tirto.id - Tepat hari kedua Ramadan, Kementerian Agama merilis sebuah rekomendasi yang berujung kontroversi. Kementerian di bawah Lukman Hakim Saifuddin melampirkan daftar 200 nama sebagai rekomendasi mubalig. Alasannya, karena didesak aspirasi masyarakat sekaligus menghindari ceramah yang meresahkan masyarakat.
Yang membuat rekomendasi itu menjadi viral adalah tanggapan dari pelbagai pihak yang begitu beragam. Setidaknya ada tiga orang yang keberatan namanya tercantum dalam daftar. Mereka adalah Yusuf Mansur, Fahmi Salam, dan Danhil Azhar. Secara umum, ketiganya menganggap daftar mubalig yang direkomendasikan negara dapat "memecah" para penceramah dan umat Islam secara umum.
Banyak pihak juga menganggap keputusan Kemenag merilis daftar tersebut terlalu dini dan gegabah. Tafsirannya macam-macam. Ada yang menyebutnya "bermuatan politis" karena dibuat buru-buru tanpa ada konsultasi publik lebih dulu. Ada yang menduganya terkait dengan pemilu presiden tahun depan.
Dalam daftar itu juga ada nama mubalig yang sudah wafat. Almarhum Fathurin Zen tercatat meninggal dunia pada 30 September 2017. Ia sempat menjabat sebagai Kepala Bidang SMA dan SMP Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dalam daftar 200 mubalig itu, Fathurin dicatat memiliki gelar S3 dan menguasai bahasa Arab.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin bersikukuh bahwa Kemenag berkewajiban memberi rekomendasi mubalig, kendati banyak menuai kritik. Menurutnya, langkah ini sudah tepat untuk merespons aspirasi yang berkembang di masyarakat. Mengenai kelanjutan nasib rekomendasi tersebut, Lukman menyerahkannya pada Majelis Ulama Indonesia yang punya gagasan serius mengenai standardisasi mubalig.
Ditemui di Studio 41 Trans, usai menghadiri sebuah acara, Aulia Adam dari Tirto menemui Lukman Hakim Saifuddin untuk membahas masalah ini.
Ide rekomendasi datang dari Anda atau tim?
Ini ide datang dari masyarakat. Masyarakat banyak sekali datang kepada kami dan meminta. Kami di Kementerian Agama kan harus melayani permintaan umat. Permintaan itu harus dilayani. Karena begitu banyak, cara kami untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu lalu dengan menggunakan rilis.
Bahasa resminya, sudah dicabut atau rekomendasinya masih ada?
Saya tidak tahu. Karena itu sudah diserahkan, kami teruskan ke MUI. Jadi sekarang berpulang ke MUI, jangan lagi bertanya pada kami. Karena ini semuanya sudah kami serahkan sepenuhnya pada MUI, yang membawahi semua ormas-ormas di tanah air.
Ada isu, ini datang dari permintaan Istana?
Enggak, enggak. Sama sekali tidak. Ini murni (datang dari) masyarakat saja, dan ini alamiah saja. Sejak dulu, tahun-tahun dulu juga kita alami. Hanya, frekuensinya (permintaan rekomendasi) sekarang ini jauh lebih meningkat. Mungkin mereka sekarang ingin penceramah yang menyejukkan, yang mendamaikan.
Kan sekarang mulai muncul ceramah-ceramah di sosial media, di Youtube, ceramah-ceramah yang membuat antar-sesama kita semakin tersekat-sekat. Dan permintaan itu menjelang Ramadan semakin tinggi. Kami tidak lagi mampu melayani satu per satu, yang sifatnya perseorangan maupun kelembagaan. Karena begitu banyak, lalu cara kita menjawabnya dengan mengeluarkan rilis itu.
Respon terhadap rilis itu ternyata pro-kontra. Anda mengira bakal begini?
Sama sekali tidak. Karena kami tidak punya pretensi apa-apa. Kami enggak punya agenda apa-apa.Tapi kami memaklumi kalau muncul pro dan kontra.
Pertimbangannya apa memilih 200 nama itu?
Tidak ada pertimbangan sama sekali. Nama-nama itu datang dari ormas-ormas. Ada yang minta (rekomendasi). Karena permintaan itu terlalu banyak, kami enggak punya stok nama-nama penceramah. Ada sih, tapi satu-dua. Jumlahnya paling belasan, paling hanya puluhan. Sementara permintaan begitu banyak.
Itulah kenapa kami minta ke ormas Islam, pengurus-pengurus masjid yang ada. Jadi nama-nama itu datang dari masyarakat sendiri hakikatnya. Melalui sebagian ormas Islam, sebagian pengurus takmir masjid, yang kemudian kami himpun, ketemulah angka 200 itu.
Ada yang berkata tindakan ini terlalu cepat dibuat oleh Kemenag, tanggapan Anda?
Kami harus cepat melayani masyarakat. Kami kan enggak boleh menunggu terlalu lama. Jadi kami kerja lambat, disalahkan. Terlalu cepat, disalahkan. Jadi, serba salah.
Rekomendasi ini ada relevansinya dengan kejadian bom dan teror belakangan?
Mungkin. Saya enggak tahu. Tapi mereka yang meminta itu menginginkan penceramah-penceramah yang menyejukkan, yang mendamaikan, yang menenangkan. Bukan yang agitatif, bukan yang provokatif. Itu yang mereka minta.
Respons dari partai setelah kementerian Anda merilis?
Ya itu tadi. Suara partai meminta agar mungkin caranya lebih baik, dengan cara lebih dulu dikonsultasikan ke publik lebih dulu.
Penulis: Aulia Adam
Editor: Fahri Salam