Menuju konten utama
Kasus Perkosaan di Kemenkop

Alasan Menikahkan Korban Perkosaan dengan Pelaku Bukan Solusi

Menikahkan korban dengan pelaku bukan solusi kasus kekerasan seksual, justru membuat korban makin trauma.

Alasan Menikahkan Korban Perkosaan dengan Pelaku Bukan Solusi
Ilustrasi Kasus Perkosaan. tirto.id/Nadya

tirto.id - Korban kekerasan seksual di Kementerian Koperasi dan UKM berinisial ND akan mengajukan praperadilan atas surat perintah penghentian penyidikan (SP3) terkait kasusnya oleh kepolisian yang ditetapkan sejak 2020.

“Iya, rencana untuk melakukan praperadilan atas SP3,” kata tim pendamping keluarga korban dari LBH Apik Jawa Barat, Asnifriyanti Damanik kepada reporter Tirto, Kamis (27/10/2022).

Kasus pemerkosaan yang dialami ND terjadi pada 6 Desember 2019, di Bogor, Jawa Barat dengan cara dicekoki minuman beralkohol. Korban diduga mengalami pemerkosaan oleh empat orang: WH (PNS golongan 2C), ZP yang berstatus CPNS, serta MF dan NN (keduanya tenaga honorer).

Kepolisian Bogor sebelumnya diduga mendesak keluarga korban berdamai dengan terduga pelaku. Keluarga korban akhirnya luluh saat ada permintaan acara lamaran dari salah satu pelaku yang masih lajang berinisial Z.

Asnifriyanti mengatakan, solusi menikahkan korban dengan terduga pelaku memang bukan inisiatif kepolisian. “Tapi [ide menikahkan] difasilitasi penyidik dalam arti mendorong keluarga korban untuk berdamai dengan menerima penawaran para tersangka. Salah satunya adalah menikah dengan korban,” kata dia.

Koordinator Advokasi Nasional LBH APIK, Ratna Batara Munti menambahkan, setelah dinikahkan pada Maret 2020, beberapa hari kemudian pelaku tidak pernah lagi menemui korban. Pelaku malah mendapat beasiswa dari Kemenkop UKM.

Seiring berjalannya waktu, tepatnya pada Senin, 17 Oktober 2022, korban didugat cerai dengan dalih ketidakharmonisan oleh pelaku Z.

“Keluarga korban awalnya memberikan somasi ke pelaku karena tidak ada itikad baik. Di surat perjanjian tertulis jika tidak ada itikad baik dari pelaku, akan diproses hukum,” kata Ratna kepada reporter Tirto, Kamis (27/10/2022).

Menikahkan Korban dengan Pelaku Justru Nambah Trauma

Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi menilai, pemaksaan perkawinan antara pelaku dengan korban bukan solusi untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual, terutama bagi pemulihan trauma korban.

Korban malah bisa jadi mengalami trauma yang semakin berlipat karena harus bertemu atau berhubungan seksual dengan pelaku, tidak memiliki bargain di hadapan keluarga atau suami karena dianggap telah diselamatkan dari aib.

Selain itu, pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku akan menjadikan korban semakin rentan mendapatkan kekerasan, seperti KDRT, diperlakukan semena-mena, hak keadilannya tidak terpenuhi, dan korban tidak pulih.

“Buruknya dampak pemaksaan perkawinan yang dialami para korban inilah yang menjadi salah satu alasan ditetapkannya pemaksaan perkawinan sebagai kejahatan,” kata Siti Aminah kepada Tirto.

Koordinator Advokasi Nasional LBH APIK, Ratna Batara Munti juga mengkritik keputusan menikahkan korban dengan pelaku. Sebab, korban tidak bisa dimintai persetujuan karena masih dalam keadaan trauma. Apalagi hal itu sebagai modus agar pelaku keluar dari jerat pidana.

“Pas diperkosa saja belum pulih, eh ini malah dipersatukan dengan pelaku, apa itu nggak tambah trauma? Pas didampingi saja depresi, menutup diri, bahkan jarang ngomong, jaga jarak," kata Ratna.

Dia mengatakan, hal itu hanya akan menguntungkan pelaku dibanding korban. “Misal hak-hak penanganan, nggak penegakan bagi pelaku, jadinya impunitas,” kata Ratna.

Kemudian penyelesaian kasus pemerkosaan itu juga melanggar Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) Nomor 12 Tahun 2022. Meski peristiwanya terjadi pada 2019 atau saat RUU TPKS belum disahkan, tapi proses penyelesaian kasus dapat merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

“Ketika dinikahkan tidak dipenuhi hak-hak korban yang sudah diatur di dalam UU tersebut, [padahal] harus dipenuhi seperti rehabilitasi trauma dan sebagainya,” kata Ratna menambahkan.

Selain itu, kata Ratna, alasan restoriatif justice tidak bisa digunakan untuk SP3, apalagi terdapat bukti-bukti yang kuat untuk memproses hukum pelaku.

“Intinya keberatan dengan adanya SP3. Keluarga juga nggak ada upaya pencabutan laporan,” kata Ratna.

