tirto.id - Dalam beberapa hari terakhir, banyak perusahaan mulai menghentikan atau memboikot iklan mereka di Facebook. Baru-baru ini, Pepsi pun ikut bergabung bersama perusahaan lain dalam aksi boikot Facebook karena merasa raksasa media sosial tersebut gagal mengatasi ujaran kebencian di platform mereka, demikian dilansir dari Reuters, Senin (29/6/2020).
Sebelum Pepsi, korporasi penyedia kebutuhan harian, Unilever, telah menyatakan tidak akan lagi memasang iklan di Facebook hingga akhir tahun 2020.
"Saat ini, melanjutkan iklan di platform ini (Facebook) tidak akan berguna bagi masyarakat. Kompleksitas budaya saat ini menempatkan tanggung jawab bagi sebuah merek untuk belajar, merespons dan bertindak untuk mendorong ekosistem digital yang kondusif," tulis Unilever di laman resmi mereka.
Selain Pepsi dan Unilever, perusahaan besar lain yang ikut dalam aksi termasuk Coca Cola; perusahaan penyedia perlengkapan mendaki gunung Patagonia, dan The North Face: serta Ben & Jerry's.
Kelompok hak asasi manusia di AS, juga mengadakan kampanye “Stop Hate for Profit”, yang mengajak berbagai perusahaan untuk memprotes Facebook sebagai jejaring sosial terbesar di dunia, karena tidak cukup menangani ujaran kebencian, kekerasan dan misinformasi.
Dilansir dari BBC, Sabtu (27/6/2020), kampanye #StopHateforProfit sebenarnya sudah ada sejak dimulainya gelombang protes atas kematian George Flyod oleh polisi Minneapolis. Hingga saat ini, total sudah lebih dari 90 perusahaan bergabung dalam kampanye tersebut.
"Konten rasis, berbau kekerasan, dan konten hoaks merajalela di platform media sosial," tulis sebuah gerakan anti-rasis di Amerika Serikat.
Analis eMarketer, Nicole Perrin mengungkapkan, sebenarnya sulit untuk melihat apakah kampanye boikot iklan di Facebook ini bisa berdampak signifikan pada keuangan perusahaan milik Mark Zuckerberg itu. Namun, kata dia, masuknya Unilever dan perusahaan-perusahaan raksasa lain dalam aksi boikot iklan ini bisa jadi akan diikuti oleh banyak perusahaan lain.
"Ini menyibak masalah-masalah yang lebih dalam media sosial di mana platform yang dibuat pengguna. Karena pemicu perpecahan bisa terjadi pada platform (media sosial) mana pun yang memberikan akses untuk ekspresi politik," jelas Perrin.
Sebelumnya, Facebook tengah bekerja keras melabeli setiap unggahan yang melanggar kebijakan perusahaan, yakni sebuah ujaran kebencian dan rasisme. Langkah ini dilakukan Facebook sebagai bentuk tanggapan atas unggahan pengguna akun yang dinilai mengarah pada rasisme dan ujaran kebencian yang bahkan bisa menyebabkan kekerasan.
Efek dari kampanye setop pasang iklan ini sudah mulai terasa di pasar modal. Saham Facebook turun drastis beberapa saat setelah Unilever menyatakan akan menyetop belanja iklan di Facebook hingga akhir tahun 2020.
Saham Facebook turun 8,3 persen pada perdagangan Jumat (26/6/2020). Selain Facebook, media sosial lain Twitter juga tak luput dari boikot. Saham Twitter juga anjlok 7,39 persen di hari yang sama.
Mark Zuckerberg, CEO Facebook, mengatakan perusahaannya akan melarang iklan yang mengklaim bahwa orang dari ras, agama, orientasi seksual, atau status imigrasi tertentu merupakan ancaman bagi keselamatan fisik atau kesehatan.
Perubahan kebijakan Facebook ini terjadi seiring merebak kampanye boikot iklan "Stop Hate for Profit". Seruan boikot sendiri dimulai beberapa kelompok hak-hak sipil Amerika Serikat (AS) untuk menekan Facebook agar bertindak mengatasi ujaran kebencian dan informasi yang salah.
Namun, seperti dikutip Reuters, rupanya pidato Zuckerberg yang dimuat di akun Facebooknya itu gagal, menurut Rashad Robinson, presiden kelompok hak-hak sipil Color Of Change, salah satu kelompok di balik kampanye boikot.
"Apa yang kami lihat dalam pidato hari ini dari Mark Zuckerberg adalah kegagalan untuk bergulat dengan kerugian yang ditimbulkan FB pada demokrasi & hak-hak sipil kita," cuitnya di Twitter, Sabtu (27/6/2020).
Ia menambahkan: "Jika pidato ini adalah respons yang dia berikan kepada pengiklan besar yang menarik jutaan dolar dari perusahaan, kita tidak bisa mempercayai kepemimpinannya.”
Penulis: Ahmad Efendi
Editor: Alexander Haryanto