Menuju konten utama

Penundaan Proses Hukum Cakada Jegal Independensi & Transparansi

Penundaan proses hukum para cakada justru kontraproduktif dengan cita-cita mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Penundaan Proses Hukum Cakada Jegal Independensi & Transparansi
Kendaraan melintas di bawah Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) yang tertutup oleh alat peraga kampanye Pemilu 2024 di Jakarta, Rabu (27/12/2023). ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.,

tirto.id - Kejaksaan Agung (Kejagung) resmi menunda seluruh proses penegakan hukum terhadap calon kepala daerah (cakada) selama Pilkada 2024. Kejagung mengeklaim keputusan ini sebagai bentuk upaya menjaga objektivitas proses demokrasi saat pemilihan kepala daerah. Korps Adhyaksa khawatir proses hukum digunakan lawan politik sebagai kampanye hitam.

Ini merupakan langkah yang sama dengan saat pelaksanaan Pileg dan Pilpres 2024 lalu. Kala itu penundaan proses hukum peserta pemilu diatur lewat Instruksi Jaksa Agung Nomor 6 Tahun 2023. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, menyatakan Instruksi Jaksa Agung tersebut masih berlaku untuk Pilkada 2024.

Kebijakan itu, kata Harli, tidak dimaksudkan untuk melindungi tindak pidana. Namun menjadi upaya kejaksaan untuk menjaga proses demokrasi yang tengah berjalan agar tetap obyektif.

“Jadi kita harus fair dan memberikan kesempatan menggunakan pesta demokrasi ini sebagai hak, dan setelah itu tentu proses hukum akan terus dijalankan,” kata Harli di Kejaksaan RI Ragunan, Pasar Minggu, Jakarta, Senin (2/9/2024).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setali tiga uang. Lembaga antirasuah juga akan menunda proses hukum tindak pidana korupsi para kontestan calon kepala daerah selama Pilkada 2024. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika, mengatakan proses hukum para cakada akan dilanjutkan kembali setelah hajat Pilkada Serentak 2024 selesai.

Penundaan ini dimaksudkan KPK agar tidak ada kelompok politik tertentu yang menjatuhkan lawan politik saat Pilkada 2024 dengan cara menunggangi proses hukum yang ditangani KPK.

Tessa menambahkan, proses penyelidikan dan penyidikan kasus yang melibatkan cakada akan tetap berjalan. Namun, KPK memilih ambil posisi berbeda dalam penanganan perkara tersebut.

“Bagi cakada atau cawakada yang sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sebelum proses pendaftaran yang bersangkutan di KPU terjadi, maka penyidikannya tetap berjalan sesuai timeline yang telah direncanakan,” kata Tessa dalam keterangannya, Selasa (3/9/2024).

Misalnya, ada salah seorang calon kepala daerah di Situbondo, Karna Suswandi, yang telah mendaftarkan diri ke KPU. Bupati petahana itu merupakan tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji terkait pengelolaan dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) dan pengadaan barang dan jasa di Pemerintah Kabupaten Situbondo 2021-2024. KPK mengeklaim akan tetap memproses penyidikan kasus ini.

Keputusan dari penegak hukum menunda jalannya proses hukum bagi para kontestan calon kepala daerah disayangkan sejumlah pihak. Langkah ini mengabaikan asas profesionalisme penegakan hukum yang tak pandang bulu. Terlebih, sikap ini mengundang kritik yang sama saat Pileg dan Pilpres 2024 lalu, kebijakan ini berbau politis dan merugikan pemilih.

Ketua The Constitutional Democracy Initiative (CONSID), Kholil Pasaribu, menilai kebijakan menunda proses hukum cakada bukan keputusan yang baik dan politis. Justru dengan kebijakan semacam ini, kata Kholil, publik dapat membaca bahwa aparat penegak hukum sangat mudah diintervensi.

“Penundaan itu sebenarnya tidak diperlukan kalau aparat penegak hukum yakin dengan integritas mereka yang kuat, bahwa dalam menangani perkara hukum, KPK dan Kejaksaan menjalankan kewenangannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Kholil kepada Tirto, Rabu (4/9/2024).

