tirto.id - Sebagian orang tertawa melihat kawannya yang kanan mentok protes pada logo warna-warni Unilever dan pengumuman perusahaan raksasa itu mendukung kelompok LGBT+. “Ya, semoga beruntung,” kata satu netizen. “Unilever juga enggak bangkrut kalau lo enggak beli produk mereka,” kata yang lain.
Tapi, buat mereka yang anti-LGBT+ sampai ke tulang belakang, pemboikotan itu adalah sekuat-kuatnya niat.
Ambil contoh kawan saya yang seorang jaksa. Saya mempertaruhkan 13 tahun perkawanan kami ketika mengingatkan dia bahwa bukan cuma Unilever yang mendukung LGBT+. Instagram, tempat ia mengunggah niat memboikot itu, bahkan melindungi kelompok LGBT+ di dalam community guidelines-nya.
Tapi, ternyata kawan saya betulan serius dengan niatnya.
Beberapa menit kemudian terbit story baru di Instagramnya, kali ini bilang: “Aku enggak tahu gimana cara mengatasi ini. Aku enggak mau dosa terus-terusan memakai aplikasi yang mendukung LGBT walau aku butuh. Karena aku belum menemukan alternatifnya. Aku akan mengurangi penggunaan Instagram, FB, dan semuanya yang berhubungan.” Lalu ia menyarankan orang-orang meminta nomor ponselnya lewat direct message karena akan segera menutup akunnya.
Narasi memboikot perusahaan yang mendukung LGBT+ memang bukan ingar-bingar perdana. Starbucks lebih dulu mengalaminya pada 2017 ketika CEO Howard Mark Schultz melantangkan hal sama. Tagar Uninstall Gojek juga ramai pada 2018 setelah Brata Santoso, Wakil Presiden Pengembangan Bisnis Operasi Gojek, menyebut kantornya merayakan keragaman dan punya lebih dari 30 pekerja LGBT+.
Keriuhan itu berakhir jadi bahasa diplomatis humas Gojek yang bilang “tidak mendukung suatu golongan dan tidak juga menolak suatu golongan tertentu”, serta hilangnya postingan Brata dari Facebooknya. Bisa jadi keberhasilan menekan Gojek ini yang membuat kelompok homofobik lebih percaya diri memboikot Unilever.
Tapi, apakah keputusan untuk memboikot perusahaan sebesar Unilever memang konyol? Bukankah sejarah mencatat gerakan LGBT+ sendiri juga suka main boikot?
Boikot atas Dunia Kerja yang Homofobik
Salah satu yang paling ramai di media adalah pemboikotan jus jeruk yang diproduksi Florida Citrus Commission pada 1977 di Amerika Serikat. Sebuah organisasi pembela hak gay, Dade County Coalition for the Humanistic Rights of Gays (Koalisi Hak Asasi Gay Dade County), berhasil mengajak Harvey Milk, anggota legislatif terpilih California pertama yang terbuka sebagai gay, untuk menarik atensi nasional melancarkan pemboikotan itu. Mereka memperjuangkan regulasi antidiskriminasi pada gay dan lesbian di sektor lapangan kerja dan hak memiliki rumah.
Kala itu lawannya adalah organisasi Save Our Children, yang dibikin penyanyi dan mantan Miss America Anita Bryant yang homofobik dan disponsori Florida Citrus Commission. Koalisi Hak Asasi Gay Dade County memang kalah, tapi sejak 1998 Dade County sudah punya regulasi yang menjunjung hak-hak gay dan lesbian sampai sekarang. Meski sempat berusaha digugat, tapi gagal, oleh kelompok Kristen kanan pada 2002.
Cerita sukses dan paling anyar adalah pemboikotan sejumlah pesohor LGBT+ dan organisasi pembela HAM atas Hotel Brunei selepas Sultan Brunei Darussalam berencana menghukum rajam LGBT+. Ancaman boikot produk Wardah yang dilayangkan aktivis dan feminis di Indonesia pada Januari 2020 juga terhitung berhasil. Wardah mengklarifikasi poster seminar berjudul “Bahaya Feminisme & LGBT” yang memakai logonya dicomot tanpa sepengetahuan perusahaan make-up halal itu.
Boikot adalah metode aksi non-kekerasan yang populer sejak 1960-an. Tujuannya untuk menimbulkan kerugian ekonomi pada target, atau untuk menunjukkan kemarahan moral dan memaksa target mengubah perilaku mereka sesuai moral yang kita tuju. Jadi, semua ini hanya perang moral belaka? Lantas, moral siapa yang harus didengarkan?
Kawan anda yang kiri tanggung atau centrist mungkin akan menjawab: tidak bisakah perusahaan mendengarkan protes keduanya? Semuanya kan pasar; ceruk duit masuk.
Dan itu benar, setidaknya dari kacamata perusahaan. Klarifikasi Gojek dan Wardah yang tanggung-tanggung nyatanya menunjukkan kepentingan utama mereka bukanlah moral pihak mana pun, kecuali keberlangsungan bisnis. Termasuk di dalamnya: memelihara status quo.
Masalahnya, kenyataan tidak sesederhana itu.
Kebencian di Sekujur Waktu
Pemboikotan buat kelompok LGBT+ seringkali erat dengan kepentingan menyambung napas. Boikot mungkin jadi tindakan politis paling gampang yang bisa dilakukan sebagai protes, karena tak perlu elemen kekerasan. Kadang bahkan bisa secepat dan sesederhana menandatangani petisidaring. Masalahnya, ia baru berdampak jikalau dilakukan dalam jumlah besar. Dan LGBT adalah kelompok minoritas.
Sistem bikinan mayoritas heteroseksual juga menciptakan kelas-kelas dalam kelompok LGBT+, sehingga pengetahuan kolektifnya tidak sama. Kelompok tertentu, macam laki-laki gay kulit putih, biasanya duduk di atas puncak. Mereka punya lebih banyak hak istimewa ketimbang lesbian atau homoseksual berkulit gelap (QPOC). Misalnya, bisa bekerja di perusahaan besar tanpa membuka identitas gay-nya.
Hidup sebagai warga kelas dua, apalagi kelas terbawah macam kelompok transpuan kulit hitam di Amerika Serikat misalnya, tak jarang harus berhadapan dengan pentungan aparat, menghirup gas air mata, atau bahkan didor lalu dibuang ke sungai apabila melakukan protes yang lebih besar seperti demonstrasi.
Marsha P. Johnson, transpuan kulit hitam yang jadi pahlawan Kericuhan Stonewall—pemantik gerakan LGBT modern—adalah contoh nyata ketidakadilan sistem itu. Mayatnya ditemukan di Sungai Hudson, New York, enam hari setelah ia menghilang. Untuk waktu yang lama, polisi tak mengusut kematiannya dan tak mencari pembunuhnya.
Kebencian itu tercatat di sekujur waktu, dan setiap tanah. Pada 1950-an, pegawai negeri Amerika yang ketahuan gay bisa dipecat, bahkan dituduh komunis. Di Rusia pun sama saja setelah Lenin wafat. Salah satu cara Stalin menjatuhkan lawan-lawan politiknya adalah dengan menuduh mereka gay. Di Kuba, era 1960-an, gay dicap “agen imperialisme Barat.”
Di Indonesia, kata Dede Oetomo, baru pada 1981-1983 perdebatan tentang homoseksualitas menjadi wacana nasional pertama kalinya. Mencapai puncak persekusinya pada 2016 ketika negara menganggap LGBT sebagai bahaya laten dan bagian dari proxy war. Selepas itu, angka persekusi pada LGBT Indonesia meroket. Kematian Mira, seorang transpuan yang dibakar hidup-hidup pada April 2020, masih jadi trauma akbar yang akan tumbuh bersama gerakan LGBT Indonesia sepanjang masa.
Di sebagian tempat, keadaan memang sudah lebih baik. LGBT mulai diakui sebagai warga negara dan hak-haknya dipenuhi. Sejumlah negara macam Kanada, Amerika Serikat, Inggris, dan negara-negara Eropa bahkan boleh melakukan parade setidaknya setahun sekali di jalanan untuk merayakan pergerakan kesetaraan yang makin maju.