Masuk Kategori Rape Culture

Dalam konteks ini, Siti Aminah mengatakan, kasus ini dikategorikan sebagai rape culture, yakni kekerasan didalam relasi kerja yang menunjukkan perempuan memiliki kerentanan dari pelaku yang merupakan atasannya.

Kejadian ini membuktikan bahwa rape culture masih mengakar sistematis dan membuat korban sulit mendapat keadilan. “Budaya pemerkosaan selalu berakar pada kepercayaan, kekuasaan, dan kontrol patriarki,” kata Siti Aminah.

Siti Aminah menjelaskan, budaya pemerkosaan kerap terjadi, seperti menyalahkan korban atau membenarkan kekerasan seksual atau kekerasan berbasis jender lainnya atau menganggapnya sebagai 'kenakalan laki-laki.’

Sehingga, kata Siti Aminah, ketika korban akan mengklaim keadilannya, ia sudah dihadapkan prasangka-prasangka atau mitos yang dibangun yang memposisikan perempuan sebagai pihak salah, menggoda, serta berada di tempat yang salah.

“Mitos-mitos ini terinternalisasi pula di aparat penegak hukum, yang mempengaruhi cara kerja dalam penanganan kasus kekerasan seksual,” kata dia menambahkan.

Komnas Perempuan Desak Pemeriksaan Internal

Mengingat peristiwa terjadi dalam relasi kerja di Kemenkop UKM, kata Siti Aminah, Komnas Perempuan mendorong Menteri Teten Masduki melakukan pemeriksaan internal terhadap sejumlah orang yang diduga sebagai pelaku kekerasan seksual.

Kemudian menjatuhkan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan. Lalu, melakukan pemeriksaan menyeluruh kemungkinan peristiwa serupa terjadi dalam kegiatan-kegiatan lain, yaitu dipaksa mabuk dan diperkosa, untuk menilai budaya kerja yang terbangun.

Selanjutnya, kata dia, memfasilitasi pemulihan bagi korban dan menjelaskan secara transparan langkah-langkah yang telah dan akan diambil untuk kasus ini.

“Sedangkan pada tatanan kebijakan, Kemenkop UKM membentuk kebijakan internal untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan Kemenkop UKM sebagai bagian dari pelaksanaan UU TPKS untuk membentuk lingkungan yang bebas dari kekerasan seksual,” kata dia.

Oleh karena itu, kata Siti Aminah, Komnas Perempuan mendorong agar kasus kekerasan seksual tersebut harus kembali diproses hukum supaya korban bisa mendapatkan keadilan.

“SP3 kasus bisa diajukan praperadilan untuk dinyatakan tidak sah sehingga penyidikan dapat dibuka kembali,” kata dia.

Menteri Teten Bentuk Tim Independen

Teten pun mengaku, pihaknya akan membentuk tim independen untuk membantu pengusutan kasus kekerasan seksual yang menimpa pegawainya. Hal ini diungkapkan usai bertemu dengan keluarga korban, pendamping dan aktivis perempuan di kantor Kemenkop UKM di Jakarta.

“Keluarga korban membuka kembali kasus pelecehan seksual dengan melaporkan kembali kasusnya ke LBH APIK dan Ombudsman. Untuk itu, Kemenkop UKM bergerak cepat membentuk Tim Independen sebagai upaya penyelesaian kasus tindak pidana kekerasan seksual di lingkungan Kemenkop-UKM,” kata Teten seperti dikutip Antara.

Teten menjelaskan, Tim Independen nantinya memiliki dua tugas utama, yaitu: mencari fakta dan memberikan rekomendasi penyelesaian kasus kekerasan seksual maksimal satu bulan.

“Tugas lainnya adalah merumuskan Standar Operasional Prosedur (SOP) internal penanganan tindak pidana seksual Kemenkop-UKM selama jangka waktu tiga bulan,” kata Teten.

Tim Independen terdiri dari unsur Kemenkop yang diwakili Staf Khusus Menkop Bidang Ekonomi Kerakyatan, Riza Damanik; Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA); kemudian aktivis perempuan Sri Nurherwati, Ririn Sefsani, dan Ratna Batara Munti.

Teten menuturkan audiensi bersama aktivis perempuan menjadi pertemuan yang sangat produktif untuk mencari solusi penanganan kasus kekerasan seksual.

“Kemenkop tidak mentolerir praktik tindak kekerasan seksual. Kalau saat ini dianggap masih belum memenuhi asas keadilan, segera kami tindak lanjuti,” kata Teten menegaskan.

Lebih lanjut, Teten berkomitmen menerapkan standar baku penanganan kasus terkait kekerasan seksual. Kemudian mengupayakan pembentukan sistem penanganan yang lebih baik terutama untuk korban, mulai dari pendampingan fisik, mental hingga konseling.

“Kasus ini sekaligus menjadi momentum untuk kami menyiapkan SOP pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Saya sudah bertemu keluarga korban dan kami akan mengakomodir tuntutan dari keluarga korban," ungkapnya.

Pihaknya, kata Teten, juga siap memberikan data pendukung yang diperlukan dan berkoordinasi dengan tim independen, sehingga perlindungan keluarga korban di kementerian dipastikan terjamin dan tidak ada intimidasi apa pun.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN SEKSUAL atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Riyan Setiawan
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz