tirto.id - Negosiasi gencatan senjata di Gaza, Palestina, masih terus diupayakan. Belakangan, Hamas menyatakan setuju dengan usulan gencatan senjata yang diajukan Amerika Serikat (AS). Bagaimana dengan Israel?
Proposal gecatan senjata antara Israel dan Hamas diupayakan oleh Amerika Serikat (AS), Qatar, dan Mesir sejak beberapa bulan terakhir. Ketiga negara sempat menyampaikan "proposal penghubung" kepada mediator pada pertengahan Agustus 2024.
Proposal ini bertujuan untuk mempercepat implementasi kesepakatan yang mengakhiri perang di Gaza serta membebaskan tahanan Israel. Melansir dari laporan Al Jazeera, ketiga negara itu menyatakan bahwa negosiasi gencatan senjata yang dilaksanakan di Doha berlangsung dengan “serius dan konstruktif.”
Perundingan ini dilakukan seiring dengan meningkatnya kekhawatiran eskalasi. Pasalnya, kala itu Israel baru saja membunuh komandan tinggi Hizbullah di Beirut dan kepala politik Hamas Ismail Haniyeh di Teheran.
Proposal penghubung terbaru ini didasarkan pada kesepakatan yang disampaikan oleh Presiden AS Joe Biden pada bulan Mei. Rencana yang didukung oleh AS ini mengusulkan penghentian perang secara bertahap.
Langkah pertama adalah gencatan senjata selama enam minggu untuk memungkinkan pembebasan sejumlah tawanan Israel di Gaza dan tahanan Palestina di penjara Israel.
Pada tahap kedua, perang akan berakhir secara permanen dan seluruh tawanan Israel yang masih ditahan akan dibebaskan. Tahap akhir dari perjanjian ini mencakup upaya rekonstruksi Jalur Gaza yang rusak akibat perang dengan Israel.
Selaras dengan hal tersebut, gencatan senjata merupakan kesepakatan untuk menghentikan konflik aktif antara dua atau lebih pihak yang berperang. Terdapat dua jenis gencatan senjata, yakni sementara dan total.
Update Negosiasi Gencatan Senjata Palestina-Israel Terkini
Menurut laporan France 24, delegasi Hamas telah bertemu dengan mediator Qatar dan Mesir di Doha pada Rabu (11/9/2024). Pihak Hamas menyatakan bahwa pertemuan ini untuk membahas gencatan senjata di Gaza dan potensi pertukaran sandera dan tahanan.
Perundingan tersebut dihadiri oleh kepala negosiator Hamas Khalil al-Hayya, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al-Thani, serta kepala intelijen Mesir Abbas Kamel.
Putaran mediasi terkini yang berlangsung di Doha dan Kairo masih didasarkan pada kerangka kerja yang ditetapkan oleh Biden pada Mei dan “proposal penghubung” yang disampaikan para pihak pada Agustus.
Menanggapi hal tersebut, Hamas menegaskan “kesiapannya untuk segera melaksanakan perjanjian gencatan senjata berdasarkan deklarasi Biden.” Selain itu, Hamas menegaskan kembali tuntutannya agar Israel menarik diri dari “seluruh wilayah Gaza".
Lebih lanjut, Hamas menyatakan bahwa mereka tidak mengajukan tuntutan tambahan kepada para negosiator. Mereka juga menolak persyaratan baru apa pun terhadap perjanjian ini dari pihak mana pun.
Sementara itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menolak tekanan baru yang mendesak tercapainya kesepakatan gencatan senjata di Gaza.
Netanyahu menyampaikan penolakan ini pada awal September, setelah ratusan ribu warga Israel menggelar protes dan pemogokan. Bersamaan dengan ini, Biden juga mendesaknya untuk bertindak lebih lanjut setelah hampir 11 bulan pertempuran.
Alih-alih menyepakati gencatan senjata, pejabat Israel menawarkan hal lain kepada petinggi Hamas. Israel menawarkan jalan keluar yang aman dari Gaza bagi pemimpin Hamas, Yahya Sinwar, sebagai imbalan pembebasan semua sandera Israel yang masih ditahan.
Tawaran ini disampaikan oleh Gal Hirsch. Ia adalah orang yang bertanggung jawab atas upaya pembebasan tawanan sejak perang pecah pada 7 Oktober.
“(Israel) siap menawarkan perjalanan yang aman bagi Sinwar, keluarganya dan siapa pun yang ingin ikut bersamanya,” kata Hirsch seperti yang dikutip dari Bloomberg.
“Kami ingin para sandera kembali. Kami ingin demiliterisasi, deradikalisasi tentunya–sebuah sistem baru yang akan mengelola Gaza,” imbuh Hirsch.
Hirsch mengklaim dirinya telah menyampaikan usulan ini kepada Hamas pada Minggu (8/9/2024). Namun, tawaran Israel ditolak oleh Hamas.
"Bukanlah sifat pemimpin kami untuk bersikap egois, mengalah demi kepentingan pribadi, atau melarikan diri. Kami tidak akan menerima apa pun kecuali kesepakatan pertukaran yang terhormat. Baik melalui kesepakatan atau sebaliknya, saudara Sinwar tidak berpikir untuk meninggalkan Gaza," jelas pihak Hamas seperti dilansir dari The National, Kamis (12/9/2024).
Apa Masalah dalam Perundingan Gencatan Senjata Palestina-Israel?
Melansir dari AP News, salah satu masalah dalam perundingan gencatan senjata Palestina-Israel adalah terkait keinginan gencatan senjata permanen dan sementara.
Hamas telah lama menuntut gencatan senjata permanen sebagai prasyarat untuk kesepakatan apapun. Seiring dengan tuntutan itu, Hamas tidak akan membebaskan sandera yang tersisa kecuali ada gencatan senjata permanen dan penarikan penuh pasukan Israel.
Sementara itu, Israel menolak gencatan senjata permanen dan berkomitmen untuk menghancurkan kemampuan militer dan pemerintahan Hamas. Netanyahu pun mengusulkan kesepakatan untuk mengembalikan para sandera Israel, namun tidak mengakhiri perang.
Penolakan atas gencatan senjata ini terjadi karena Israel belum menyusun rencana untuk pemerintahan pascaperang di Gaza. Selain itu, Israel menolak usulan AS yang didukung secara luas di tingkat regional, karena usulan tersebut membutuhkan langkah besar dalam pendirian negara Palestina.
Selain itu, masalah lain yang dapat menggagalkan upaya gencatan senjata adalah ketidakpercayaan yang mendalam antara Israel dan Hamas. Keduanya telah berperang sebanyak lima kali dan berkomitmen untuk saling menghancurkan.
Netanyahu juga menghadapi tekanan yang sangat besar dari mitra koalisinya dan keluarga para sandera. Ribuan warga Israel, termasuk keluarga sandera telah melakukan protes dalam beberapa bulan terakhir untuk menuntut pemerintah memulangkan sandera.
Di sisi lain, mitra sayap kanan dalam koalisi Netanyahu yang kian mengecil menolak rencana yang didukung AS. Mereka mengancam akan menjatuhkan pemerintah Netanyahu jika ia mengakhiri perang tanpa menghancurkan Hamas.
Pasalnya, mereka ingin kembali menduduki Gaza, mendorong “emigrasi sukarela” warga palestina dari wilayah tersebut, dan membangun kembali pemukiman Yahudi di wilayah tersebut.
Penulis: Umi Zuhriyah
Editor: Yonada Nancy & Iswara N Raditya