tirto.id - Direktur Utama PT Pengembangan Armada Niaga Nasional atau PANN Herry S Soewandy mengungkapkan asal mula kerugian besar yang menyebabkan BUMN tersebut terbelit utang dalam jumlah besar dan merugi hingga kini. Semua bermula dari dua penugasan pemerintah pada era Orde Baru, tepatnya tahun 1994.
Dua penugasan pemerintah tersebut terkait proyek transaksi kerjasama dengan negara asing menjadi sumber masalah yang membuat bisnis BUMN tersebut dalam kondisi terus merugi.
"Kebetulan di tahun 1994 pemerintah menempatkan dua transaksi yakni program kerjasama Indonesia dengan Jerman dan satunya lagi adalah transaksi kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan Spanyol," kata Herry dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI di Jakarta pada Selasa malam (14/7/2020), seperti dilansir dari Antara.
Ia menjelaskan, kerjasama dengan pemerintah Jerman yakni pinjaman dalam bentuk 10 unit pesawat Boeing 737-200 Eks Lufthansa saat itu. Sedangkan transaksi kerjasama dengan Spanyol yakni 31 unit kapal dari Spanyol semuanya diterima dalam bentuk barang, tanpa uang tunai.
"Kebetulan dua transaksi (asing) ini memang bukan bisnis intinya PT PANN, dalam hal pesawat kami tidak memiliki ahli serta kompetensi dan kapal Spanyol yang kita bisniskan sebetulnya kapal armada niaga atau dagang bukan armada kapal ikan," kata Dirut PT PANN tersebut.
Pesawat-pesawat Eks Lufthansa ini ditempatkan di maskapai Merpati sebanyak tiga unit, kemudian maskapai Mandala dua unit, Bouraq dua unit, dan Sempati Air sebanyak tiga unit.
"Sayangnya keempat perusahaan itu semuanya gulung tikar dan tidak pernah membayar satu peser pun kepada PT PANN, kecuali maskapai Merpati yang pernah mengangsur sekali," kata Herry.
Padahal dari pinjaman sebesar 89 juta dolar AS ini, PANN sudah mengeluarkan uang untuk mencicil kurang lebih 34 juta dolar AS, makanya sampai saat ini BUMN tersebut kesulitan likuiditas karena memang likuiditas PANN tergerus.
Proyek kerjasama asing yang kedua adalah 31 unit kapal ikan Mina Jaya Niaga yang hanya terselesaikan 14 unit kapal, sementara 17 kapal lainnya tidak diselesaikan pembangunannya. Dengan demikian proyek 31 unit kapal tersebut mangkrak mengingat 14 unit kapal yang sudah selesai tidak laku karena biaya pembuatannya yang sangat mahal sebesar Rp81 miliar dibandingkan biaya produksi kapal lokal yang hanya Rp22 miliar pada saat itu.
Kedua transaksi kerjasama asing ini yang menggerus likuiditas BUMN PT PANN, di mana BUMN ini sudah mengeluarkan untuk eskalasi harga kurang lebih Rp126 miliar termasuk membayar administrasi bank sebesar Rp23 miliar. Dengan demikian total yang dibayar Rp150 miliar.
"Untuk kedua proyek ini, pemerintah saat itu menjanjikan bahwa modal PT PANN akan ditambah dari Rp45 miliar menjadi Rp500 miliar permodalannya. Namun sayangnya hal tersebut tidak pernah terealisasikan," ujar Herry.
Padahal sebelum adanya penugasan pemerintah terkait kedua proyek kerjasama dengan negara asing tersebut di tahun 1994, PT PANN selalu dalam kondisi untung dan mampu membayar dividen serta pajak. Akibat kedua proyek kerjasama asing ini, likuiditas PT PANN tergerus habis dan mulai pada tahun 2004 BUMN tersebut mengalami ekuitas negatif. Hasil yang dikelola oleh PT PANN bahkan tidak bisa lagi untuk menutupi kerugian dari kedua proyek kerjasama asing itu.
PT PANN kemudian meminta kepada Kementerian Keuangan untuk menghentikan bunga pinjaman. Sejak 2006 PT PANN mengajukan restrukturisasi, kemudian pada tahun 2013 restrukturisasi baru disetujui dan berlanjut hingga PT PANN disetujui menerima penambahan PMN non tunai dari konversi pokok utang kedua proyek tahun 1994 tersebut sebesar Rp3,75 triliun.
Penulis: Antara
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti