tirto.id - Letnan Jenderal Ali Sadikin adalah Gubernur DKI Jakarta yang cukup peduli dengan nasib museum di Jakarta. Di masa kepemimpinannya, Bang Ali amat peduli pada bangunan bersejarah yang berumur di atas 50 tahun. Bang Ali merasa dia tidak sendiri dalam memperhatikan bangunan bersejarah.
“Ada tenaga sukarela yang suka sekali pada soal sejarah dan permuseuman, yakni Adjie Damais. Ia banyak membantu saya,” aku Ali Sadikin dalam Bang Ali Demi Jakarta 1966-1977 (1992, hlm. 162).
Nama dan sosok Adjie Damais, atau lengkapnya Soedarmadji Jean Henry Damais, barangkali tidak familier di kalangan awam. Namun, sebagaimana disebut Bang Ali, dia turut berjasa dalam upaya restorasi gedung-gedung tua bersejarah di Jakarta. Tak hanya itu, dia juga dikenal sebagai tokoh permuseuman dan budaya.
Adjie yang lahir pada 1942 itu pernah belajar arsitektur dan kebudayaan di Ecole Nationale des Beaux-Arts di Prancis pada awal 1960-an. Lalu, pada 1970-an, dikenal sebagai pencinta barang-barang kuno dan berminat pada batik. Dari itulah Adjie yang keturunan Jawa-Perancis dilirik oleh Ali Sadikin.
Adjie Damais bersama Ir. Wasto Paragantha, menurut Wardiman Djojonegoro dalam Sepanjang Jalan Kenangan (2016, hlm. 109), adalah orang yang membujuk Ali Sadikin untuk menerima ahli desain dari PBB bernama Sergio Dello Strologo. Dia lalu datang ke Jakarta untuk membantu progam kerajinan rakyat.
Bang Ali juga meminta Strologo membuat rancangan proyek pemugaran gedung Balai Kota Batavia di kawasan Kota Tua. Bang Ali langsung setuju pada rancangan Strologo dan memerintahkan proyek itu segera dilaksanakan. Menurut Wardiman, proyek pemugaran itu melibatkan pula Adjie Damais.
Setelah dipugar, gedung klasik itu diresmikan sebagai Museum Sejarah Jakarta pada 30 Maret 1974. Museum Sejarah Jakarta—jamak pula dikenal dengan nama Museum Fatahilah—kemudian jadi salah satu destinasi wisata sejarah utama di ibu kota. Tak hanya itu, museum itu juga merupakan tengara visi Bang Ali menjadikan Jakarta sebagai kota berbudaya.
Adjie bersama Wardiman Djojonegoro juga pernah menjadi koordinator bidang museum dan proyek pemugaran kota tua. Adjie juga sempat menjabat sebagai Direktur Museum Sejarah Jakarta hingga pensiun pada 1998. Berikutnya, Adjie turut pula menggarap Balai Seni Rupa Jakarta yang diresmikan pada 20 Agustus 1976.
“Saya bukan ahli museum tetapi orang yang suka sejarah dan kebetulan pada zaman Ali Sadikin disuruh mengurus museum,” aku Adjie kepada Alit Ambara dalam Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000: Diskusi Bulan Purnama (2002, hlm. 15).
Keluarga Penekun Sejarah
Kebudayaan dan sejarah renjana Adjie Damais muda. Mungkin juga, minat itu menurun dari orang tuanya. Ayahnya, Louis Charles Damais (1911-1966), adalah seorang efigrafis alias pembaca dan ahli tulisan kuno yang bekerja di École Française d'Extrême-Orient (Lembaga kebudayaan Perancis untuk budaya Timur). Sementara itu, ibunya, Raden Ayu Soejatoen Poespokoesoemo (1912-2005) merupakan asisten pustakawan di sebuah perpustakaan di Jakarta.
Andrew Stuart Thompson dalam The Oxford Handbook of the Ends of Empire (2018, hlm. 404) menyebut mereka menikah pada Juni 1942, saat bala tentara Jepang sudah manduduki Indonesia. Kala itu, Louis Damais memilih masuk Islam dengan dibimbing oleh Haji Agus Salim.
Di zaman Pendudukan Jepang, seperti disebut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia (1996, hlm. 425-426), Louis Damais ikut serta dalam gerakan bawah tanah di lingkaran Sutan Sjahrir. Orang asing lain yang direkrut Sjahrir untuk ikut melawan Jepang adalah Charles Tambu.
Sejarawan Harry Benda di jurnal Indonesia (April 1967) mengakui Louis Damais sebagai sosok yang membuatnya tertarik mendalami sejarah Indonesia di masa Pendudukan Jepang.
Louis Damais menulis beberapa buku tentang sejarah Indonesia kuno, begitu pun Adjie Damais yang meminati sejarah kuno hingga hari tuanya. Di rumahnya yang terletak di kawasan Kemang Utara, Adjie memiliki koleksi beragam arca dari era Jawa kuno.
Di masa tuanya, Adjie menulis buku tentang peninggalan Majapahit yang kemudian terbit dengan judul Majapahit Terracotta (2012). Sebelumnya, sebagai pencinta batik dan pernah belajar pada pengusaha batik legendaris Go Tik Swan, Adjie menyusun buku berjudul sederhana: Batik (1979). Adiknya, Asmoro Damais, juga seorang pencinta batik. Selain itu, Adjie ikut juga menulis buku tentang budaya Jawa yang berjudul Java Style (1997).
Pada 28 Oktober 2015, pemerintah Perancis menganugerahinya Chevalier de Arts et Lettres atas kontribusinya di bidang kebudayaan.
Adjie Damais, seturut Ali Sadikin, juga turut andil dalam sejarah awal mula kontes kecantikan Putri Indonesia. Semula, Bang Ali-lah yang melempar ide membuat sebuah kontes kecantikan kepada Wim Bahar Tomasoa. Kemudian, Wim mengajak Adjie untuk ikut membantunya mewujudkan ide Bang Ali itu.
Adjie dan Wim berkawan dengan Guruh Sukarnoputra yang hidupnya juga dekat dengan seni dan budaya. Bersama kedua tokoh itu, seperti dikabarkan majalah Tempo (17 Desember 1977), Adjie pernah naik haji ke Mekah.
“Cambang dan kumis ini akan kami potong bersama pada tanggal 31 Desember (1977) nanti,” kata Adjie waktu itu.
Kemarin, 15 September 2021, Adjie dikabarkan berpulang dalam usia 79 tahun. Dia lalu dimakamkan di Pemakaman Umum Jeruk Purut, dekat dengan pusara ayahnya. Selamat jalan Pak Adjie Damais.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi