tirto.id - Marianus Sae, Bupati Ngada periode 2015-2020, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Senin (12/2/2018). Pria yang juga bakal calon gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) ini diduga menerima gratifikasi yang terkait proyek pengadaan barang dan jasa di Pemkab Ngada.
Selain Marianus, KPK juga menetapkan Wilhelmus Iwan Ulumbu sebagai tersangka. Marianus diduga menerima suap dari Direktur PT Sinar 99 Permai (S99P), Wilhelmus Iwan Ulumbu. KPK menduga pemberian uang dari Wilhelmus kepada Marianus terkait "fee" proyek-proyek di Kabupaten Ngada.
Wilhelmus merupakan salah satu kontraktor yang kerap mendapatkan sejumlah proyek di Ngada sejak 2011. Basaria berkata, Wilhelmus membuka rekening atas namanya sejak 2011 dan memberikan ATM bank tersebut kepada Marianus pada 2015.
Basaria menuturkan, total uang yang ditransfer maupun diserahkan secara tunai oleh Wilhelmus kepada Marianus sekitar Rp4,1 miliar. “Pemberian dilakukan pada November 2017 Rp1,5 miliar secara tunai di Jakarta, Desember 2017 terdapat transfer Rp2 miliar dalam rekening Wilhelmus, 16 Januari 2018 diberikan tunai di rumah Bupati Rp400 juta, 6 Februari 2018 diberikan tunai di rumah Bupati Rp200 juta,” kata Wakil Ketua KPK, Basaria Pandjaitan.
Sementara itu, pada 2018 Wilhelmus dijanjikan proyek di Kabupaten Ngada senilai Rp54 miliar terdiri atas pembangunan jalan Poma Boras Rp5 miliar, jembatan Boawe Rp3 miliar, jalan ruas Ranamoeteni Rp20 miliar, ruas jalan Riominsimarunggela Rp14 miliar, ruas jalan Tadawaebella Rp5 miliar, ruas jalan Emerewaibella Rp5 miliar, dan ruas jalan Warbetutarawaja Rp2 miliar.
Atas perbuatannya itu, Marianus disangkakan pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan Wilhelmus (pemberi suap) disangkakan pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU yang sama.
Deretan Kepala Daerah yang Jadi Pesakitan KPK
Marianus Sae punya status yang mirip dengan Nyono Suharli Wihandoko, Bupati Jombang, Jawa Timur. Keduanya adalah kandidat pada Pilkada 2018: Marianus sebagai bakal calon gubernur NTT, sementara Nyono adalah kandidat bupati Jombang.
Saat ini, kedua kepala daerah ini resmi menjadi tersangka suap dan mendekam di rumah tahanan KPK. Artinya, meskipun keduanya tetap bisa maju di Pilkada 2018, namun tetap tidak bisa melakukan kampanye selayaknya para kandidat lain yang bertarung memperebutkan kursi kepala daerah.
Tertangkapnya Marianus dan Nyono ini juga menambah daftar kepala daerah yang menjadi pesakitan KPK selama 2018 ini. Sejak Januari hingga 12 Februari, komisi antirasuah telah menetapkan setidaknya empat orang nomor satu di daerah sebagai tersangka korupsi.
Pada Jumat, 2 Januari 2018, misalnya, KPK resmi menetapkan Gubernur Jambi, Zumi Zola sebagai tersangka gratifikasi. Pria kelahiran Jakarta, 31 Maret 1980 ini diduga menerima hadiah atau janji selama menjabat sebagai Gubernur Jambi. Zola disangkaakan melanggarkan Pasal 12B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah UU Nomor 20 Tahun 2001, jo Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP.
Selain Zola, KPK pada Rabu, 31 Januari 2018 juga telah resmi menetapkan Bupati Halmahera Timur, Maluku Utara, Rudy Erawan sebagai tersangka penerima gratifikasi terkait proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2016. Ia diduga menerima gratifikasi dari proyek Kementerian PUPR tersebut.
Rudy diduga telah menerima gratifikasi yang berasal dari Kepala BPJN IX Maluku, Amran Hi Mustary. Uang yang diperoleh Amran diduga merupakan uang suap yang diberikan Abdul Khoir, Dirut PT WTU. Diduga, Rudi Erawan menerima gratifikasi senilai total sekitar Rp6,3 miliar.
Atas penerimaan tersebut, KPK menyangkakan Rudi Erawan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 12B atau pasal 11 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHPidana.
Gagal Maju Pilkada karena Tertangkap KPK
Marianus Sae dan Nyono masih sempat mendaftarkan diri ke KPUD untuk mengikuti Pilkada. Hal ini berbeda dibandingkan dengan Rita Widyasari (Bupatai Kutai Kartanegara) dan Siti Mashita Soeparno (Wali Kota Tegal) yang menjadi pesakitan KPK sebelum sempat mendaftar ke KPUD.
Rita Widyasari sebagai Bupati Kutaikartanegara (non-aktif) awalnya berencana maju sebagai bakal calon gubernur Kalimantan Timur pada Pilkada 2018. Ia bahkan telah mengantongi rekomendasi dari Partai Golkar. Sayangnya, sebelum masa pendaftaran, KPK terlebih dahulu menetapkan Rita sebagai tersangka.
Hal yang sama terjadi pada Mashito. Perempuan kelahiran Jakarta, pada 10 Januari 1964 ini gagal maju Pilkada Kota Tegal 2018 setelah terjaring OTT KPK pada 19 Agustus 2017 lalu. Masitha ditangkap di rumah dinasnya karena dugaan kasus korupsi pengadaan infrastruktur kesehatan di Kota Tegal. Saat ini, ia sedang menjalani proses persidangan di Pengadilan Tipikor Semarang.
Pada Pilkada 2017, mantan Wali Kota Cimahi, Atty Suharti juga mengalami hal yang sama. Sebagai petahana pada Pilwakot Cimahi, ia harus rela melepas jabatan kepala daerah setelah tidak terpilih lagi pada gelaran pesta demokrasi daerah tersebut.
Nasib Atty hampir sama dengan Marianus Sae dan Nyono. Saat itu, Atty yang sedang menjalani proses hukum di KPK maju sebagai calon walikota Kota Cimahi berpasangan dengan Achmad Zulkarnain (Azul). Namun, pasangan yang berstatus sebagai petahana ini justru mendapat suara paling buncit, yaitu 29,11 persen.
Artinya, jika Marianus Sae dan Nyono tetap melenggang maju sebagai kandidat Pilkada 2018 meskipun statusnya sebagai tersangka, maka tidak akan beda nasibnya dengan Atty. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz