tirto.id - Unggahan Zainul Maarif soal pertemuannya dengan Presiden Israel, Isaac Herzog, bersama sejumlah WNI dari kalangan Nahdlatul Ulama (NU) atau Nahdliyin di Instagram viral.
Dalan unggahannya, ia berharap dapat mendamaikan Hamas-Israel dan membuka hubungan Indonesia-Israel.
Tak lama setelah unggahannya ramai diperbincangkan dan menjadi bahan pemberitaan sejumlah media arus utama Indonesia, ia menutup akun Instagram-nya.
Empat WNI lain yang bersama Zainul bertemu dengan Presiden Israel adalah Munawir Aziz, Nurul Bahrul Ulum, Syukron Makmun, dan Izza Annafisah Dania. Kelima orang itu adalah warga NU atau Nahdliyin.
Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, dalam konferensi pers di Kantor PBNU, Selasa (16/7/2024), membenarkan bahwa mereka merupakan warga NU dan masuk dalam jajaran kepengurusan.
Selain Zainul yang merupakan dosen UNUSIA (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia), empat orang lainnya juga memiliki latar belakang kepengurusan di NU, seperti anggota pencak silat NU, Pagar Nusa; dua orang dari kelompok perempuan NU muda, Fatayat; dan satu dari PWNU DKI Jakarta.
Atas nama PBNU, Yahya meminta maaf kepada masyarakat atas ulah anggotanya. Yahya yang pernah bertemu dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membantah merestui kepergian lima orang itu ke Israel. Maka itu, ia menegaskan jika kehadiran mereka di Israel adalah atas nama pribadi.
"Sehingga yang dilakukan oleh anak-anak yang berangkat ke Israel tempo hari itu adalah tanggung jawab mereka pribadi dan tidak terkait dengan lembaga," ujarnya.
Tak ingin NU dikambinghitamkan atas ulah lima orang Nahdliyin tersebut, Sekjen PBNU, Saifullah Yusuf, akan memanggil mereka dalam forum resmi di Kantor PBNU. Pemanggilan itu dalam rangka mendalami serta menjadi forum tabayyun mengenai motif mereka ke Israel hingga menemui Isaac Herzog.
“Yang bersangkutan akan dipanggil untuk dimintai keterangan dan penjelasan lebih dalam tentang maksud tujuannya, latar belakang, dan siapa yang memberangkatkan serta hal-hal prinsip lainnya,” kata sosok yang dikenal Gus Ipul.
Menurutnya, dia tak segan jika harus memberhentikan lima orang itu dari seluruh kepengurusan NU, baik di level wilayah maupun badan otonom. Karena ada dugaan mereka indisipliner, pergi ke Israel di tengah gejolak invasi ke Palestina.
“Kepergian mereka ke Israel adalah tindakan yang sangat-sangat tidak bijaksana, membingungkan, dan mendapatkan banyak kecaman yang nyata. Kunjungan itu juga melukai perasaan kita semua,” kata Gus Yusuf.
Demi Jadi Juru Damai atau Kepentingan Pribadi?
Zainul Maarif memberikan pernyataan soal kepergiannya bersama empat orang lainnya ke Israel. Dia mengklaim ada alasan penelitian yang hanya bisa dilakukan jika langsung pergi ke Israel. Ia membantah jika kunjungan tersebut atas nama NU, dia menegaskan semuanya dilakukan atas nama pribadi.
"Kami ke Israel tidak membawa bendera NU, melainkan atas nama pribadi untuk melakukan penelitian lapangan," kata Zainul Maarif saat dihubungi Tirto, Senin (15/7/2024).
Dia menjelaskan dalam perjalanannya ke Israel, dia juga bertemu dengan tokoh dan pejabat lainnya.
"Kami berdialog dengan banyak narasumber dari Israel maupun Palestina, dari rakyat biasa sampai pejabat, termasuk Presiden Israel," kata dia.
Menurutnya, ada banyak hal yang ditemukan di lapangan tidak sama seperti yang disampaikan oleh media.
"Kami menemukan banyak hal yang selama ini luput dari pemberitaan media massa Indonesia," ungkapnya.
Menurut Zainul, dia sudah membuat klarifikasi dan penjelasan atas kunjungannya dan mengirimnya ke harian Kompas. Menurutnya pemberitaan mengenai dirinya saat ini bersifat liar dan tidak adil.
"Untuk mengklarifikasi berita liar yang beredar, saya sudah menulis artikel yang semalam saya kirimkan ke Kompas. Semoga segera dipublikasikan," ujarnya.
Alasan lima orang Nahdliyin bertemu Presiden Israel demi mendamaikan Israel-Palestina, menurut Yahya adalah tindakan sia-sia belaka. Bahkan menurutnya, lima orang itu tidak representatif untuk menjadi juru damai, sehingga jika mereka membicarakan itu di Israel tidak akan menjadi bahasan yang substantif.
"Nggak ada hasil apa-apa. Apalagi perjanjian ini itu. Wong dialog yang dilakukan tidak ada yang substansial untuk membantu rakyat Palestina," kata Yahya.
Selain itu, Yahya juga enggan dikaitkan dengan afiliasi organisasi lima orang tersebut, yaitu Rahim atau Pusat Studi Warisan Ibrahim untuk Perdamaian.
LSM yang mendapat pendanaan dari Pemerintah Israel itu mencatut salah satu badan otonom milik NU yaitu Lembaga Bahtsul Masail. Maka itu, dia meminta jajaran pengurus NU untuk menarik unggahan tersebut agar tak ada sangkaan bahwa NU terafiliasi dengan organisasi dari hasil pendanaan Israel.
"Baru saja kami menerima informasi bahwa ada satu lembaga atau organisasi bernama Pusat Studi Warisan Ibrahim untuk Perdamaian yang membuat website rahim.or.id. Di dalam website-nya ini dia mencantumkan bahwa seolah-olah bagian dari jaringan organisasi ini adalah LBM (Lembaga Bahtsul Masail) NU, bahkan mencantumkan logo LBM NU di dalam website-nya," kata dia.
Yahya juga mengklaim mengetahui modus operandi LSM pro Israel dalam mengajak masyarakat Indonesia. Salah satunya melalui jaringan pertemanan lintas kawasan yang banyak diisi oleh aktivisi maupun advokat pro Israel. Mereka bertugas melakukan lobi-lobi demi membantu kepentingan Israel, salah satunya membuka jalur diplomatik dengan Indonesia.
"Ada di mana-mana, di dunia ini ada. NGO ini yang beroperasi sebagai advokat untuk Israel. Membantu lobi kepentingan Israel dan sebagainya. Ini yang ajak mereka," kata Yahya.
Mengevaluasi tindakan lima orang itu, selain dilakukan pemanggilan, dia meminta setiap warga NU yang ingin melakukan hubungan diplomatik agar melalui PBNU. Dia tak melarang warga NU membuka komunikasi dengan Israel, dengan syarat memperhatikan asas sensitivitas.
"Ya, mau gimana lagi, mereka punya kepentingan silakan saja. Tapi saya minta dalam hal ini ya engagement dengan berbagai pihak, khususnya yang berada di bawah wewenang saya dengan NU, ya saya minta untuk melakukan engagement resmi secara kelembagaan dengan mempertimbangkan sensitivitas," kata Yahya.
Ingin Berkomunikasi dengan Israel
? Ingat Pembukaan UUD 1945!
Pertemuan lima orang Nahdliyin dengan Isaac Herzog menuai respons dari Presiden Joko Widodo. Dia menyebut bahwa tindakan itu tidak selaras dengan kepentingan Indonesia yang telah diatur dalam Pembukaan UUD 1945 yang menegaskan bahwa penjajah di atas dunia harus dihapuskan.
"Sikap pemerintah itu jelas, sesuai Pembukaan UUD 1945," kata Jokowi saat akan berangkat ke Abu Dhabi, di Bandara Halim Perdanakusuma, Selasa (16/7/2024).
Jokowi menjelaskan bahwa Indonesia akan selalu mengikuti tata tertib dunia agar menjaga kemerdekaan dan perdamaian abadi. Ia menegaskan bahwa pedoman itulah yang harus dipegang selamanya.
"Indonesia akan selalu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Itu yang harus kita pegang," ungkapnya.
Dia menyerahkan sepenuhnya mekanisme disiplin mengenai lima orang Nahdliyin tersebut kepada PBNU. Jokowi menegaskan tak akan ikut campur.
"Jelas sekali [prinsip kita], jadi tolong ditanyakan ke PBNU," katanya.
Senada dengan Jokowi, Dosen Hubungan Internasional UNIDA Gontor, Rudi Candra, juga menegaskan bahwa pertemuan lima orang itu berpotensi melanggar konstitusi di Indonesia. Karena hingga saat ini Pemerintah Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel.
"Sebagai warga negara Indonesia itu melanggar konstitusi kita, karena kita adalah negara yang anti penjajahan, dan di konstitusi kita jelas sekali bahwasanya pemerintah kita melarang hubungan diplomatik dengan Israel," katanya.
Rudi mempertanyakan maksud kelima orang itu ke Israel. Jika benar mereka ingin mencari solusi damai Israel-Palestina, maka seharusnya lima orang itu menemui kedua belah pihak, baik Israel maupun Palestina, termasuk faksi Hamas dan Fatah.
Rudi juga mengutip salah satu pandangan dalam teori konstruktivisme Ilmu Hubungan Internasional, bahwa setiap tindakan atau pertemuan antar masyarakat, tidak mungkin dilakukan secara nir-nilai.
Sehingga jika motifnya ingin mencari solusi damai akan menjadi hal yang mubazir, karena sebelumnya organisasi internasional seperti PBB hingga Mahkamah Internasional telah memberi sanksi ke Israel, namun invasi ke Palestina tetap tak dihentikan.
"Yang pasti untuk bisa mendamaikan dua pihak, asasnya pertama diterima oleh dua kelompok, yang itu pasti. Namun pertanyaannya apakah mereka menjalin hubungan dengan masyarakat di Palestina, terlebih misalnya [dengan[ Hamas atau faksi lainnya di Palestina?" kata Rudi.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Irfan Teguh Pribadi