tirto.id - Sekretariat Jenderal DPR RI membuat tata tertib (tatib) baru dalam pelaksanaan rapat paripurna di parlemen. Dalam surat bernomor 875/RT.05/10/2024 disebutkan bahwa wartawan wajib menggunakan dress code pakaian sipil lengkap (jas dan blazer) di area rapat paripurna. Selain itu, wartawan/pers wajib menggunakan id card yang dikeluarkan Sekretarian Jenderal DPR RI. Tata tertib itu disebut dalam rangka penataan ketertiban, kenyamanan, dan keamanan bagi anggota DPR RI.
"Apabila tidak menggunakan id card dimaksud, tidak diperkenankan masuk ke area gedung ruang rapat paripurna DPR RI," tulis surat tersebut.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR RI, Indra Iskandar, mengatakan tatib tersebut wajib dipatuhi karana rapat paripurna merupakan acara resmi. "Jadi, setiap yang hadir diharapkan rapih," kata Indra saat dikonfirmasi Tirto, Selasa (19/11/2024).
Aturan ini direncanakan akan diterapkan di era Presiden Prabowo Subianto. Indra berkata, acara persidangan memang akan ditata agar pengamanan mudah mengidentifikasi tamu-tamu yang hadir.
Aturan Dinilai Tak Tepat
Meski disebut sebagai upaya pengamanan dan identifikasi tamu, wartawan keberatan dengan kebijakan tersebut. Salah satu jurnalis televisi, Teddy, mengaku heran dengan tatib baru kesekjenan DPR RI tersebut. Ia meminta agar DPR harus memahami aktivitas jurnalis yang meliput tak hanya satu tempat.
"Kami tetap menghargai aturan, tapi mohon juga dinilai dari aktivitas dan efektivitas kami sebagai jurnalis," kata Teddy kepada Tirto.
Ia tak mempersoalkan bila penggunaan jas/blazer digunakan saat meliput acara resmi seperti Hari Kemerdekaan RI. Ia meyakin jurnalis akan mengenakan jas rapih meski tanpa ada aturan tertulis.
"Jurnalis melakukan liputan dengan bergerak cepat dinamis. Lari kiri, kanan, turun, naik dengan peralatan dan tas ransel dan barang bawaan," tutur Teddy.
Ia mengatakan, mengenakan jas dan blazer setiap paripurna tidak efektif dan efisien. "Karena alasan tadi harus bergerak cepat lari-lari bawa ransel [kejar narasumber]," kata Teddy.
Sementara itu, salah satu jurnalis media daring, Deddy, menilai aturan tersebut terlalu kaku sehingga terkesan membatasi hak jurnalis untuk meliput dan berdampak pada pekerjaan di lapangan. Ia meminta agar aturan tersebut perlu dikaji ulang.
"Kebebasan pers adalah prinsip fundamental dalam demokrasi, dan segala bentuk kebijakan yang menyulitkan tugas jurnalis dapat dianggap sebagai upaya yang tidak sejalan dengan nilai-nilai tersebut," tegas Deddy.
Deddy berkata, bila aturan tersebut bisa dianggap mengekang kebebasan pers bila dipaksakan. Sebab, kata dia, aturan itu menjadi penghalang bagi jurnalis untuk melakukan peliputan secara leluasa.
"Kebijakan tersebut bisa saja dianggap sebagai bentuk hambatan tidak langsung. Oleh karena itu, penting untuk meninjau kembali kebijakan tersebut agar tetap proporsional, mengutamakan kenyamanan kerja jurnalis, dan tidak mengganggu prinsip kebebasan pers," pungkas Deddy.
Organisasi wartawan pun ikut mengritik kebijakan tersebut. Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Erick Tanjung, memandang, tidak ada relevansi penggunaan jas dengan kegiatan jurnalistik para karyawan di DPR. AJI dengan tegas menolak aturan tersebut.
"Jadi, AJI melihatnya ini kebijakan yang tidak tepat. Kita tolak. Wartawan yang ada yang ngepos di DPR seharusnya juga menyuarakan ini, menolak itu," kata Erick kepada Tirto.
Menurut Erick, bila hanya karena alasan menarik untuk dilihat tidak ada kaitannya dengan kegiatan jurnalistik. Ia berkata, wartawan melaksanakan kegiatan jurnalistik sesuai dengan aturan yang berlaku.
"Kalau itu sampai menghambat kerja jurnalistik, nah ini adalah aturan itu tentu melanggar kemerdekaan pers," tegas Erick.
Senada, Sekjen AJI, Bayu Wardhana mengatakan aturan Kesekjenan DPR RI itu tak masuk akal. Ia beralasan, beberapa media memiliki seragam sendiri untuk menunjukkan citra perusahaannya.
"Dengan aturan ini, jadi kacau," kata Bayu.
Bayu berkata, jurnalis dalam menjalankan kerja jurnalistik bebas berpakaian. Ia menegaskan tidak ada kaitan sama sekali dengan tugas jurnalis memberi kabar ke publik tentang kegiatan DPR dengan pakaian yang diseragamkan.
"Ini bentuk pengekangan pada pers. Karena dengan peraturan ini, maka ke depan, jurnalis akan bisa ditolak masuk DPR hanya karena pakaian," tutur Bayu.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Andrian Pratama Taher