/2018). ANTARA FOTO/Aprillio Akbar.

tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membantah keras kritik Ketua MPR RI Zukifli Hasan tentang utang pemerintah. Dia mengunggah tulisan soal bantahan itu di akun facebook resminya hari ini.

Bantahan itu menyoroti salah satu topik pidato Zulkifli pada Sidang Tahunan MPR RI, pada 16 Agustus lalu, yang menilai pembayaran pokok utang pemerintah sudah tidak wajar.

Sementara saat berbicara langsung menanggapi kritik Zulkifli itu, Sri Mulyani mengatakan bahwa pengelolaan utang di pemerintahan Joko Widodo tidak jauh berbeda dari periode sebelumnya.

"Kalau dari sisi pengelolaan utang, secara keseluruhan adalah suatu yang normal dari zaman semenjak krisis ekonomi 1997-1998,” kata Sri Mulyani di sela-sela sebuah seminar di Hotel Borobudur, Jakarta, pada Senin (20/8/2018).

“Itu pengelolaan sebagian [dengan] pembayaran cicilan, sebagian rollover [perpanjangan utang lama]. Itu suatu yang normal dilakukan di semua negara," Sri Mulyani menambahkan.

Dia juga mengklaim pembayaran utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2019 sebesar Rp409 triliun bukan sesuatu yang merisaukan karena mekanisme penyelesaiannya sudah tersedia dan sering dilakukan pemerintah.

"Yang penting bukan masalah jatuh temponya, eksposure, tapi juga keseluruhan. Jadi selama market-nya confident dan kita bisa melakukan issuers [penerbitan] dari SBN [Surat Berharga Negara], itu masuk growth issuers yang kita pertimbangan tahun depan. Apakah itu sebagian dibayar atau sebagian di-rollover," kata Sri Mulyani.

"Dari dulu, pemerintahan bu Megawati, pak Gusdur kemudian sampai sekarang itu selalu kombinasi di antara itu," tambahnya.

Sementara di unggahan akun facebooknya, Sri Mulyani mengungkapkan 7 poin bantahan. Dia mengawali unggahannya dengan menyoroti data yang disebut Zulkifli soal nilai pembayaran pokok utang pemerintah yang jatuh tempo pada 2018 sebesar Rp400 triliun. Zulkifli menyebut nilai itu setara 7 kali Dana Desa dan 6 kali anggaran kesehatan.

“Pernyataan tersebut selain bermuatan politis juga menyesatkan,” tulis Sri Mulyani di unggahannya.

Berikut ini, tujuh poin unggahan Sri Mulyani yang membantah materi pidato Zulkifli di sidang tahunan MPR soal utang pemerintah (diedit secara minor):

1. Pembayaran pokok utang tahun 2018 sebesar Rp396 triliun, dihitung berdasarkan posisi utang per akhir Desember 2017. Dari jumlah tersebut 44 persen adalah utang yang dibuat pada periode sebelum 2015 (Sebelum Presiden Jokowi). Ketua MPR (Zulkifli) adalah bagian dari kabinet saat itu (Menteri Kehutanan periode 2009-2014).

Sementara 31,5 persen pembayaran pokok utang untuk instrumen SPN/SPN-S yang bertenor di bawah satu tahun yang merupakan instrumen untuk mengelola arus kas. Pembayaran utang saat ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi dari utang masa lalu, mengapa baru sekarang diributkan?

2. Karena Ketua MPR menggunakan perbandingan, mari bandingkan jumlah pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan dan anggaran Dana Desa.

Jumlah pembayaran pokok utang Indonesia tahun 2009 adalah Rp117,1 triliun, sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp25,6 triliun. Jadi perbandingan pembayaran pokok utang dan anggaran kesehatan adalah 4,57 kali lipat. Pada 2018, pembayaran pokok utang adalah Rp396 triliun sedangkan anggaran kesehatan adalah Rp107,4 triliun, atau perbandingannya turun 3,68 kali. Artinya rasio yang baru ini sudah menurun dalam 9 tahun sebesar 19,4 persen.

Bahkan di tahun 2019 anggaran kesehatan meningkat menjadi Rp122 triliun atau 4,77 kali anggaran tahun 2009, dan rasionya mengalami penurunan jauh lebih besar lagi, yakni 26,7 persen. Di sini anggaran kesehatan tidak hanya yang dialokasikan ke Kementerian Kesehatan, tapi juga untuk program peningkatan kesehatan masyarakat lainnya, termasuk DAK Kesehatan dan Keluarga Berencana.

Mengapa saat Ketua MPR ada di kabinet dulu tidak pernah menyampaikan kekhawatiran kewajaran perbandingan pembayaran pokok utang dengan anggaran kesehatan, padahal rasionya lebih tinggi dari sekarang? Jadi ukuran kewajaran yang disebut Ketua MPR sebenarnya apa?

Kenaikan anggaran kesehatan hingga lebih 4 kali lipat dari 2009 ke 2018 menunjukkan pemerintahan Presiden Jokowi memperhatikan dan memprioritaskan pada perbaikan kualitas sumber daya manusia.

3. Ketua MPR juga membandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa. Karena dana desa baru dimulai 2015, jadi sebaiknya kita bandingkan pembayaran pokok utang dengan dana desa tahun 2015 yang besarnya 10,9 kali lipat. Pada 2018, rasio menurun 39,3 persen menjadi 6,6 kali, bahkan di tahun 2019 menurun lagi hampir setengahnya menjadi 5,7 kali. Artinya kenaikan dana desa jauh lebih tinggi dibandingkan peningkatan pembayaran pokok utang. Tidak ada bukti dan ukuran mengenai kewajaran yang disebut Ketua MPR.

Jadi arahnya adalah menurun tajam. Mengapa membuat pernyataan ke rakyat di mimbar terhormat tanpa memberikan konteks yang benar? Bukankah tanggung jawab pemimpin negeri ini memberikan pendidikan politik yang baik kepada rakyat dengan memberikan data dan konteks yang benar.

4. Pemerintah terus melakukan pengelolaan utang dengan hati-hati (pruden) dan terukur (akuntabel). Defisit APBN selalu dijaga di bawah 3 persen per PDB (Produk Domestik Bruto) sesuai batas UU Keuangan Negara. Defisit APBN terus dijaga, dari 2,59 persen per PDB tahun 2015, menjadi 2,49 persen tahun 2016, dan 2,51 persen tahun 2017. Pada 2018, diperkirakan 2,12 persen, serta pada 2019 sesuai Pidato Presiden di depan DPR, defisit akan menurun menjadi 1,84 persen per PDB.

Ini bukti pemerintah berhati-hati dan terus menjaga risiko keuangan negara secara profesional dan kredibel. Karena yang kami pertaruhkan perekonomian dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

5. Defisit keseimbangan primer juga diupayakan menurun dan menuju ke arah surplus. Pada 2015, defisit keseimbangan primer Rp142,5 triliun, menurun menjadi Rp129,3 triliun (2017) dan pada 2018 menurun lagi menjadi defisit Rp64,8 triliun (outlook APBN 2018). Pada 2019, direncanakan defisit keseimbangan primer menurun lagi menjadi Rp21,74 triliun. Sekali lagi menunjukkan bukti kehati-hatian pemerintah menjaga keuangan negara menghadapi situasi global yang sedang bergejolak. Apakah ini bukti ketidak-wajaran atau justru malah makin wajar dan hati-hati?

6. Selama 2015-2018, pertumbuhan pembiayaan APBN melalui utang justru negatif. Penambahan utang diupayakan menurun seiring dengan menguatkan penerimaan perpajakan dan penerimaan bukan pajak. Bila tahun 2015 pertumbuhan pembiayaan utang adalah 49,0 persen (karena pemerintah melakukan pengamanan ekonomi dari tekanan jatuhnya harga minyak dan komoditas lainnya), pada 2018 pertumbuhan pembiayaan utang justru menjadi negatif 9,7 persen.

Ini karena pemerintah terus meningkatkan kemampuan APBN yang mandiri. Ini juga bukti lain bahwa pemerintah berhati-hati dalam mengelola APBN dan kebijakan utang. Hasilnya? Pemerintah mendapat perbaikan rating menjadi “investment grade” dari semua lembaga pemeringkat dunia sejak 2016. Jadi siapa yang lebih berkompeten menilai kebijakan fiskal dan utang pemerintah wajar atau tidak?

7. APBN adalah instrumen untuk mencapai cita-cita bernegara, untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur serta makin mandiri. Komitmen dan kredibilitas pengelolan APBN ini sudah teruji oleh rekam jejak pemerintah selama ini. Mari cerdaskan rakyat dengan politik yang berbasis informasi yang benar.

Baca juga artikel terkait UTANG INDONESIA atau tulisan lainnya dari Shintaloka Pradita Sicca

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Shintaloka Pradita Sicca
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Addi M Idhom