tirto.id - Tim kuasa hukum Ratna Sarumpaet menolak segala replik yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Penolakan tersebut dinyatakan setelah tim kuasa hukum menelaah replik JPU dan dibacakan di persidangan.
"Setelah mempelajari dan mencermati replik dari JPU, secara substansi ada enam poin penting yang dikemukakannya dan kami, penasihat hukum terdakwa, sangat tidak sependapat dengan replik JPU, sehingga kami menolak seluruh dalil-dalil JPU," kata kuasa hukum Ratna, Insank Nasruddin saat membacakan duplik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Pertama, tim kuasa hukum mempersoalkan kata "memberitahu" dengan makna "menyiarkan". Sebab, menurut ahli bahasa yang dihadirkan tim kuasa hukum, makna "menyiarkan" berbeda dengan makna "memberitahu."
Oleh sebab itu, makna "menyiarkan" yang dikenakan pada Ratna bila mengacu pasal 14 ayat 1 UU tahun 1 Tahun 1946 tidak akurat.
Kedua, JPU hanya mengartikan makna keonaran dalam duplik. Jaksa tidak menyampaikan bentuk atau keonaran dalam replik. JPU pun dianggap tidak mempertimbangkan makna keonaran yang dinyatakan ahli dari tim kuasa hukum.
Kuasa hukum Ratna menilai JPU sangat tendensius dan subjektif dalam membuktikan perbuatan terdakwa. Jaksa pun dianggap keliru memaknai aksi demonstrasi yang dilakukan 20 orang di Polda Metro Jaya.
Ketiga, mereka mempersoalkan posisi penyidik sebagai saksi. Kuasa hukum beranggapan JPU keliru menafsirkan pasal 184 ayat 1 KUHAP dan pasal 85 ayat 1 KUHAP karena penyidik punya kepentingan dalam menangani perkara.
Oleh sebab itu, keterangan penyidik dipastikan memberatkan terdakwa jika diminta keterangan sebagai saksi.
Keempat, mereka mempersoalkan keterangan ahli sosiologi Trubus Rahardiansyah. Sebab, ahli tersebut tidak menyampaikan riwayat dalam persidangan. Menurut kuasa hukum, Trubus telah melanggar asas 184 ayat 1 KUHAP sehingga keterangan ahli harus dikesampingkan.
Kelima, mereka mempersoalkan alat bukti yang disampaikan tidak berkorelasi dalam membuktikan tuntutan. Sebab, barang bukti berupa screenshot twit dan hasil cetak foto JPU tidak relevan.
Keonaran dalam pasal 14 ayat 1 UU 1 tahun 1946 menyatakan harus dalam benturan fisik. Bukti keonaran tidak bisa diambil dari peristiwa dunia maya saja.
Terakhir, mereka mempersoalkan makna rakyat dunia maya selayaknya rakyat dunia nyata. Sebab, keterangan tersebut tidak relevan dengan dinyatakan saksi dan ahli di persidangan tentang makna keonaran.
"Berdasarkan uraian-uraian yang kami sampaikan tersebut di atas, maka segala hal yang didalilkan oleh JPU, baik di dalam dakwaan, tuntutan, maupun repliknya tidak sesuai ketentuan hukum sebagaimana maksud dalam pasal XIV Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana dan menunjukkan bahwa terdakwa Ratna Sarumpaet tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar ketentuan pasal XIV Ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 tentang peraturan Hukum Pidana," kata Insank.
"Oleh karena itu, mohon kiranya Majelis Hakim Yang Mulia menolak segala dalil yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum dan menjatuhkan putusan terhadap Terdakwa Ratna Sarumpaet sesuai dengan amar yang kami sampaikan di dalam nota pembelaan [pleidoi]," tutur Insank.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Maya Saputri