Menuju konten utama

23 Juta Penduduk Indonesia Terancam Akibat Krisis Iklim pada 2050

Laporan dari Climate Central menyebut kenaikan permukaan air laut mengancam ratusan juta penduduk di kawasan pesisir secara global.

23 Juta Penduduk Indonesia Terancam Akibat Krisis Iklim pada 2050
Bocah bermain di halaman Masjid yang tergenang banjir rob di Desa Pantai Bahagia, Muaragembong, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Selasa (6/8/2019). ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/wsj.

tirto.id - Sekitar 23 juta penduduk di kawasan pesisir Indonesia, termasuk DKI Jakarta, terancam rumahnya tenggelam akibat kenaikan permukaan air laut dari krisis perubahan iklim global pada 2050, menurut studi terbaru Climate Central, organisasi nirlaba berbasis di Amerika Serikat.

Indonesia bersama lima negara lain di Asia—Bangladesh, India, Vietnam, Tiongkok Daratan, dan Thailand—menyumbang 75 persen dari 300 juta penduduk yang menghadapi ancaman tersebut pada pertengahan abad ini, tulis studi itu.

"Kenaikan permukaan air laut adalah kisah global, dan memengaruhi setiap negara di pesisir. Tetapi dalam dekade ke depan," tulisnya, "imbas terparah akan dialami di Asia karena ada banyak penduduk bermukim di kawasan pesisir di dataran rendah benua itu."

Penyelidikan Climate Center, ditulis oleh Scott A. Kulp dan Benjamin H. Strauss yang dirilis di jurnal Nature Communications, mengungkap ancaman banjir parah dan air laut pasang secara permanen lebih buruk dari yang diperkirakan sebelumnya.

Melalui penelitian menggunakan metode CoastalDEM, Climate Central menerka banyak garis pantai di dunia jauh lebih rendah daripada yang diketahui manusia pada umumnya.

Di 19 negara lain, termasuk Brasil, Britania Raya, Mesir, dan Nigeria, permukaan air laut akan lebih tinggi dari daratan. Akibatnya, daratan di kawasan pesisir negara-negara itu akan tergenang air laut secara permanen.

Penduduk di negara-negara pulau, seperti Kepulauan Marshall dan Maladewa, akan menghadapi kerugian paling besar. Air tawar tercampur air laut, bahkan pulau-pulau mungil berpotensi tertelan air pasang.

Tim Climate Central menyajikan gambaran masa depan ancaman bencana iklim lewat peta interaktif yang menunjukkan perubahan situasi saat ini bergantung pada seberapa mumpuni dunia menghambat pemanasan iklim.

"Ketika manusia mencemari atmosfer dengan gas rumah kaca, planet ini menghangat. Dan ketika hal itu terjadi, lapisan es dan gletser mencair dan memanaskan air laut, sehingga meningkatkan volume lautan dunia,” tulis Kulp dan Strauss.

CoastalDEM menaksir sekitar 630 juta penduduk akan menghadapi bencana banjir tahunan pada 2100.

Untuk 2050, jumlahnya 340 juta jiwa, naik dari perkiraan 250 juta orang yang hidupnya kini dalam kesulitan akibat krisis iklim global.

"Kami memperkirakan satu miliar penduduk sekarang menempati tanah tak kurang 10 meter di atas garis pasang air laut, termasuk 250 juta penduduk kini tinggal di daratan yang ketinggian tanahnya di bawah 1 meter permukaan air laut," tulis mereka.

Kerugian Ekonomi dan Kemanusiaan

Kulp dan Strauss membeberkan perkiraan kerugian ekonomi global di masa depan akibat krisis iklim, di antaranya yang terlihat adalah kerusakan bangunan dan infrastruktur. Pengeluaran buat mitigasi juga akan meningkat di kawasan permukiman pesisir, termasuk ongkos mahal akibat terbatasnya akses ekonomi ke pelabuhan dan transportasi.

Buntut dari kerugian ekonomi ini bisa berdampak krisis kemanusiaan. Jutaan penduduk akan kehilangan mata pencaharian tradisionalnya. Dunia akan menghadapi krisis pengungsi.

Konsekuensi lain adalah perubahan politik, di antaranya menganggu pelayanan publik seperti pendidikan dan permukiman serta perseteruan internasional di bidang perikanan dan sumber daya laut.

Climate Central menyarankan guna mengurangi ancaman dari krisis iklim global adalah mengurasi emisi, membangun tanggul sembari perlahan merelokasi pemukiman di sekitar pantai ke lokasi daratan lebih tinggi.

Peta kenaikan permukaan laut Indonesia

Peta kenaikan permukaan laut di pulau Indonesia. Screenshot/coastal.climatecentral.org/

Ancaman itu sudah terlihat di kawasan pantai utara DKI Jakarta, menurut laporan berbeda.

Penurunan tanah berbatasan dengan laut, misalnya di Muara Baru dan Muara Angke, sekitar 2 meter selama periode 2000-2014. Selama 14 tahun, penurunan tanah juga terjadi di daerah pusat dan selatan, sekitar antara 0,21 meter hingga 0,34 meter, di antaranya di kawasan Sudirman, Kuningan, dan Kebayoran Baru—kawasan pusat politik dan bisnis DKI Jakarta.

Pada periode 2014-2017, penurunan muka tanah meluas hingga ke Pluit Raya, Tanjung Priok, Tongkol, Gunung Sahari di Jakarta Utara hingga Meruya di Jakarta Barat dengan rata-rata 0,25 meter.

Para pengamat meramalkan tahun 2050 daratan DKI Jakarta akan tenggelam.

Krisis Air di Pulau Jawa

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebut perubahan iklim mengakibatkan krisis air bersih di Jawa: lebih banyak air menguap ke udara sehingga memengaruhi keseimbangan neraca air di Pulau Jawa. Jumlah penduduk di Pulau Jawa mencapai separuh penduduk Indonesia.

Dampaknya, tulis LIPI, kebutuhan pasokan air berkurang sementara kebutuhannya semakin meningkat karena pertumbuhan penduduk dan perubahan tata guna lahan. Alih fungsi lahan dari area resapan menjadi pemukiman dan daerah industri mengancam sumber air di Jawa.

"Jawa masih menjadi daerah industri andalan. Tahun 2040 diprediksi semua wilayah di Pantai Utara Jawa mulai dari Banten sampai Surabaya akan menjadi wilayah urban yang berpotensi mengalami defisit ketersediaan air,” menurut Heru Santoso dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI.

Ditambah curah hujan di Jawa tidak pernah bertambah, bahkan cenderung menurun dalam beberapa tahun terakhir, ujar Rachmat Fajar Lubis dari Pusat Geoteknologi LIPI, sebagaimana dikutip dari Kompas.

Menurut Rachmat, perubahan iklim diperparah faktor antropogenik, yakni pengambilan air secara besar-besaran untuk rumah tangga dan industri maupun alih fungsi lahan.

"Kalau pemerintah dan masyarakat tidak melakukan apa-apa, kita harus sangat khawatir. Kebutuhan air terus naik, tapi air makin berkurang dan tercemar," ucapnya.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Widia Primastika

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Widia Primastika
Editor: Fahri Salam