tirto.id - Serombongan orang yang mengasosiasikan anggota organisasi Ku Klux Klan mengadakan parade di Roxboro, Carolina Utara. Rencananya, parade akan digelar di Pelham, sebuah kota kecil berjarak sekitar 40 menit dari Roxboro. Namun panitia memindahkan lokasi di Pelham karena di sana telah berkumpul kelompok lain penentang KKK.
Kejadian itu bukan potongan sejarah pada awal 1900-an, melainkan peristiwa pada awal Desember 2016. Sebagaimana dilaporkanThe Huffington Post, polisi lokal dan petugas keamanan memblokir sejumlah persimpangan jalan demi berjaga-jaga selama parade.
Mengelilingi kota berpenduduk tak kurang 8.000 jiwa, para peserta kelompok anti-kulit hitam itu melambaikan bendera AS, bendera Konfederasi, dan bendera KKK. Tetapi, meski heboh dengan yel-yel supremasi kulit putih, hanya segelintir warga biasa yang berdiri di pinggir jalan untuk mendukung aksi tersebut. Menurut pejabat setempat, parade itu berlangsung beberapa menit saja.
Kepala Polisi Kota Roxboro David Hess mengaku cemas selama parade. Bagaimanapun tak ada kekuasaan resmi untuk menghentikan acara, dan konstitusi menjamin kebebasan berpendapat dan berekspresi setiap warga. Di sisi lain, parade itu dipenuhi pandangan rasis yang rentan memicu emosi. Rekam jejak KKK di Carolina Utara dan wilayah lain tak pernah menyenangkan.
"Saya dan warga Kota Roxboro tak membenarkan apa yang diyakini KKK. Berat sekali hati saya mendengar bahwa kota saya dipilih sebagai lokasi parade,” kata Hess.
KKK belum mati dan hadir dalam wujud berbeda. Sejak kemenangan Donald Trump pada Pemilu AS 2016, kelompok anti-kulit hitam ini tidak malu-malu lagi muncul di depan publik.
Amanda Barker, yang menyebut dirinya "komandan kekaisaran" Loyal White Knights sekaligus istri pendiri organisasi itu, berkata bahwa parade itu memang merayakan kemenangan Trump. Loyal White Knights adalah organisasi sayap kanan dan rasis-ekstrem yang pandangan politiknya sebangun KKK. Mereka adalah perwujudan KKK era modern, dan panggung politik mutakhir AS melapangkan kesempatan mereka tampil.
“Kami memiliki pandangan yang sama," kata Barker merujuk KKK. "Banyak orang kulit putih yang juga merasakan hal sama, terutama untuk kebijakan pembangunan tembok pembatas, imigrasi, dan perlindungan terorisme di dalam negeri. Saya pikir Trump akan melakukan hal-hal baik yang benar-benar bakal membawa perubahan di negeri ini.”
Barker menyinggung ritual khas KKK awal 1920-an hingga 1950-an, yakni pembakaran salib, yang akan mereka lakukan kembali. Demi mendukung kebijakan Trump, mereka juga telah berkeliling di beberapa kota di Carolina Utara sambil menyebarkan selebaran memuat penindakan tegas terhadap imigran gelap. Serupa sikap KKK sejak 1960-an, mereka mengaku telah mengumpulkan 50 aktivis penentang kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender serta melarang hubungan antar-ras.
Kebangkitan supremasi kulit putih di AS yang diwakili kelompok KKK gaya baru tak hanya dominan di Carolina Utara. Seseorang bernama Richard Spencer, misalnya, terekam berpidato melontarkan ucapan-ucapan rasis dan video itu lantas menyebar di dunia maya.
“Amerika lama sampai generasi mutakhir adalah negara kulit putih, dirancang untuk diri kita sendiri dan keturunan kita,” katanya, dengan mulut sengaja mendekati mikrofon. “Negeri ini adalah kreasi kita, warisan kita, dan kita adalah empunya! Menjadi ras ini artinya menjadi sang pencipta, sang penjelajah, sang penakluk!”
Spencer mewakili sekelompok orang yang menamai diri Alt-Right, kepanjangan dari 'Alternative Right'. Ini gerakan dengan gagasan utama memusatkan diri pada identitas ras kulit putih, yang pada dasarnya mengagungkan supremasi kulit putih, Islamofobia, anti-feminisme, nasionalisme etnis, dan populisme sayap kanan. Pendeknya, istilah halus untuk Nazi modern. Gerakan ini meyakini bahwa era Presiden Trump adalah era kebangkitan identitas kulit putih.
Kanker bagi Masyarakat Multikultural AS
Donald Trump dalam satu wawancara dengan CNN boleh saja membantah bahwa ia tidak menikmati dukungan dari kelompok Ku Klux Klan gaya baru. Kenyataannya, orang-orang rasis yang berafiliasi dengan KKK memang menyokong dan menyumbang kemenangan Trump.
Saat Trump diumumkan memenangi pemilihan elektoral pada 2016, mantan pemimpin besar KKK David Duke merayakannya dengan mencuit: “Ini saatnya untuk bertindak benar, yakni merebut kembali Amerika!!!” Duke memang telah mendukung Trump selama berbulan-bulan, mengatakan bahwa oposisi terhadap Partai Republikan adalah “pengkhianatan terhadap warisan bangsa.”
Meski tidak terbuka sebagai pendukung supremasi kulit putih, Trump menunjukkan kecenderungan sikap anti-minoritas dan imigran selama kampanye, selaras dengan pandangan kelompok KKK gaya baru seperti Alt-Right, The Aryan Nations, White Aryan Resistance, The National Alliance, dan The World Church of the Creator. Propaganda mereka: menolak AS dipimpin oleh orang kulit hitam dan menyalahkan orang Yahudi yang dianggap menguasai ekonomi AS.
Kemunculan KKK sejak akhir Perang Saudara (1861-1865) hingga kebangkitan kembali pelbagai organisasi yang mengusung rasisme ini adalah kanker bagi masyarakat AS yang gemar merayakan multikulturalisme. Multikulturalisme ala AS berarti meletakkan penghormatan setara bagi semua warga dari segala latar belakang komunitas dan warna kulit. Sebaliknya, KKK menantang ideologi yang dinilai omong kosong ini dan justru mencederai kejayaan supremasi kulit putih yang dulu pernah mempraktikkan perbudakan.
KKK didirikan oleh enam mantan milisi Konfederansi AS pada 24 Desember 1865, tepat hari ini 155 tahun lalu. Klan pertama mereka yang eksis pada pertengahan abad ke-19 memiliki agenda sederhana, yakni meneror orang-orang kulit hitam keturunan Afrika-Amerika sembari mengenakan baju seragam kebanggaan: jubah, masker, dan topi kerucut warna putih; seragam yang masih ikonik hingga hari ini. Meski mengusung agenda politik yang berubah, dari klan kedua (awal abad ke-20) hingga klan ketiga (1946-sekarang), ideologi KKK sama belaka: demi kejayaan kaum kulit putih. Masa ini adalah bangunan tebal diskriminasi berlandaskan segregasi rasial, yang kemudian memicu gerakan hak-hak sipil Afrika-Amerika pada akhir 1950-an dan sepanjang 1960-an.
Hingga kini, mereka terus berusaha melestarikan gerakan pemisahan dan diskriminasi kepada kelompok minoritas atau kulit berwarna lain, secara terselubung maupun terang-terangan. Dalam pandangan mereka, kaum kulit berwarna adalah sumber masalah yang menyebabkan AS tidak "sejaya dulu,” tanpa ambil pusing pengertian "dulu" ini mengacu pada perkara sejarah yang persis, yang memang sengaja dibikin kabur karena begitulah propaganda bekerja: mengagungkan masa lampau dan menyalahkan orang lain seraya memainkan sentimen diri sebagai korban.
Celakanya, propaganda supremasi kulit putih tak hanya mengorbankan orang Afrika-Amerika, tapi juga kelompok minoritas lain seperti golongan Muslim dan orang-orang Hispanik.
Bangkitnya kelompok-kelompok rasis-ekstrem seiring kemenangan Trump kala itu menandai betapa rapuhnya bangunan masyarakat Negeri Paman Sam.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 9 Desember 2016. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Fahri Salam & Irfan Teguh Pribadi