tirto.id - Puluhan ribu orang yang tergabung dalam Partai Buruh, serikat buruh, serikat petani, dan kelas pekerja lainnya bakal demo di depan Istana Negara, Jakarta Pusat pada hari Sabtu, 14 Januari 2023 mendatang. Aksi unjuk rasa ini bertujuan untuk menolak atau tidak setuju dengan isi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dan akan digelar mulai pukul 09.30-12.00 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB).
Hal ini disampaikan oleh Presiden Partai Buruh Said Iqbal via Zoom dalam konferensi pers daring terkait “Penjelasan Rencana Aksi Puluhan Ribu Buruh Tolak Isi Perppu Cipta Kerja”, yang disiarkan langsung melalui kanal YouTube Bicaralah Buruh pada Senin (9/1/2023).
“Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh dan organisasi serikat petani, serta kelas pekerja lainnya akan menggelar aksi puluhan ribu buruh pada tanggal 14 Januari jam 09.30 sampai dengan jam 12.00 Waktu Indonesia bagian Barat (WIB),” ucap Said.
Said menuturkan, peserta aksi bakal difokuskan di Istana Negara. Mereka berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek), Serang, Cilegon, Karawang, Purwakarta, dan Bandung Raya.
“Jumlah peserta aksi diperkirakan lebih dari 10 ribu orang,” ungkap Said.
Secara bersamaan, lanjut Said, aksi pun serempak akan dilakukan di beberapa kota industri. Antara lain di Bandung, Jawa Barat, Semarang, Jawa Tengah, Surabaya, Jawa Timur.
Selain itu, kata Said, di Banda Aceh, Aceh, di Medan, Sumatera Utara, Palembang, Sumatera Selatan, Bengkulu, Pekanbaru, Riau, Batam, Kepulauan Riau, Balikpapan, Kalimantan Timur, serta Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Lalu di Ternate, Maluku Utara, Mataram, Nusa Tenggara Barat, Makassar, Sulawesi Selatan, Palu, Sulawesi Tengah, Gorontalo, termasuk di Papua dan beberapa kota lainnya di Indonesia.
“Serempak di kota-kota industri tersebut akan melakukan aksi yang melibatkan puluhan ribu buruh di Jakarta dan ribuan buruh di kota-kota industri lainnya,” ujar Said.
Said menerangkan tuntutan aksi tersebut terkait penolakan isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.
“Jadi fokus pada penolakan atau tidak setuju dengan isi Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Omnibus Law Cipta Kerja,” kata Said.
Sementara itu, Said menyebut fokus keduanya yaitu terkait mekanisme pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut Said, terdapat dua mekanisme yang bisa dilakukan dalam hukum ketatatanegaraan.
Pertama, beber Said, melalui mekanisme pembahasan daftar inventari masalah (DIM) di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) bersama pemerintah. Di mana DPR RI membentuk panitia khusus (pansus), yang beberapa waktu lalu bernama Pansus Badan Legislatif (Baleg) RUU (Rancangan Undang-Undang) Cipta Kerja.
Lebih lanjut Said, mekanisme yang kedua adalah perppu yang dikeluarkan oleh presiden. Selanjutnya, perppu tersebut diserahkan ke DPR untuk dibahas oleh DPR apakah menerima perppu atau tidak.
Jika DPR menerima perppu itu, tutur Said, maka akan menjadi undang-undang (UU). Sedangkan jika mereka menolak, maka harus dibentuk pansus untuk membahas prolegnas (program legislasi nasional) terkait dengan Omnibus Law Cipta Kerja.
“Terhadap mekanisme tersebut, Partai Buruh bersama organisasi serikat buruh bersepakat, bersetuju, bahwa mekanisme yang ditempuh adalah perppu bukan melalui DPR RI dengan cara membentuk Pansus Baleg Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja,” ucap Said.
Said mengatakan ada beberapa alasan mereka mengapa lebih memilih perppu ketimbang mekanisme pansus DPR RI. Alasan yang pertama yaitu mereka tidak percaya dengan DPR yang sekarang.
“Kami mempunyai pengalaman buruk terhadap pembahasan Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja pada masa tahun 2020, yang kemudian disahkan dalam sidang paripurna DPR. Penuh dengan “kebohongan” dan tidak ada satupun usulan daripada serikat-serikat buruh pada waktu itu dan serikat petani yang dimasukkan di dalam pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja tahun 2020 pada tanggal 5 Oktober,” tutur Said.
Oleh karena itu, ujar Said, pepatah mengatakan “Hanya keledai yang jatuh dua kali dalam lubang yang sama.” Maka Partai Buruh dan organisasi serikat buruh tidak ingin menjadi keledai seperti dalam pepatah tersebut, jatuh dalam lubang yang sama.
Alasan yang kedua, kata Said, sekarang sudah masuk dalam tahapan pemilihan umum (pemilu) yang dikenal dengan tahun politik. Dalam tahun politik, politisasi terhadap sebuah UU yang menyita perhatian publik mungkin saja terjadi dan patut diduga kekuatan uang akan berseliweran.
“Karena Undang-Undang Omnibus Law ini cita rasanya adalah kepentingan pengusaha, para pemilik modal. Bagaimana pemilik modal menginginkan melalui Undang-Undang Cipta Kerja ini down grade, menurunkan semua bentuk kesejahteraan daripada buruh,” jelas Said.
“Dan memberi ruang-ruang kepada pengusaha-pengusaha untuk mengeruk kekayaan alam, tanpa berbagi kepada negara dan rakyat. Serta, merampas tanah-tanah petani, melegalkan impor tanpa batas, yang merugikan petani, peternak, dan kelompok-kelompok kelas pekerja lainnya. Sehingga Omnibus Law ini sarat dengan kepentingan pengusaha,” pungkas Said.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Restu Diantina Putri