Penerimaan yang meningkat sejalan hak ekonomi yang membaik. Sejumlah perusahaan besar mulai memperhatikan hak-hak pekerja LGBT dan membangun lingkungan inklusif.
'Kapitalisme Merah Jambu'
Dalam Changing Corporate America from Inside Out: Lesbian and Gay Workplace Rights, Nicole Christine Raeburn mencatat perubahan sikap korporasi itu tak terlepas dari suara-suara buruh LGBT sendiri yang ikut menuntut perubahan dari dalam. Ia juga melihat ada efek domino yang didorong oleh pasar. Maksudnya, “Ketika cukup banyak pemain besar yang mengadopsi inovasi, yang lain akan merasa ada tekanan untuk mengadopsi the new ‘best practice’,” tulis Raeburn.
Sikap latah korporasi besar mendukung gerakan LGBT+ tidak disambut baik mentah-mentah oleh kelompok LGBT+ sendiri. Peter Tatchell, aktivis LGBT+ Inggris yang termasuk golongan pertama Gerakan Liberasi Gay (GLF), adalah salah satu yang paling skeptis. Hampir saban Juni beberapa tahun terakhir, ia akan merepet tentang gerakan LGBT+ yang dicemari kapitalisme, atau dikenal dengan istilah Kapitalisme Merah Jambu (pink capitalism) atau Kapitalisme Pelangi (rainbow capitalism).
“Pride sekarang adalah kapitalisme merah jambu. Ia dimonetisasi: kita harus bayar untuk parade, otoritas kota memeras panitia Pride dengan tagihan yang amat besar dan kita didorong membeli merchandise bermerek pelangi untuk mengekspresikan identitas seksual dan gender kita. Banyak LGBT+ sekarang adalah bagian dari sistem neoliberalisme.”
Campur tangan kapitalisme yang berorientasi pada individualisme telah mencemari perspektif gerakan LGBT+. “Kita telah diarusutamakan, yang pada level tertentu (adalah kabar) bagus, tapi diarusutamakan sesuai dengan syarat-syarat heteroseksual. Banyak dari kita tampaknya menginginkan kehidupan LGBT dengan versi keluarga kulit putih belaka,” kata Tatchell yang tak sulit-sulit amat harus diakui cukup akurat.
Jika GLF dikenal sebagai gerakan yang membedah penjara patriarkal yang memperbudak wanita, orang gay dan anak-anak, kampanye LGBT+ terbesar beberapa tahun terakhir bisa dibilang berpusat pada pernikahan dan hak pengasuhan anak.
Kritik itu relevan karena sistem yang ada tidak ramah pada seluruh kelompok LGBT+. Segelintir queers, yang paling diuntungkan dari Kapitalisme Merah Jambu, memang harus ikut digugat, karena sistem neoliberalisme memang tidak berorientasi pada pendistribusian kesejahteraan. Sehingga penindasan masih berlangsung.
Maka, sambil menertawakan logika tidak memakai produk pembela LGBT+ yang diikhtiarkan homofobik, kebanyakan aktivis dan kelompok pergerakan LGBT+ juga skeptis pada keberpihakan perusahaan-perusahaan raksasa yang tentu saja jadi raja di puncak kapitalisme.
Sementara, di kubu anti-LGBT+, pemboikotan adalah pilihan untuk menunjukkan kuasa. Sebagaimana kawan saya yang jaksa dan kelompok homofobik yang diorganisir Anita Bryant, mereka ingin memperingatkan korporasi tentang kekuatan besar mayoritas. LGBT+ dipandang sebagai liyan yang mengancam kestabilan singgasana kuasa itu. Maka tak jarang, ketakutan berlebihan pada LGBT+ alias sifat homofobik diikuti gairah melakukan genosida. Itu amat berbahaya dan ialah kejahatan sesungguhnya.
Mengamalkan Interseksionalitas
Kelompok anti-LGBT+ tentu saja tak datang dari satu lapisan yang sama. Menggeneralisasikan mereka datang dari, misalnya, kelompok religius, amatlah naif. Nyaris sama dangkalnya seperti menyebut seluruh agama melarang LGBT+ atau LGBT+ adalah produk barat.
Faktanya, ada sejumlah ulama dan cendekiawan agama lebih progresif dan menerima LGBT+. Narasi ini dibutuhkan para kelompok homofobik itu sendiri, (mungkin) termasuk di dalamnya kelompok LGBT+ yang masih menginternalisasi homofobik di dirinya.
Di luar yang kanan dan kiri, ada kelompok “tengah-tengah” (centrist)yang doyan pamer klise-klise macam: “Saya enggak dukung LGBT, tapi saya enggak dukung presekusi mereka juga”; atau “Yang LGBT emang harus dihargai, tapi bukan berarti harus dilegalkan”, dan semacamnya. Mereka juga sama toksiknya dan saya seragamkan sebagai homofobik. Sebab, kematian karena sifat transfobik dan homofobik itu tidak abu-abu; ia nyata. Mira betulan mati karena dibakar hidup-hidup. Membela kelompok rentan macam LGBT+ harus ditanamkan sebagai suatu yang terang, bukan abu-abu.
Di titik tertentu, mengedukasi para homofobik tentang betapa berbahayanya pandangan mereka memang penting dan harus terus dilakukan, dengan amalan interseksionalitas.
Apalagi, di Indonesia kelompok ini amat bebal dan sebagian besar terorganisir rapi. Mereka bukan cuma main asal boikot perusahaan yang dukung LGBT+, sebagian elite bahkan sudah masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif, dan memakai strategi yang disebut Hendri Yulius sebagai Homofobia Saintifik. Ciri-cirinya: sengaja mendistorsi penelitian akademis, menyalahgunakan penelitian yang sudah kedaluwarsa, dan fokus pada debat yang menyakinkan bahwa LGBT+ berbahaya.
Itu sebabnya, perdebatan nasional tentang homoseksualitas tak beranjak dari pandangan-pandangan biner dengan bingkai heteroseksual macam LGBT minta kawin, LGBT dilarang punya anak. Sehingga pseudosains macam “tidak ada spesies yang gay”, “gay itu bisa disembuhkan”, “LGBT pembawa HIV”, atau “gay itu predator seksual” adalah perdebatan paling populer.
Seringkali, mau tak mau mesti diakui, merekalah yang jadi pemantik debat. Berbeda dengan gerakan konservatif yang berhasil mengartikulasikan keresahan khalayak tersisih—pemuda pengangguran, mahasiswa miskin, hingga ibu rumah tangga di kampung dan perkotaan—sebagai suatu kesatuan kolektif bernama ‘umat’, kelompok LGBT+ yang bergulat dengan berbagai bentuk penindasan justru kerap membuat kampanye yang cederung reaktif ketika menanggapi kebijakan tertentu.
Saya pikir yang jadi tantangan pergerakan LGBT+ tak jauh beda dengan yang dialami kelompok feminis, seperti yang peneliti Dyah Ayu Kartika sampaikan: kembali ke akar rumput dan menerapkan interseksionalitas sebagaimana semestinya. Sambil mengorganisir sayap kiri populer, aktivis LGBT+ bisa mengingatkan kembali kawan-kawannya yang liberal tentang interseksionalitas dan pentingnya mengorganisir kemarahan bersama.
Sebab, gerakan LGBT+ sejatinya akan terus berjuang melintasi zaman dan membersamai yang diopresi. Berkoalisi dengan gerakan lain, sebagaimana yang sudah-sudah, menjadi ‘kami’. Sehingga, para homofobik akan terheran-heran ketika ada para LGBT+ malah ikut memboikot Unilever karena keterlibatan perusahaan ini membakar hutan dan merusak lingkungan.
Sebab, tak ada yang salah dari narasi memboikot Unilever—atau perusahaan besar lain yang menggunakan LGBT+ demi profit dan mengeksploitasi buruh (termasuk orang queer sendiri) dan lingkungan. Yang salah adalah jadi homofobik. Maaf, no debat.
*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.