tirto.id - Pelaksanaan pilkada serentak yang diikuti 337 pasangan calon di 101 daerah, pada Rabu (15/2/2017) menyisakan sejumlah cerita. Salah satunya terkait calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum, baik sebagai tersangka, terdakwa, dan terpidana.
Berdasarkan penelusuran Tirto, setidaknya ada enam calon kepala daerah yang terjerat kasus hukum, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Mereka antara lain: Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok (Cagub DKI Jakarta), Rusli Habibie (Cagub Gorontalo), Ahmad Marzuki (Cabup Jepara), Samsu Umar Samiun (Cabup Buton), Atty Suharti (Cawalkot Cimahi), dan Burhanuddin Baharuddin (Cabup Takalar).
Menurut hitungan cepat lembaga survei, lima dari enam calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum tersebut unggul mengalahkan lawannya di pilkada. Di Pilgub DKI misalnya, ada Ahok yang berstatus sebagai terdakwa dalam kasus penistaan agama. Berdasarkan hitungan cepat Polmark Indonesia, pasangan Ahok-Djarot memperoleh suara 42,27 persen, mengalahkan pasangan Anies-Sandiaga (39,77 persen), dan Agus-Sylviana (17,96 persen).
Hal yang sama juga terjadi di Pilkada Gorontalo. Rusli Habibie yang berstatus sebagai terpidana percobaan dalam kasus pencemaran nama baik Komjen Budi Waseso unggul menurut hitung cepat Indikator Politik Indonesia. Pasangan Rusli Habibie-Idris Rahim memperoleh suara 50,65 persen, sementara Hanna Hasanah-Tonny S Junus (26,07 persen), dan Zainuddin Hasan-Adnan Dambea (23,27 persen).
Ahmad Marzuki yang berstatus sebagai tersangka dugaan korupsi juga unggul tipis di Pilkada Jepara. Marzuki-Dian memperoleh 51,25 persen suara, sementara Subroto-Nur Yahman memperoleh 48,75 persen suara.
Sedangkan calon Bupati Takalar Burhanuddin Baharuddin (tersangka dugaan korupsi) juga unggul. Sayangnya, lawan politik Burhanuddin, yaitu pasangan Samsari Kitta – Ahmad Se’re juga mengklaim kemenangan. Saling klaim tersebut terjadi karena selisih perolehan suara antara keduanya sangat tipis.
Misalnya, berdasarkan hitungan cepat yang dilakukan Jaringan Suara Indonesia (JSI), pasangan petahana Burhanuddin Baharuddin – Natsir Ibrahim memperoleh suara 50,74 persen, sedangkan lawannya meraih suara 49,26 persen. Namun pendukung Syamsari Kitta-Ahmad Se're juga mengklaim unggul sebesar 50 persen, dibandingkan petahana yang meraih suara 49 persen.
Keempat calon petahana di atas lebih beruntung ketimbang Atty Suharti (Calon Walikota Cimahi), dan Samsu Umar Samiun (Calon Bupati Buton). Selain unggul dalam pilkada serentak yang digelar pada 15 Februari kemarin, keempat petahana itu juga masih bebas berkeliaran meskipun berstatus sebagai tersangka, terdakwa, bahkan terpidana.
Keempat calon kepala daerah yang tersandung kasus hukum tersebut masih bisa memberikan suaranya pada pilkada yang digelar di daerahnya. Sementara Atty Suharti dan Samsu Umar, tidak bisa menyalurkan hak pilihnya karena menjadi tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Tak hanya itu, Atty Suharti bahkan dalam hitungan cepat Pilkada Kota Cimahi memperoleh suara paling buncit, kalah dari dua pasangan calon lain. Menurut hitungan cepat, pasangan Atty-Azul meraih suara 29,11 persen, paslon Asep Hadad-Irma 30,69 persen, dan paslon Ajay-Ngatiyana unggul dengan 40,20 persen.
Sementara Samsu Umar Samiun bernasib lebih baik. Meskipun ia juga mendekam di tahanan KPK, namun menurut hitungan cepat, ia menang dalam Pilkada Kabupaten Buton. Sebagai calon tunggal di Pilkada Buton, pasangan Samsu-La Bakry ini berhasil meraup total 27.512 suara atau memperoleh 55,08 persen dari 213 TPS yang ada.