Kejagung cegah Ronald Tannur ke luar negeri

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar (tengah) didampingi Kepala Bidang Hubungan Media Dan Kehumasan Pusat Penerangan Hukum Kejagung Agus Kurniawan (kanan) dan Kepala Sub Bidang Kehumasan Bidang Hubungan Media dan Kehumasan Pusat Penerangan Hukum Kejagung Andrie Setiawan (kiri) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait kasus dugaan pembunuhan Dini Sera Afrianti di Kantor Kejaksaan Agung, Jakarta, Jumat (9/8/2024). Kejaksaan Agung berkoordinasi dengan pihak imigrasi untuk memantau terus keberadaan Gregorius Ronald Tannur agar tak kabur ke luar negeri. ANTARA FOTO/Reno Esnir/aww.

KPK atau Kejaksaan terlalu khawatir jika proses hukum diteruskan justru akan mengganggu pelaksanaan tahapan pilkada. Kholil memandang penegak hukum sedang jaga-jaga agar tidak dianggap sebagai bagian dari alat rekayasa politik.

Padahal, pada Pasal 163 ayat (6), ayat (7) dan ayat (8) dalam UU Pilkada, sudah mengatur mekanisme jika seorang cakada menjadi tersangka kasus hukum. Termasuk saat cakada terpilih ditetapkan sebagai terdakwa atau terpidana oleh penegak hukum.

“Artinya, proses hukum tidak akan mengganggu tahapan pilkada. Kedua, sepanjang proses hukum dilakukan secara profesional dan transparan, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” ucap Kholil.

Ia menambahkan, proses hukum yang berjalan dengan profesional malah akan bermanfaat bagi masyarakat. Langkah itu, juga akan meningkatkan kepercayaan publik terhadap proses dan hasil pilkada.

Sudah seharusnya masyarakat atau pemilih disuplai dengan informasi yang seluas-luasnya dan sedetail-detailnya terkait rekam jejak cakada. Rekam jejak tidak hanya menampilkan hal-hal positif, jika ada rekam jejak negatif seperti kasus hukum, hal tersebut tidak boleh ditutup-tutupi.

Penegak hukum bisa memberikan informasi tentang cakada-cakada yang sedang menjalani proses hukum. Hal itu justru penting sebagai referensi pemilih dalam mengambil keputusan memberikan hak pilihnya dalam Pilkada 2024.

“Kalau calon yang bermasalah secara hukum terpilih nantinya, malah akan semakin mempersulit penyelesaian kasusnya di kemudian hari. Dia akan memiliki bargain politik yang lebih kuat sehingga bisa cawe-cawe,” jelas Kholil.

Peneliti Transparency International Indonesia (TII), Sahel Alhabsy, berpandangan sama dengan Kholil. Menurutnya, jalannya pemerintah daerah bakal lebih terganggu jika cakada terpilih sudah resmi dilantik, kemudian baru mendapatkan proses penegakan hukum yang sebelumnya tertunda.

“Semestinya proses penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya, tidak perlu ada penundaan. Kenapa? Karena proses penegakan hukum adalah ranah yang seharusnya profesional,” kata Sahel kepada Tirto, Rabu.

Justru, kata Sahel, profesionalisme penegak hukum akan tergerus karena ada penundaan proses hukum selama pilkada. Artinya, kerja-kerja penegak hukum malah mengakomodasi kepentingan lain di luar penegakan hukum.

Penundaan ini justru akan memunculkan syak wasangka di masyarakat. Yang awalnya ingin membuat kondusif, justru mendelegitimasi proses pilkada akibat kredibilitas dari penegakan hukum yang rendah.

“Apa alasannya? Apakah penegakan hukum memang selama ini rentan menjadi alat politik? Atau karena proses penegakan hukum selama ini tidak cukup akuntabel, sehingga kekhawatiran politisasi tidak bisa diatasi,” ujar Sahel.

