tirto.id - Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan Bachtiar Najamudin, mengusulkan agar pembiayaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) dapat dilakukan menggunakan dana zakat. Pasalnya, menurut Sultan, nominal dana zakat di Indonesia tergolong besar.
"Saya kemarin juga berpikir kenapa enggak ya zakat kita yang luar biasa besarnya juga kita mau libatkan ke sana [membiayai program MBG]," kata Sultan di Gedung Nusantara V, Komplek DPR/MPR RI, Selasa (14/1/2025).
Selain itu, Sultan menilai bahwa masyarakat perlu dilibatkan dalam program prioritas pemerintahan Presiden Prabowo Subianto tersebut. Sehingga, beban pembiayaan untuk MBG tidak hanya digantungkan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Bagaimana kita menstimulus agar masyarakat umum pun terlibat di program makan bergizi gratis ini," kata dia.
Selain itu, menilik kedermawanan dan filosofi gotong-royong yang hidup di masyarakat Indonesia, Sultan yakin usulannya tersebut dapat lebih mudah direalisasikan.
"Saya sih melihat ada DNA dari negara kita. DNA dari masyarakat Indonesia itu kan dermawan, gotong royong. Nah, kenapa enggak ini justru kita manfaatkan juga," tambah Sultan.
Selain mengharapkan dana zakat, Sultan juga berharap ada sokongan dana asing untuk membiayai program MBG. Menurutnya, sokongan dana tersebut dapat dihasilkan melalui komunikasi dengan duta-duta besar dan perwakilan berbagai negara yang ada di Indonesia, seperti yang selama ini telah dilakukannya.
"Saya pun sudah menyampaikan dengan beberapa duta besar. Saya sampaikan tolong dong kami punya negara ini. Negara kami punya program andalan yang namanya Makan Bergizi Gratis. Tolong juga kalau negara-negara luar juga ingin berkontribusi. Nah, ternyata kemarin juga kita senang Jepang sudah mulai ikut support kita," beber Sultan.
Butuh Kajian Lebih Mendalam
Wacana membiayai program MBG dengan dana zakat sebetulnya bukan hal baru. Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) pada akhir tahun lalu merilis publikasi berjudul Konsep Pengelolaan Program Makan Bergizi Gratis dan Penguatan Mustahik (PDF). Dalam publikasi tersebut, Baznas memandang program MBG sebagai salah satu cara untuk menguatkan para mustahik (orang-orang yang berhak menerima zakat) dan membantu umat mencapai kesejahteraan.
Menurut Baznas, zakat dapat digunakan untuk membiayai program MBG karena pada dasarnya salah satu fungsi zakat adalah untuk mengatasi kelaparan bagi delapan golongan mustahik, termasuk fakir dan miskin.
“Program Makan Bergizi Gratis dan penguatan mustahik adalah salah satu contoh implementasi zakat yang digunakan untuk membantu masyarakat miskin, khususnya dalam menyediakan kebutuhan dasar berupa makanan bergizi,” tulis Baznas dalam publikasi tersebut, dikutip Selasa (14/1/2025).
Tidak hanya itu, menurut Baznas, pembiayaan MBG dengan dana zakat juga punya dasar hukum. Di antaranya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat; dan Peraturan Presiden Republik Indonesia No 72 Tahun 2021 Tentang Percepatan Penurunan Stunting.
Kendati demikian, penggunaan dana zakat untuk program MBG masih perlu kajian mendalam. Pasalnya, tidak semua orang bisa menjadi penerima MBG yang dibiayai oleh dana zakat.
“Bagi mereka-mereka yang memang cukup kaya ataupun tidak masuk kepada asnaf[golongan] fakir miskin,” kata Ketua Baznas, Noor Achmad, dikutip dariAntara, Selasa (14/1/2025).
Selain itu, pembiayaan MBG dengan dana zakat juga diperkirakan akan menemui beberapa tantangan seiring dengan banyaknya sasaran penerima manfaat program ini.
“Kita enggak bisa ngukur itu, ya. Karena, makan gratis ini kan [untuk] banyak orang. Sehingga, kita juga enggak bisa verifikasi satu per satu. Tapi intinya, kalau misalnya saja itu digunakan untuk mereka yang fakir miskin, enggak masalah,” imbuh Noor.
Memang, siswa muslim dapat digolongkan sebagai fi sabilillah—salah satu golongan mustahik—karena berjuang di jalan Allah SWT dengan menuntut ilmu. Namun, dana zakat harus terlebih dulu diprioritaskan untuk siswa dari golongan fakir miskin.
“Jadi, kalau selagi ada asnaf fakir miskin, kemudian itu masih cukup banyak yang membutuhkan, kita harus memprioritaskan yang fakir miskin itu,” tegas Noor.
Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) IPB University, Irfan S. Beik, pun mengamini pendapat Noor. Siswa dapat menerima MBG jika dia sudah dipastikan masuk ke dalam golongan fakir miskin. Secara teknis, hal ini dapat dilakukan dengan mengimplementasikan program MBG di daerah-daerah kantong kemiskinan.
“Karena, penerima zakat itu tidak boleh keluar dari 8 asnaf. Kan, pemerintah pasti punya datanya, di mana saja sekolah yang siswanya tidak mampu semua. Kalaupun di satu sekolah ada siswa kaya dan miskin, maka harus dipastikan makan bergizi gratis berbasis zakatnya harus untuk siswa miskin,” jelas Irfan kepada Tirto, Selasa (14/1/2025).
Meski demikian, menu dan harga paket MBG yang diterima oleh anak-anak yang dibiayai dengan dana zakat harus tetap sama dengan APBN untuk menghindari kecemburuan. Dengan begitu, Baznas maupun lembaga amil zakat (LAZ) lain dapat mempertanggungjawabkan dana zakat kepada pemberi zakat dengan jelas.
“Termasuk pertanggungjawaban menu dan biaya paket MBG-nya. Kalau pakai dana zakat ya pemerintah harus melibatkan BAZNAS dan LAZ. Lalu, pertanggungjawabannya mengikuti ketentuan UU Zakat dan ketentuan syariah,” tambah Irfan.
Karena itu pulalah, menurut Irfan, penggunaan dana zakat sebaiknya hanya sebagai pendukung APBN saja.
“Jadi, harus dipastikan tepat sasaran dan sesuai dengan ketentuan syariah,” tegasnya.
Banyak Aspek Masih Rawan
Pakar ekonomi syariah, Yusuf Wibisono, punya pandangan berbeda terkait pembiayaan MBG dengan dana zakat. Menurut Yusuf, dana zakat tak seharusnya digunakan untuk membiayai program MBG. Pasalnya, zakat yang selama ini disalurkan ke organisasi penerima zakat (OPZ), termasuk Baznas dan LAZ, telah memberi kemanfaatan tinggi bagi rakyat miskin melalui program-program pemberdayaan yang didesain oleh OPZ.
Selain itu, LAZ pun memiliki banyak program pemberdayaan pendidikan dan bahkan mengelola sekolah-sekolah gratis untuk masyarakat miskin.
“Jangan sampai gagasan zakat untuk program MBG ini akan menurunkan kinerja program-program pemberdayaan OPZ yang telah berjalan dengan baik selama ini, seperti program pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat miskin hingga pemberdayaan usaha mikro dan petani gurem,” kata Yusuf saat dihubungi Tirto, Selasa (14/1/2025).
Apalagi, desain pelaksanaan program MBG saat ini, menurut Yusuf,masihbelum efisien. Ia masih rawan dengan korupsi, kurang mendorong ketahanan dan kemandirian pangan, serta kurang mampu memberi dampak pengganda (multiplier effect) yang optimal, khususnya bagi ekonomi rakyat.
Karena itu, pelibatan OPZ dalam program MBG sebaiknya dilakukan hanya jika program MBG sudah bisa dijalankan secara terdesentralisasi, bukan tersentralisasi seperti saat ini.
“Jika program MBG sudah dilaksanakan secara terdesentralisasi, di mana pelaksana program adalah pihak sekolah bersama komite sekolah dan orang tua siswa dengan pengawasan dari dinas pendidikan setempat, maka LAZ dapat terlibat baik sebagai pelaksana maupun pengawas dari pelaksanaan program ini,” tambahnya.
Tidak hanya itu, pelibatan OPZ seharusnya hanya dilakukan jika program MBG memberi prioritas pada kelompok miskin yang terhalang mengakses bahan pangan penting, seperti daging, ikan, telur, susu, hingga buah dan sayuran.
Namun, terlepas dari itu, Yusuf mengakui bahwa pelibatan LAZ dalam pelaksanaan program MBG akan membuatnya lebih tepat sasaran. Alasannya, LAZ merupakan simpul masyarakat yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengidentifikasi masyarakat miskin.
Pelaksanaan program secara desentralisasi juga akan menekan korupsi, mendorong partisipasi publik, serta mengakomodasi aspirasi dan kebutuhan lokal.
“Jika program MBG ini didesain secara targeted, maka LAZ dapat berperan penting untuk mendorong ketahanan pangan. Dengan melibatkan LAZ, maka program MBG akan mendorong tumbuhnya inisiatif lokal yang menyediakan makan gratis bagi kelompok rentan, seperti lansia, balita, dan masyarakat miskin ekstrem,” jelas Yusuf.
Dalam hal ini, LAZ dapat berperan sebagai penyalurpaket MBG ke penerima prioritas secara tepat sasaran. Banyak LAZ memiliki program penanggulangan stunting sehingga pelibatannya dalam program MBG juga berpotensi untuk menciptakan sinergi dalam percepatan penanggulangan stunting.
“Dan terakhir, andai OPZ ingin dilibatkan dalam program MBG, sebaiknya hal itu dilakukan jika program MBG bersedia mengakomodasi usaha kecil dan bahkan usaha mikro. Desain pengadaan program MBG saat ini menyulitkan usaha kecil dan terlebih usaha mikro untuk ikut terlibat,” tambah Yusuf.
Menurut Yusuf, desain proses pengadaan MBG seharusnya bertumpu pada usaha mikro dan kecil, bukan mengandalkan pangan hasil produksi usaha besar. Karena dengan begitu, program MBG hanya akan semakin mengokohkan dominasi korporasi dalam rantai pasok pangan.
“LAZ memiliki banyak usaha mikro binaan, terutama usaha mikro yang bergerak di bidang pangan. Maka pelibatan LAZ dalam program MBG akan berpotensi menggerakkan usaha mikro dan kecil secara berkelanjutan,” tukas Yusuf.
Sementara itu, dalam pesan singkatnya kepada Tirto, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan bahwa sampai saat ini anggaran program MBG masih mengacu kepada ketetapan dalam APBN Tahun Anggaran 2025, yakni sebesar Rp71 triliun. Karena itu, dia memastikan akan tetap fokus menjalankan amanat UU Nomor 61/2024 tentang APBN 2025.
“BGN akan tetap fokus dengan anggaran Rp71 triliun untuk tahun 2025. Sampai saat ini belum ada perubahan,” kata dia, Selasa (14/1/2025).
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi