tirto.id - Ada berbagai istilah yang beredar di masyarkat itu berkonotasi negatif. Kelompok-kelompok yang dirujuk oleh kata-kata itu biasanya membuat istilah tandingan. Misalnya ‘transgender’ alih-alih ‘banci’. Apa yang mereka perjuangkan umumnya tak mudah; ada saja halangannya. Salah satunya hambatan dari penyelenggara negara.
Contoh terbaru tercermin dalam Undang-undang Cipta Kerja versi 812 halaman--versi paling mutakhir yang disebut-sebut diserahkan kepada Presiden Joko Widodo. Ada beberapa pasal dan penjelasan pasal menggunakan kata ‘cacat’, yang menurut Ketua Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Maulani Rotinsulu membangun citra kondisi manusia yang tidak mampu dan hanya akan melanggengkan stigma bahwa mereka adalah individu yang tidak berdaya.
“Perspektif perlindungan kesetaraan hak enggak move one,” ujarnya kepada reporter Tirto, Jumat (16/10/2020).
Kata cacat terdapat dalam Pasal 46 ayat (2) Paragraf 4 Persetujuan Bangunan Gedung dan Sertifikat Laik Fungsi, yang berbunyi: “Setiap pemilik dan/atau pengguna bangunan gedung yang tidak memenuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini diancam dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak 15% (lima belas per seratus) dari nilai bangunan gedung jika karenanya mengakibatkan kecelakaan bagi orang lain yang mengakibatkan cacat seumur hidup.”
Lalu Pasal 29 ayat (1) i Paragraf 11 Kesehatan, Obat, dan Makanan, yang menyebut: “menyediakan sarana dan prasarana umum yang layak antara lain sarana ibadah, parkir, ruang tunggu, sarana untuk orang cacat, wanita menyusui, anak-anak, dan lanjut usia.”
Kemudian Pasal 153 ayat (1) j Bab IV tentang Ketenagakerjaan, yang menyebut: “Dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.”
Pasal 154A bab yang sama juga menyebut soal cacat, yaitu “pekerja/buruh mengalami sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan.”
Ada pula penjelasan pasal terkait fasilitas penunjang, yaitu “fasilitas untuk penyandang cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas umum, fasilitas peribadatan, pos kesehatan, pos polisi, dan alat pemadam kebakaran.”
Alih-alih cacat, Maulani mendesak agar pemerintah dan legislatif mengembalikan penggunaan kata ‘disabilitas’.
Penggunaan kata ‘disabilitas’, menurutnya, bahkan lebih baik dibandingkan penggunaan kata ‘difabel’; yang hanya memperhalus terminologi cacat “namun tidak mengubah makna: seseorang yang mengalami kerusakan.” Difabel berasal dari bahasa Inggris. Sementara terminologi penyandang disabilitas berasal dari Indonesia dan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Penggunaan kata ‘difabel’ justru menegasikan kewajiban negara untuk memenuhi hak penyandang disabilitas; menyebabkan dampak yang diskriminatif.
“Kami bukan different ability, tapi orang yang tertidakmampukan karena diskriminasi di sistem, pelayan publik, program pembangunan maupun perlindungan hukum,” ujarnya. “Sehingga jika penyandang disabilitas tidak maju, itu karena lingkungan tidak menyediakan fasilitas, bukan karena fisiknya.”
Ketua Lingkar Sosial Indonesia Ken Kerta juga mengkritik. Menurutnya penggunaan kata cacat bertabrakan dengan regulasi sebelumnya (UU 8/2016) dan menyimpang dari prinsip Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU 19/2011.
“Penggunaan istilah cacat dalam UU Cipta Kerja ini berpengaruh melahirkan arah kebijakan yang selaras makna istilah tersebut,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis (15/10/2020).
Ia juga menyesali penghapusan Pasal 27 ayat (2) UU 28/2002 oleh UU Cipta Kerja yang menyebutkan gedung harus dipermudah aksesnya termasuk untuk para penyandang disabilitas. Di sisi lain, ia juga menyayangkan tidak adanya peraturan soal kuota 1 persen agar disabilitas bisa bekerja di perusahaan swasta dan 2 persen di BUMN/BUMD.
Atas dasar itu semua ia mendesak agar Presiden Joko Widodo “mengeluarkan perppu untuk membatalkan UU Cipta Kerja,” meminta DPR untuk melakukan klarifikasi tertulis soal penggunaan kata ‘cacat’, serta mendesak pemerintah memberikan informasi mengenai omnibus law “yang aksesibel, baik audio maupun visual bagi penyandang disabilitas.”
Kemunduran
Direktur Jaringan dan Advokasi Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Fajri Nursyamsi menilai pemerintah dan DPR tidak memiliki pemahaman mumpuni dalam menyusun peraturan. Mereka abai menghormati, melindungi, bahkan sekadar memperhatikan hak penyandang disabilitas.
Menurutnya, pemerintah dan DPR terjebak pada paradigma lama dalam melihat isu penyandang disabilitas. Mereka juga abai pada Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui UU 19/2011.
Seharusnya, lanjut Fajri, pemerintah melakukan harmonisasi antara regulasi baru terhadap serangkaian undang-undang yang telah direvisi serta berpegang pada regulasi yang sudah ada, bukan justru berjalan mundur. “Kemajuan yang sudah dilakukan oleh UU 8/2016 akan mundur kembali,” ujarnya kepada reporter Tirto, Kamis.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Abdul Fikri Faqih tidak menjelaskan kenapa ada kata ‘cacat’ dalam UU Cipta Kerja. Ia hanya mengatakan semestinya berdasarkan “UU 8/2016 sudah tidak dipakai lagi penyandang cacat,” kepada reporter Tirto, Kamis. Merujuk pasal 148 peraturan itu, istilah penyandang cacat yang digunakan dalam UU 4/1997 memang sudah tak berlaku lagi.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino