tirto.id - Pengacara Ratna Sarumpaet, Insank Nasruddin membacakan duplik atau jawaban atas replik jaksa penuntut umum, Selasa (25/6/2019).
Dalam persidangan, tim kuasa hukum beranggapan jika kasus Ratna merupakan kasus yang berat bagi sang aktivis HAM itu. Sebab, diusia yang sudah tidak muda Ratna masih harus terjerat hukuman berat.
"Di usianya yang 70 tahun terdakwa masih harus menghadapi tuntutan hukum yang sangat berat. Bahkan lebih berat dari tuntutan seorang pelaku korupsi hanya karena cerita penganiayaan dan mengirim foto berwajah lebam yang disampaikan beberapa orang ternyata adalah tidak benar," kata Insank saat membacakan duplik dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (25/6/2019).
Sebelumnya, Ratna dituntut 6 tahun penjara. Jaksa beranggapan Ratna terbukti melanggar pasal Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 14 ayat (1) karena telah menyebarkan informasi bohong kalau dirinya telah dipukuli orang di Bandung. Namun, Ratna sebenarnya menjalani operasi plastik di Jakarta.
Insank memaparkan sejumlah poin yang menjadi penekanan dalam duplik. Ia menyampaikan kalau Ratna tidak berniat untuk melakukan berbuat keonaran.
Menurut tim kuasa hukum, cerita kebohongan Ratna hanya disampaikan untuk menutupi rasa malu. Dalil tersebut pun sudah dibuktikan dalam proses persidangan.
Selain itu, bila mengacu fakta persidangan, kuasa hukum meyakini jika tuntutan jaksa yakni pasal 14 ayat 1 UU 1 tahun 1946 tidak terpenuhi.
Sebab, kuasa hukum melihat ada perbedaan makna antara menyiarkan pemberitaan bohong tidak terbukti dan tidak ada keonaran. Selain itu, mereka melihat pasal ini jarang digunakan.
Sehingga, kuasa hukum mengaitkan tuntutan terhadap Ratna sebagai upaya menghentikan sikap kritis Ratna.
"Patut diduga kasus ini cenderung dipaksakan dan berupaya membungkam seorang Ratna Sarumpaet yang selalu kritis kepada pemerintah sebagai seorang aktivis demokrasi. Hal ini dibuktikan pasal yang digunakan adalah pasal yang dipakai dalam keadaan genting atau tidak normal yang tercatat dalam sejarah tidak pernah diterapkan sejak Indonesia merdeka," kata Insank.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Nur Hidayah Perwitasari