Namun, meskipun menang dalam pilkada, KPK akan tetap menahan Samsu yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pemberian suap kepada Akil Mochtar dalam sengketa Pilkada Kabupaten Buton tahun 2011. Artinya, kemenangan yang diraihnya tidak otomatis membuatnya kembali memimpin Kabupaten Buton tersebut.
“Tersangka SUS (Samsu Umar Samiun) tetap dalam penahanan KPK. Proses penyidikan masih terus berjalan,” kata Kepala Biro Humas KPK, Febri Diansyah, di kantor KPK, pada Kamis (16/2/2017).
Menunggu Ketetapan Hukum
Fenomena calon kepala daerah yang terjerat kasus hukum bukan hal baru. Berdasarkan pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap pelaksanaan pilkada di 244 daerah selama 2010 hingga 2014, setidaknya ada 10 calon kepala daerah yang terjerat kasus hukum, khususnya korupsi yang berhasil memenangkan pilkada.
Kesepuluh orang tersangka yang terpilih dalam pilkada tersebut, antara lain: Bupati Rembang Moch Salim, Bupati Kepulauan Aru Theddy Tengko, Bupati Lampung Timur Satono, Wakil Bupati Bangka Selatan Jamro H Jalil, Gubernur Bengkulu Agusrin Najamudin. Kemudian, Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar, Bupati Jember Djalal, Wakil Bupati Jember Kusen Andalas, Bupati Boven Digul Yusak Yaluwo, dan Wali Kota Tomohon Jefferson Rumajar.
Menurut ICW, seharusnya para kandidat yang terjerat hukum, tidak diperkenankan untuk mengikuti pilkada. Namun, hal tersebut tetap terjadi karena undang-undang yang mengatur soal pelaksanaan pilkada masih memberikan ruang bagi mereka yang tersandung kasus hukum, sebelum adanya putusan tetap atau inkracht.
“Tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,” demikian bunyi Pasal 7 ayat (2) huruf f UU No. 10 tahun 2016, yang mengatur soal persyaratan calon kepala daerah.
Dalam konteks ini, berdasarkan UU No. 10 tahun 2016, tidak ada ketentuan larangan bagi tersangka kasus hukum maju sebagai calon kepala daerah. Bahkan, jika terpilih sebagai kepala daerah, mereka tetap akan dilantik. “Sepanjang belum mendapatkan keputusan hukum tetap, tetap dilantik. Kan asas praduga tak bersalah,” kata Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo.
Namun, lanjut Tjahjo, apabila yang bersangkutan ditetapkan sebagai terdakwa, maka jabatannya akan langsung dicabut. Posisi kepala daerah ini umumnya akan digantikan oleh wakilnya selaku penjabat sementara. Kemudian, wakilnya baru bisa diangkat sebagai kepala daerah definitif jika sudah ada putusan hukum tetap.
Hal yang sama juga diungkapkan pakar hukum tata negara, Refly Harun. Ia mencontohkan Ahok yang maju di Pilgub DKI Jakarta 2017. “Kalau dia [Ahok] misalnya terpilih kembali dan masih jadi terdakwa, ya dia tetap dilantik dengan pasangannya. Tapi setelah proses pelantikan, dia dinonaktifkan lagi,” ujarnya.
Setelah melalui serangkaian proses peradilan, ketika didapati keputusan yang bersifat tetap, barulah Ahok diberhentikan sebagai gubernur. "Kalau berkuatan hukum tetap, inkrah putusannya, ya dia baru diberhentikan," kata Refly.
Meski demikian, Kemendagri dalam kasus calon kepala daerah yang tersandung masalah hukum, khususnya kasus korupsi, sebaiknya mengambil pelajaran dari kasus Jefferson Soleiman Montesqieu Rumajar pada tahun 2011. Ia memimpin dan mengendalikan Pemkot Tomohon dari dalam jeruji besi. Misalnya, sehari usai dilantik menjadi Walikota Tomohon, Jefferson melantik 28 pejabat eselon III Pemkot Tomohon.
Karena itu, pada tahun 2013 saat Kemendagri ingin melantik Hambit Bintih (almarhum) mendapat penolakan. ICW sebagai salah satu lembaga yang menolak beralasan pelantikan tersangka atau terdakwa korupsi jika tetap dilaksanakan merupakan tindakan amoral yang akan merusak citra pemerintah di mata rakyat dan juga merusak reputasi negara ini di mata internasional.
“Pelantikan tersangka atau terdakwa koruptor sebagai kepala daerah memberikan kesan kompromi dan bahkan memuliakan koruptor,” kata Emerson Yuntho saat itu.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti