Menuju konten utama

Tudingan "Memecah Belah Ulama", Ketika Negara Mengatur Ustaz

Meski memicu polemik, menteri agama bersikeras tak akan mencabut surat rekomendasi 200 mubalig.

Tudingan
Ilustrasi: Polemik rekomendasi daftar 200 mubalig. Tirto/Lugas

tirto.id - “Kebetulan ustaz-ustaz yang hadir enggak ada yang masuk daftar 200, ya?” kata Arie Untung sesaat sebelum membuka sebuah pengajian di kawasan Johar Baru, Jakarta Pusat, Rabu terakhir bulan lalu. Kelakarnya disambut tawa ratusan jemaah yang hadir.

Guyonan soal rekomendasi mubalig itu masih terlontar hampir sepanjang acara. Adhyaksa Dault, menteri pemuda dan olahraga era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, kebagian pertama memberikan ceramah. Ia mengaku beberapa tahun terakhir dilarang memberi ceramah di Masjid Istiqlal. Entah apa musababnya. “Padahal saya mantan menteri, tapi masih juga dilarang. Gimana kalau saya ustaz?" katanya sambil terkekeh.

Adhyaksa pernah menghadapi kerepotan karena hadir dalam satu acara Hizbut Tahrir Indonesia, organisasi yang dibekukan oleh pemerintahan Joko Widodo pada Juli 2017. Bertajuk "Muktamar Khilafah" dan bertempat di Stadion Gelora Bung Karno, video itu menunjukkan Adhyaksa datang ke acara itu dan mendukung pendirian khilafah—secara sederhana merujuk sistem pemerintahan transnasional di bawah panji hukum Islam.

Acara tersebut terjadi pada 2013 tetapi ramai dibicarakan setelah ada warganet mengunggahnya ke media sosial di tengah polemik pembubaran HTI. Adhyaksa, yang tahun lalu menjadi ketua Kwartir Nasional Pramuka, harus membuat pembelaan diri agar kegiatan Pramuka tak terkena imbasnya. Ia menyatakan pemangku kepentingan negara agar tidak "mencampuradukkan" antara kepentingan Pramuka dan kepentingan pribadinya.

Ustaz Haikal Hassan, yang mendapat giliran terakhir, menyinggung pula soal daftar mubalig yang direkomendasikan Kementerian Agama pada awal Ramadan. Sebelum memulai ceramahnya, ia bertanya kepada jemaah. “Enggak apa-apa saya bukan yang masuk daftar 200 [mubalig]? Bahkan termasuk yang radikal, enggak apa-apa?” Haikal bertanya retorik dengan logat Betawi.

“Enggak apa-apa,” jawab jemaah serentak.

Perhatian jemaah tersedot saat Ustaz Abdul Somad giliran memberikan tausiah. Ratusan jemaah memang menantinya. Di antara mubalig terkenal berkat peran media sosial, Somad mungkin yang paling kondang saat ini.

Pekik takbir menyambut Somad saat berdiri di barisan para pendakwah yang duduk berjejer di panggung. Detik berikutnya, jemaah menyimaknya dengan takzim. Beberapa jemaah, yang semula berdiri di barisan belakang, berusaha merangsek ke depan panggung demi melihatnya dari dekat. Sebagian lagi segera mengeluarkan ponsel dan merekamnya. Rekaman-rekaman secara amatir atas ceramah ini, baik di acara itu maupun di tempat lain, bisa Anda lihat dan tonton di media sosial. Suatu antusiasme yang sama bak penonton konser musik.

Isi khotbah Somad ringan saja sore hari itu. Ustaz kelahiran Asahan, Sumatera Utara, ini menyampaikan bahaya narkoba bagi kaum muda, kendati tema besar yang diusung panitia adalah “Persatuan Umat untuk Indonesia yang Berdaulat.”

Sekitar sepuluh menit sebelum magrib, rombongan ustaz turun panggung. Didahului Somad lalu disusul ustaz lain seperti Haikal Hassan, Derry Sulaiman, serta selebritas Arie Untung.

“Laskar, bentuk barikade! Kasih jalan, lindungi ustaz!” Seru seseorang dari atas panggung. Ia berpakaian safari putih lengan panjang dengan lencana hijau Front Pembela Islam.

Barikade dibentuk. Saya yang berniat mewawancarai Somad agak kesulitan mendekati sang mubalig begitu ia turun panggung. Selain harus berhadapan dengan barikade betis, saya harus berjibaku dengan jemaah yang berebut menyalami UAS—akronim Ustaz Abdul Somad, panggilan terkenalnya.

Tudingan 'Memecah Belah Ulama'

Ceramah-ceramah Ustaz Abdul Somad yang persuasif terkait keimanan (tauhid) dan hukum Islam di media sosial menggugah sebagian muslim di Indonesia. Pengaruhnya di zaman digital ini disebut-sebut bak "dai sejuta umat" KH. Zainuddin MZ di zaman Orde Baru.

Maka, publik bereaksi saat namanya tidak ada dalam daftar rekomendasi 200 mubalig oleh Kementerian Agama. Selain Somad, nama lain di luar daftar itu adalah Adi Hidayat, Bachtiar Nasir, Felix Siauw, dan Khalid Basalamah. Para dai ini punya khalayak sendiri, yang sebagian pengaruhnya terbantu oleh sebaran media sosial.

Salah satu yang cukup keras menolak daftar rekomendasi mubalig itu adalah Ustaz Haikal Hassan, “Saya tidak masalah nama saya tidak tercantum. Toh saya tidak pernah menyebut diri sebagai ustaz."

"Tapi orang besar seperti Ustaz Somad, contohnya, masak tidak masuk? Ini namanya memecah belah ulama,” gugat Haikal saat saya menemuinya seusai acara dengan menuding telunjuk pada pemerintahan Jokowi.

Derry Sulaiman, dai mantan rocker, berpendapat bahwa rekomendasi 200 mubalig itu sebagai sesuatu yang "konyol" dan berharap "Pak Menteri Agama [Lukman Hakim Saifuddin] segera mencabut kembali surat itu.”

Sementara Abdul Somad menanggapinya lebih santai. "Saya (bagian dari) Kemenag. Saya PNS. Mungkin mereka lupa,” jawab UAS kalem.

Felix Siauw, seorang mualaf dan punya khalayak di hati anak-anak muda berkat isi ceramahnya yang gaul dan buku yang ditulisnya, pernah membuat tanggapan soal polemik itu di kanal YouTube.

Dalam video berdurasi 10 menit, Felix enggan ambil pusing soal dirinya yang tidak ada dalam daftar rekomendasi 200 mubalig. Ia membuat tuduhan: “Pasca-teror bom Surabaya, yang kita sudah sepakati bersama kebiadabannya, saya melihat ada semacam upaya kontrol terhadap Islam. Tidak lagi lewat media, tapi juga dari sendernya (mubalig)."

"Mereka bilang radikalisme memicu tindakan teror kemudian mereka mendefinisikan sendiri arti radikalisme dan memasukkan sendiri nama-nama yang diduga radikal tanpa ada bukti,” ujar Felix.

Saat saya mengobrol singkat dengan Haikal Hassan, saya menyampaikan bahwa nama-nama ustaz yang tidak tercantum dalam daftar rekomendasi itu karena dituduh membawa pesan "intoleransi" dalam ceramahnya. Haikal menampik dengan keras. “Saya selalu menekankan bahwa mayoritas harus melindungi minoritas. Di mana intoleransinya?

"Kalau soal memilih pemimpin, kami hanya memberikan pelajaran politik kepada umat,” jelas Haikal.

Infografik HL Indepth Dai Seleb

Bermula dari Medsos, Berakhir di MUI

Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, keputusan menyampaikan rekomendasi 200 mubalig adalah upaya Kemenag "memenuhi permintaan masyarakat."

"Dua ratus nama itu juga masukan dari berbagai kalangan. Bukan Kemenag sendiri yang memutuskan,” ujar Lukman kepada Tirto, Rabu (29/5).

Pertanyaannya, masyarakat yang mana?

Kemunculan rekomendasi itu, yang dibuat pada 18 Mei, sesudah ada sorotan topik pembahasan di media sosial yang keberatan dengan sederet nama ustaz yang dijadwalkan mengisi kajian di sejumlah BUMN seperti Telkomsel, Mandiri Syariah, dan Indosat.

Menurut mereka, para ustaz yang dimaksud sebagian besar "pro-khilafah" dan "anti-NKRI." Setelahnya, muncul tagar #TelkomselProRadikalis. Topik ini ramai di medsos pada 15-17 Mei 2018.

Ketika surat rekomendasi itu keluar, suara yang menolak menyebutnya "berpotensi memicu perpecahan umat dan ulama." Salah satu kriteria pemilihan mubalig, yakni berkomitmen kebangsaan yang tinggi, juga menjadi subjek pertentangan.

“Lalu kami-kami ini yang tidak masuk dalam daftar tidak punya komitmen kebangsaan?” tanya Felix Siauw retorik dalam unggahan videonya.

Menteri Agama Lukman Saifuddin berkata tak akan mencabut surat rekomendasi tersebut, “Wong sudah dikeluarkan, kenapa harus dicabut lagi?” Ia juga menyampaikan ke-200 nama mubalig itu sudah diserahkan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk disertifikasi.

“Jadi jangan tanyakan Kemenag lagi,” ujar Lukman.

Ketua MUI Ma’ruf Amin menyampaikan bahwa gagasan sertifikasi mubalig sudah direncanakan sejak lama. Surat rekomendasi dari Kemenag akan menjadi momen yang tepat untuk memulainya.

“Tapi sertifikasi ini terbuka bagi semua mubalig, termasuk [nama] di luar 200 [mubalig] tersebut. Nanti akan kami seleksi lagi, tentunya sesuai dengan kriteria,” ujar Ma’ruf kepada Tirto.

Kriteria yang dimaksud Ma’ruf adalah mubalig tersebut punya kompetensi secara keilmuan agama, tidak bermasalah dengan moral dan hukum, tidak ada catatan buruk sebagai mubalig yang bisa menimbulkan konflik, dan bersedia disertifikasi.

Ma’ruf tak khawatir rencana sertifikasi ini akan menimbulkan polemik baru lantaran sifatnya sukarela. “Sertifikasi ini adalah bentuk legitimasi dari MUI bahwa mubalig tersebut sudah diakui kompetensinya dan masyarakat bisa menggunakan rekomendasi ini,” terangnya.

Ia berkata sertifikasi itu tidak akan dikenakan biaya sehingga MUI bebas dari tudingan proyek sertifikasi mubalig.

“Nanti, habis Lebaran,” ujar Ma'ruf soal rencana mulai mensertifikasi mubalig.

Baca juga artikel terkait DAFTAR 200 NAMA MUBALIG atau tulisan lainnya dari Restu Diantina Putri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Restu Diantina Putri
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam