tirto.id - Pemerintah berencana melakukan revisi terbatas terhadap empat pasal di dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Tujuannya menyelesaikan masalah multitafsir dalam beleid tersebut, namun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) menilai itu belum cukup.
"Melihat dari pengalaman dari tahun 2016 itu kan faktanya dalam implementasinya masih ditemui banyak persoalan dalam penerapan UU ITE karena memang problemnya ada pada rumusan pasal pasal itu," kata Deputi Direktur Eksekutif ELSAM Wahyud Djafar kepada Tirto, Rabu (9/6/2021).
Sebelumnya, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan empat pasal yang akan jadi sasaran revisi terbatas UU ITE antara lain pasal 27, pasal 28, pasal 29, dan pasal 36.
Pasal 27 terdiri atas empat ayat yang berisi larangan mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik bermuatan melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman.
Pasal 28 ayat 1 berisi tentang larangan menyebarkan berita bohong yang menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Pasal 28 ayat 2 berisi tentang larangan menyebarkan ujaran kebencian berdasarkan suku agama dan ras.
Pasal 29 berisi tentang larangan mengirim informasi elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau untuk menakut-nakuti secara pribadi. Pasal 36 mengatur tentang pembatasan penerapan UU ITE hanya untuk yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
Mahfud tak menjelaskan pasal terbaru edisi revisi, ia hanya mencontohkan akan mengubah kata "mendistribusikan" pada pasal 27 menjadi "mendistribusikan dengan maksud diketahui umum". Dengan demikian, jika konten ditransfer secara personal maka tak akan dijerat pidana.
Wahyudi mengingatkan, pada tahun 2016 juga dilakukan revisi terbatas terhadap UU ITE, salah satunya memberikan definisi "mendistribusikan", "mentransmisikan", dan "membuat dapat diakses" pada bab penjelasan pasal 27.
Namun nyatanya, itu tidak menyelesaikan masalah kriminalisasi menggunakan UU ITE. Selain itu, pemerintah juga mengubah ketentuan pidana pada UU ITE.
Salah satu penyebabnya adalah rumusan pasal UU ITE yang memang sangat tidak jelas. Contohnya, pasal 27 ayat 1 mengatur tentang larangan penyebaran konten yang melanggar kesusilaan, tapi batasan kesusilaan yang dimaksud tidak jelas. Padahal kesusilaan itu sendiri jauh lebih luas daripada pornografi dan sifatnya subjektif antar masing-masing masyarakat.
"Jadi prinsip-prinsip lex certa [delik pidana harus jelas] lex stricta [delik pidana harus dimaknai tegas, tanpa analogi] itu tidak terefleksikan dalam rumusan pasal 27, pasal 28, dan pasal 29," kata Wahyudi.
Wahyudi pun menerangkan, dalam rumusan pidana dalam UU ITE tak ada perbedaan antara cyber enabled crime alias kejahatan tradisional yang diekstensifikasikan dengan teknologi digital dan cyber dependent crime alias kejahatan yang muncul karena ada teknologi digital. Padahal, semestinya dua jenis kejahatan itu diatur dengan rumusan yang berbeda.
Misal, pasal 30 ayat (1) UU ITE yang mengatur tentang cyber dependent crime berbunyi : "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum mengakses komputer dan/atau sistem elektronik milik orang lain dengan cara apa pun".
Wahyudi menilai frasa 'tanpa hak' dapat dimasukkan dalam pasal itu sebab memang ada orang yang berhak mengakses sistem komputer tersebut.
Namun, ketika rumusan yang sama digunakan untuk cyber enabled crime seperti di pasal 27 ayat (1) yang berbunyi : "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan". Frasa 'tanpa hak' mengundang pertanyaan karena mengindikasikan ada orang yang berhak menyebarkan konten asusila.
Karenanya, UU ITE tidak bisa lagi sekadar direvisi secara terbatas, tetapi harus dibongkar dan disusun ulang.
"Dengan pertimbangan-pertimbangan itu, saya sih mendorong revisi ini tidak bisa lagi bicaranya revisi terbatas, tetapi bagaimana suatu proses dekonstruksi ulang terhadap undang-undang ITE itu sendiri," kata Wahyudi.
Wacana revisi UU ITE pertama kali digulirkan Presiden Joko Widodo pada Februari 2021. Melalui akun Twitternya Jokowi mengatakan UU ITE dirancang untuk menciptakan ruang digital yang bersih, sehat, dan produktif. Tetapi jika dalam implementasinya menimbulkan ketidakadilan, maka perlu direvisi. Jokowi mengatakan pasal-pasal multitafsir yang membuka ruang kriminalisasi harus dihapus.
Berdasarkan catatan Amnesty International, sepanjang Januari-April 2021 saja sudah terdapat 15 kasus pelanggaran atas hak berekspresi menggunakan UU ITE dengan jumlah korban sebanyak 18 orang.
Koordinator Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Airlangga Herlambang Perdana Wiratman mengatakan UU ITE sudah salah rancang sejak awal sebab tidak membedakan antara cyber crime dan cyber enabled crime. Yang dimaksud cyber crime adalah kejahatan yang mungkin muncul karena adanya dunia digital itu sendiri, misalnya peretasan; sementara cyber enabled crime adalah kejahatan tradisional yang meluas melalui dunia digital, misalnya pencemaran nama baik.
Pencampuran dua jenis kejahatan ini berakibat pada meluasnya kewenangan Kemkominfo, dan sampai saat ini tidak ada mekanisme kontrol sehingga berpotensi disalahgunakan.
"Kalau tak ada pertanggungjawaban, saya khawatir potensi miss semakin besar. Apalagi sekarang hanya sekadar memasukkan [pasal] tanpa mempertimbangkan paradigma aturan yang keliru dan tanpa mempertimbangkan aturan institusi yang tidak ada kontrolnya," kata Herlambang kepada reporter Tirto, Senin 24 Mei 2021.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Bayu Septianto