Selain itu, langkah ini kontraproduktif untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Partai politik tidak dididik untuk menominasikan hanya orang yang bersih untuk maju pilkada lewat proses merit. Sebaliknya, pemilih berpotensi mendapat calon-calon pemimpin daerah yang bermasalah.

“Yang bukan hanya diloloskan partai politik, tapi juga diloloskan penegak hukum,” tegas Sahel.

Juru bicara baru KPK

Juru bicara baru KPK Tessa Mahardika Sugiarto (kiri) bersama tim juru bicara baru KPK Budi Prasetyo (kanan) bersiap meninggalkan ruangan usai memberikan keterangan pers terkait pergantian juru bicara KPK di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Jumat (7/6/2024). KPK resmi menunjuk Tessa Mahardika Sugiarto sebagai juru bicara baru di KPK menggantikan Ali Fikri serta menunjuk Budi Prasetyo sebagai tim juru bicara. ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga/tom.

Transparansi Proses Pilkada

Langkah menunda proses hukum calon kepala daerah juga bentuk pengabaian transparansi proses pilkada. Pasalnya, dalam konteks pilkada atau kontestasi elektoral, publik punya hak mendapatkan informasi rekam jejak cakada yang memiliki integritas dan program yang jelas.

Misalnya, penundaan kasus dugaan korupsi yang melibatkan cakada. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai penundaan pengusutan dugaan tindak pidana korupsi sebagai langkah yang keliru.

“Penundaan penanganan dugaan kasus korupsi tentu akan sangat keliru. Seharusnya, penegakan hukum harus tetap dilakukan selama semua sesuai dengan ketentuan peraturan,” kata peneliti ICW, Tibiko Zabar, kepada Tirto, Rabu.

Jika ada kekhawatiran politisasi kasus korupsi, kata dia, seharusnya langkah yang diambil penegak hukum adalah melakukan penguatan pengawasan, profesionalisme, akuntabilitas, serta transparansi penegakan hukum. Khususnya jika saat proses Pilkada 2024, ditemukan kasus dugaan korupsi yang berdimensi politik.

“Jangan justru mengorbankan [kasus] yang sudah cukup bukti perbuatan dugaan korupsi. Penegak hukum tentu juga harus independen dalam bekerja,” tegas Tibiko.

Sementara itu, eks penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Yudi Purnomo, menilai seharusnya tidak ada aturan penundaan proses hukum cakada di tahapan apapun selama pilkada. Menurut Yudi, seharusnya penegak hukum memisahkan antara politik dan hukum.

“Jika memang penegak hukum sudah mempunyai bukti yang cukup bahwa di antara para calon kandidat kepala daerah ada yang bisa ditetapkan sebagai tersangka, segera saja umumkan jangan ditunda,” kata Yudi kepada Tirto, Rabu.

Begitupun bila ada pelaporan dugaan pidana yang masuk, tugas penegak hukum adalah cepat menindaklanjuti tanpa buang-buang waktu menunda kasus karena alasan pilkada. Justru, kata Yudi, langkah cepat penegak hukum bisa memperjelas keabsahan laporan yang diterima.

“Apakah hanya karena konstelasi pilkada atau diduga terjadi perbuatan korupsi. Justru bisa membantu masyarakat untuk memilih calon yang bersih dari korupsi,” ujarnya.

Mantan Ketua Wadah Pegawai KPK ini menegaskan, tidak terbayangkan jika nanti salah satu cakada yang ditunda proses hukumnya malah memenangi pilkada. Hal tersebut akan membuat ongkos politik yang dibiayai masyarakat menjadi percuma dan makin mahal.

“Dan malah akan membuat gaduh karena kepala daerah terpilih malah menjadi tersangka, bahkan bisa jadi ditetapkan sebelum atau saat terpilih. Tentu ini akan menjadi pertanyaan masyarakat kemana penegak hukum selama ini,” terang Yudi.

Baca juga artikel terkait PILKADA 2024 atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Irfan Teguh Pribadi