tirto.id - Pemerintah bakal memberi uang bagi mereka yang melaporkan dugaan korupsi ke penegak hukum. Aturannya sudah tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2018 yang diteken Presiden Joko Widodo pada 17 September lalu.
Dalam beleid itu dikatakan bahwa pelapor tindak pidana korupsi berhak mendapatkan 2 permil (2 per 1.000) dari jumlah kerugian yang dapat dikembalikan ke negara. Batas atas terhadap kompensasi yang diberikan termaktub dalam pasal 17 ayat (2) yang isinya: "Besaran premi yang diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling banyak Rp200.000.000 (dua ratus juta)."
Hadiah baru "cair" jika maksimal 30 hari setelah salinan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap diterima jaksa.
Sayangnya PP 43/2018 tidak mengatur bagaimana mekanisme pemberian imbalan, apakah dilakukan secara sembunyi-sembunyi atau terbuka. Beleid itu hanya mengatur sumber pendanaan imbalan berasal dari APBN yang dialokasikan pada masing-masing lembaga penegak hukum.
Pasti Bakal Diusut?
Juru Bicara Presiden Johan Budi menyebut PP 43/2018 sebetulnya sudah dibahas sejak lama oleh sejumlah lembaga, termasuk tempat dia pernah jadi juru bicara, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
"PP itu dimaksudkan untuk melaksanakan perintah UU 31/1999 dan pembaruan dari PP 71/2000. Usulan itu sudah lama dibahas, kalau enggak salah diskusi soal itu sekitar tahun 2010an," ujar Johan Budi kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).
Uraian mengenai tata cara pelaporan, pengusutan, hingga pemberian imbalan tertera sejak pasal 5 beleid itu.
Berdasarkan PP tersebut, pelapor dapat menyampaikan aduannya secara tertulis kepada penegak hukum. Laporan harus dilengkapi identitas pelapor dan uraian soal fakta dugaan korupsi. Aduan juga harus dilengkapi fotokopi e-KTP atau identitas lain, serta dokumen terkait dugaan korupsi yang dilaporkan.
Meski sudah ada penjelasan ihwal teknis pengusutan, namun PP 43/2018 tidak menjamin kasus bakal sampai ke persidangan.
"Semua laporan pengaduan apakah diproses oleh penegak hukum, ditanya ke penegak hukumnya saja," ujar Johan Budi.
Namun dalam beleid, disebutkan kalau penegak hukum sebetulnya wajib menindaklanjutinya laporan maksimal 30 hari kerja setelah diterima. Tindak lanjut termasuk meminta keterangan lebih lanjut kepada sang pelapor. Jika kurang bukti maka bisa jadi tak bakal naik ke tahap selanjutnya.
Pelapor juga dimungkinkan bertanya pada penegak hukum ihwal perkembangan laporannya. Pertanyaan wajib dijawab maksimal 30 hari setelahnya.
Wakil Ketua KPK Saut Situmorang memastikan semua orang boleh melapor, termasuk pihak oposisi pemerintah seperti Amien Rais yang mengaku bakal membongkar kasus korupsi yang telah lama dibiarkan KPK.
"Semua pihak yang memiliki informasi, kemudian informasi itu bisa dikembangkan melalui penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, lalu kemudian inkrah, siapa pun mereka itu [boleh melapor," ujar Saut kepada Tirto, Rabu (10/10/2018).
Berharap Laporan Meningkat
Pada akhirnya, aturan itu diyakini dapat meningkatkan jumlah laporan dugaan korupsi kepada penegak hukum. Keyakinan itu salah satunya disampaikan juru bicara KPK Febri Diansyah.
"Patut dari segi jumlah dan segi cara sebagai penghargaan bagi para pelapor. Sehingga diharapkan nanti masyarakat semakin banyak melaporkan kasus korupsi," kata Febri di Kantor KPK, Jakarta, Selasa (9/10/2018) kemarin.
Febri percaya banyaknya laporan kasus dugaan korupsi dapat berdampak positif. Salah satunya adalah meningkatkan pengawasan terhadap praktik-praktik curang. Makin banyak laporan, makin takut para pejabat berbuat kotor.
Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo justru ingin aturan ini diubah. Bukan karena tak setuju semangatnya, tapi merasa imbalan yang diberikan terlau kecil.
"Aturan yang baru ini maksimal 200 juta, dulu tidak ada maksimalnya," kata Agus, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (10/10/2018).
Dalam kesempatan yang sama, Agus juga mengungkapkan sebenarnya KPK sudah mengusulkan setiap pelapor mendapatkan satu persen dari duit yang dikorup.
"Kalau hadiahnya satu persen kan menarik, jadi harapannya mendorong semua orang kemudian mau melapor."
Oposisi: Cuma Kampanye!
Keberadaan PP ini ditanggapi sinis politikus partai oposisi pemerintah. Wakil Sekretaris Jenderal PAN Faldo Maldini misalnya, menyebut ada sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar PP 43/2018 bisa diterapkan secara maksimal.
Pertama, Faldo menyoroti perlunya perlindungan terhadap pelapor.
"Apakah pemerintah siap? Bayangkan kalau ada ribuan pelapor setiap bulan. Cukup enggak personil pengamanan kita?" ujar Faldo kepada Tirto, Rabu (10/10/2018). Tanpa ada jaminan keselamatan, sulit berharap orang-orang berani melapor.
Ia juga meminta pemerintah serius mempersiapkan anggaran premi untuk pelapor. Jangan sampai pemerintah malah terbebani karena harus membayarkan hadiah.
Sementara Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, punya komentar lebih "pedas". Ia menilai aturan ini cuma kampanye Jokowi. Menurutnya memberi hadiah kepada pelapor adalah pola pikir yang sesat. Sebab itu hanya akan membuat negara bangkrut, tapi korupsi belum tentu tak ada lagi.
"Sekali lagi ini adalah bahan kampanye. Negara tidak mau mengandalkan audit pemerintah, dan pemerintah tidak mau mengandalkan audit" kata Fahri, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (10/10/2018).
Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin, Hasto Kristiyanto menampik tuduhan Fahri Hamzah bahwa penerbitan PP Nomor 43 Tahun 2018 sebagai bentuk kampanye terselubung Jokowi.
"Hal-hal yang berkaitan dengan kasus korupsi sejak awal dilakukan oleh Pak Jokowi," ujar Hasto di kawasan Gelora Bung Karno (GBK), Jakarta, Rabu (10/10/2018).
Menurut Hasto, sejak awal menjadi presiden semangat pemberantasan korupsi sudah ditunjukkan Jokowi. Penerbitan PP 43/2018 menjadi salah satu contohnya. "Berbagai peraturan-peraturan untuk mendorong partisipasi masyarakat itu merupakan hal yang positif," kata Hasto.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Rio Apinino