tirto.id - Pada 1875, majalah Harper’s Weekly yang berbasis di New York, Amerika Serikat, memuat sebuah ilustrasi kartun yang menggambarkan sekumpulan buaya tengah bersiap menerkam kerumunan anak-anak di tepi sungai.
Jika diperhatikan, mulut para buaya yang menganga itu punya motif topi khas para uskup Katolik Roma. Kerumunan anak-anak itu semuanya ketakutan. Beberapa di antaranya tampak bersimpuh, menengadahkan muka ke langit sambil melipat tangan tanda berdoa.
Kartun karya Thomas Nast itu sepintas tidak kontroversial. Namun, tidak bagi Fiona Deans Halloran, penulis biografi Nast berjudulThomas Nast: The Father of Modern Political Cartoons (2012), yang menempatkan kartun tersebut dalam konteks sosial politik AS pada pertengahan abad ke-19.
Kartunis tersohor Thomas Nast adalah seorang Protestan yang amat menentang masuknya ide-ide Katolik ke dalam sistem pendidikan publik. Tammany Hall, sebuah organisasi mesin politik Partai Demokrat ketika itu mengusulkan pajak baru untuk mendukung keberlangsungan sekolah paroki Katolik. Nast naik pitam dan menumpahkan kemarahannya itu lewat kartun yang menggambarkan para uskup sebagai buaya perongrong anak-anak sekolah.
Bentuk protes seperti Nast ini bukan sekadar kritik lumrah. Pada zaman itu, warga Protestan yang menjadi mayoritas di AS, termasuk Nast, punya sentimen terhadap umat Katolik. Kartun Nast adalah representasi sikap sebagian besar warga Protestan yang merendahkan, melecehkan dan meminggirkan umat Katolik. Nast juga banyak bersikap mencerca para pendatang Katolik dari Irlandia sebagai orang-orang pemabuk dan barbar. Dikutip dariPolitico, menurut Nast, mereka dianggap tidak layak mendapat kewarganegaraan AS.
Para politisi pun membesarkan kebencian itu. Mereka menyatakan bahwa pendatang Katolik dari Eropa Selatan dan Timur membahayakan norma sosial masyarakat AS.
Sebagaimana disebutkan New York Times, kolom lowongan pekerjaan di koran-koran AS pada pertengahan abad ke-19 memuat pesan gamblang bahwa mereka tak menerima orang Irlandia yang identik dengan Katolik.
Hingga awal abad ke-20 kebencian itu masih berlangsung. Pada 1911, sebuah koran mingguan bernama The Menace yang bermarkas di Aurora, Missouri, mempropagandakan kebencian anti-Katolik. Mereka menyebut bahwa para imam Katolik adalah perampok dan suster-suster di biara Katolik telah diperbudak. Mereka juga menyebarkan kabar bohong bahwa orang Katolik berencana mengambil alih Amerika.
Dilansir dari Los Angeles Times, The Menace tumbuh begitu cepat dalam waktu empat tahun hingga 1915. Dilaporkan bahwa para pejabat kereta api sampai harus menambah rel tambahan untuk mengangkut kertas dan bahan cetak lainnya untuk koran tersebut. Menurut keterangan kantor pos Aurora yang menangani sirkulasi pengiriman barang, The Menace dibaca 1,5 juta pelanggan per minggunya.
Memasuki tahun 1920-an, sentimen anti-Katolik dikobarkan oleh ormas ekstremis macam Ku Klux Klan (KKK) yang pertama kali muncul pada 1860-an. Diwartakan oleh Catholic Herald, KKK melayangkan tuduhan bahwa Katolisisme adalah "agama asing". Bagi KKK yang menginginkan Paman Sam jadi negeri yang "100 persen Amerika", umat Katolik hanya setia pada Vatikan, bukan pada negara dan masyarakat AS.
Tuduhan konyol KKK lainnya: setiap kali seorang ayah Katolik punya seorang putra, ia akan menambah sepucuk bedil di gudang senjata bawah tanah gereja setempat. KKK percaya mereka menumpuk amunisi untuk mempersiapkan pemberontakan Katolik besar-besaran. Keberadaan dua meriam antik asal Spanyol di Georgetown University, Washington, digoreng oleh KKK sebagai bukti ancaman nyata kaum Katolik.
Di North Manchester, Indiana, KKK pernah menggeruduk sebuah stasiun karena desas-desus bahwa Paus sedang melakukan perjalanan dari Chicago naik kereta api. Di Florida, Gubernur Sidney J. Catts yang didukung KKK mengadakan tur keliling mengumumkan bahwa invasi Paus ke Amerika bakal segera terjadi.
Perseteruan Lama
Sulit dipastikan sejak kapan diskriminasi terhadap umat Katolik di AS pertama dimulai. MengutipCatholic Answer Magazine, kedatangan para pendatang asal Inggris (sebagian besar Protestan) ke Amerika pada abad ke-16 dan 17 memicu gesekan dengan penduduk setempat yang berlatarbelakang Katolik.
Koloni seperti Massachusetts misalnya, pada 1700 mengeluarkan aturan "Act against Jesuits dan Popish Priests," yang memerintahkan orang-orang Katolik segera angkat kaki dalam tempo waktu yang sudah ditetapkan.
Ironisnya, para pendatang Inggris dari Protestan baik dari tradisi pemikiran dan Geraja Calvinis, Anglikan, Lutheran ini sebenarnya mendambakan kebebasan beragama yang tidak atau kurang mereka nikmati di tanah asalnya.
Sikap tersebut juga tidak dapat dilepaskan dari perseteruan antara Katolik dan Protestan di Inggris yang memuncak pada era Reformasi abad ke-16. Dalam disertasi (PDF) berjudul "Charles Dickens: Anti-Catholicism and Catholicism" (2011), Mark Andrew Eslick menyebutkan bahwa perbedaan tafsir Kekristenan antara Katolik dan Protestan di Inggris berkembang menjadi masalah besar dan membakar dua komunitas tersebut dalam permusuhan.
Menulis untuk Smithsonian Magazine, sejarawan Kenneth C. Davies menyatakan bahwa sejak kedatangan orang Eropa di negeri Paman Sam, agama sering menjadi alat pukul yang digunakan untuk mendiskriminasi, menindas, bahkan membunuh orang yang dianggap asing dan sesat—tak terkecuali para penduduk asli Amerika yang lebih dahulu mendiami daratan tersebut. Meski sebagian besar pendatang Amerika memeluk Kekristenan, mereka masih berkelahi karena perbedaan mazhab, termasuk kaum Protestan dan Katolik.
Migrasi Disambut Kekerasan
Sentimen anti-Katolik di AS makin menjadi-jadi setelah gelombang migrasi besar antara 1840 dan 1924. Politico menyebut lebih dari 30 juta orang Eropa pindah ke AS. Mayoritasnya Katolik yang berasal dari Irlandia, Sisilia, dan Polandia. Tak heran, histeria anti-Katolik dan imigran mencapai puncaknya pada abad ke-19.
Menjelang dan selama gelombang migrasi tersebut, banyak peristiwa kerusuhan dan kekacauan berlatar sektarian terjadi. Biara Ursulin di Charlestown, Massachusetts, pernah dibakar oleh massa Protestan pada 11 dan 12 Agustus 1834. Pada 1937, kelompok milisi Katolik yang bermaksud melindungi komunitasnya dari ancaman ekstremis Protestan di Boston tak luput dari gangguan dan hinaan pada 1837.
Di Philadelphia, Pennsylvania, kerusuhan antara penganut Protestan dan Katolik meletus pada awal Mei dan Juli 1844. Sekitar 20 orang meninggal dan 100 lainnya luka-luka. Peristiwa ini dipicu oleh desas-desus bahwa umat Katolik berusaha menghilangkan Alkitab dari sekolah umum. Lingkungan komunitas Irlandia di Kensington hancur, dua gereja dan satu biara dibakar habis.
Saat James Taylor, seorang editor Cincinnati Times yang terkenal anti-Imigran dan anti-Katolik diajukan sebagai calon Walikota Cincinnati, Ohio. Pada 1855, kerusuhan pecah antara pendatang Jerman yang mayoritas Katolik dengan para pendukung Taylor dan barisan gerakan Know Nothing yang anti-Katolik.
Pada 6 Agustus 1855, di Louisville, Kentucky, massa Protestan menyerang imigran Jerman dan Irlandia yang mayoritas Katolik dalam suasana pemilu lokal. Sekitar 22 orang tewas dan lainnya terluka, sebagian besar orang Jerman dan Irlandia. Persaingan sengit antara Partai Demokrat dengan gerakan Know Nothing yang berhaluan ultra-nasionalis Amerika, anti-Imigran dan anti-Katolik jadi pemicunya.
Gelombang anti-Katolik menyusut seiring waktu. Pada Pilpres AS tahun 1928 muncul nama Alfred Smith, seorang politisi Katolik pertama yang maju dalam Pilpres. Meski dihajar isu SARA dan akhirnya kalah telak dari Herbert Hoover yang terpilih sebagai Presiden AS ke-31, pencalonan Smith dipandang sebagai langkah maju dalam demokrasi di Amerika.
Gelombang anti-Katolik di AS menyusut ketika Perang Dunia II berkecamuk. Dalam buku A Nation Forged in War: How World War II Taught Americans to Get Along (2010), Thomas A. Bruscino menyebut bahwa kemiliteran AS secara aktif memadukan beragam etnis dan agama kulit putih Amerika untuk bersatu dalam perang. Singkatnya, menurut Bruscino, pengalaman militer di Perang Dunia II membuat perbedaan antara Protestan dan Katolik tak lagi relevan.
Terpilihnya John F. Kennedy, seorang Katolik Roma, sebagai Presiden AS ke-35 pada 1961 jadi semacam simbol penerimaan warga AS terhadap komunitas Katolik.
Dengan populasi umat Protestan yang mencapai 50 persen dan Katolik 24 persen pada 2015, kini kasus sentimen anti-Katolik makin minim terdengar. Anak cucu orang-orang Katolik yang sempat dimusuhi sekarang sudah duduk di berbagai jabatan publik. Tak ada lagi protes tiap kali seorang kepala gereja Katolik berkunjung ke satu kota.
Beberapa tahun belakangan, diskriminasi terhadap umat Katolik bergeser ke kecurigaan terhadap imigran Timur Tengah yang beragama Islam—atau yang otomatis dianggap Islam hanya karena bertampang Timur Tengah.
Penulis: Tony Firman
Editor: Windu Jusuf