tirto.id - Di masa Orde Lama, Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Marsekal Omar Dani pernah dipercaya menjadi Panglima Komando Mandala Siaga (Kolaga). Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965), tiap kepala staf angkatan dijadikan panglima angkatan masing-masing dan diberi jabatan menteri oleh Sukarno.
Sebelum Omar Dani, pejabat sebelumnya adalah Marsekal Soeriadi Soeriadarma. Dia adalah kepala staf AU yang pertama sekaligus pemimpin angkatan terlama. Belasan tahun jadi Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Selain itu, Soeriadi juga pernah jadi Ketua Gabungan Kepala Staf di zaman Sukarno.
Baca juga: Mengenang Gugurnya Rombongan Adisucipto
Di zaman Demokrasi Terpimpin, Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) didesain menjadi matra yang dapat diandalkan. Sukarno, seperti dicatat dalam biografi Omar Dani, Pergunakanlah Hati, Tangan dan Pikiranku: Pledoi Omar Dani (2001) yang disusun Benedicta Surodjo dan JMB Soeparno, menginginkan semua angkatan kuat.
“Kita musti mempunyai angkatan darat yang kuat, angkatan laut yang kuat, angkatan udara yang kuat. Ketiga-tiganya harus sekuat mungkin […] kita tidak bisa kuat tanpa Angkatan Udara yang sekuat-kuatnya,” kata Sukarno seperti dikutip dalam buku tersebut (hlm. 36).
Di masa itu, jelang pembebasan Irian Barat, menurut catatan Tomi Lebang dalam Sahabat lama, era baru: 60 tahun pasang surut hubungan Indonesia-Rusia (2010), “Angkatan Udara mendapat pesawat-pesawat MIG-21, Ilyusin-28,TU-16 (Tupolev), dan pesawat angkut Antonov beserta 3 satuan pertahanan udara lengkap dengan roket dan radarnya […] Bantuan persenjataan Rusia membuat persenjataan Angkatan Udara meningkat baik mutu maupun jumlahnya” (hlm. 102-103).
Baca juga:Kembali Berdaulat di Angkasa Indonesia
Menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008), Angkatan Udara termasuk angkatan yang setia kepada Presiden Sukarno di akhir-akhir kekuasaannya (hlm. 609). Sukarno dipandang terlalu jauh menyeret angkatan-angkatan ke dunia politik. Omar Dani yang "buta" politik pun dianggap berpolitik.
“Angkatan Udara itu angkatan teknis, berbeda dengan Angkatan Darat,” kata mantan KSAU keempat (1966-1969) Marsekal Rusmin Nuryadin seperti dikutip Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto (2015: 159).
Menurut Salim, secara tidak langsung Rusmin sebenarnya mengkritik Omar Dani dan para pemimpin Angkatan Udara lainnya yang ikut-ikut bermain politik. Meski Omar Dani lebih bisa dipandang sebagai loyalis Sukarno yang hanya ikut apa kata Sang Presiden. Dani kemudian digantikan Marsekal Sri Mulyono Herlambang.
Baca juga: Arsip Rahasia AS: Ide Membunuh Marsekal Kesayangan Sukarno
Tuduhan Keterlibatan dalam G30S
Nama Omar Dani kerap dikaitkan dengan G30S 1965 karena basis pasukan penculik para jenderal Angkatan Darat, Lubang Buaya, tak jauh dari pangkalan udara Halim Perdanakusumah. Hingga Angkatan Udara terkesan dipersalahkan. Tak heran jika nama baik Omar Dani rusak.
Chappy Hakim, mantan KSAU (2002-2005), dalam bukunya Awas Ketabrak Pesawat Terbang! (2009) bercerita, “Suatu ketika pada masa Orde Baru, seorang guru sejarah membawa murid-muridnya ke Museum Angkatan Udara di Yogyakarta. Di situ terpampang foto-foto pimpinan Angkatan Udara dari dulu hingga sekarang. Ada foto KSAU pertama tetapi langsung kepada KSAU ketiga, dan seterusnya” (hlm. 183).
Jadi dari Marsekal Soeriadi Soeriadarma langsung ke Sri Mulyono dan Omar Dani dilewati. Bahkan, fotonya tak ada. “Cara menghitung Orde Baru memang ajaib: dari satu langsung tiga,” kata Prof. Dr. Ayatrohaedi dalam sebuah seminar seperti dikutip Chappy.
Omar Dani sendiri, menurut Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013), “mewarisi Angkatan Udara yang sejak awal tahun lima puluhan memang sudah diposisikan Soeriadarma, sadar atau tidak sadar, sebagai angkatan yang bersikap antagonis kepada Angkatan Darat.”
Jika Omar Dani dikaitkan dengan G30S, maka Soeriadi tampaknya dipersalahkan karena tidak ikut gerilya setelah Agresi Militer Belanda II. Menurut Mohammad Hatta dalam Mohammad Hatta: Memoir (1979), Soeriadi kala itu akan ditugasi mendampingi Presiden Sukarno ke India dan sedang tidak menjalankan tugasnya sebagai KSAU ketika Yogyakarta diserang pada 19 Desember 1948 (hlm. 532).
Baca juga:
Di masa Orde Baru, perwira berbintang dari Angkatan Udara tak pernah sekali pun menjabat Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Juga t
ak ada marsekal Angkatan Udara yang pernah jadi Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Hanya Sudomo, seorang perwira Angkatan Laut, satu-satunya Pangkopkamtib yang tidak berasal dari Angkatan Darat.Setelah Soeharto lengser, dan ABRI ganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), pernah ada Marsekal Djoko Suyanto dalam posisi Panglima TNI. Walau hanya dari 13 Februari 2006 hingga 28 Desember 2007. Kira-kira hanya dua tahun kurang sebulan setengah saja. Setelah Djoko Suyanto, tak ada lagi perwira-perwira dari angkatan yang harusnya menguasai angkasa Nusantara itu menduduki kursi Panglima TNI.
Djoko Suyanto digantikan Djoko lain dari Angkatan Darat: Djoko Santoso (2007-2010). Setelah itu, Laksamana Agus Suhartono dari Angkatan Laut jadi panglima TNI (2010-2013). Lalu disusul Jenderal Moeldoko dari Angkatan Darat (2013-2015).
Jika mengacu pada urutan tak resmi di atas, jabatan Panglima TNI seharusnya dipegang AU pada 2015. Tetapi, Presiden Jokowi mengangkat Jenderal Gatot Nurmantyo dari AD. Gatot masih menjabat hingga sekarang.
Dua hari lalu (4/12/2017), Presiden Jokowi merekomendasikan Marsekal Madya Hadi Tjahjanto dari AU sebagai kandidat Panglima TNI. Nama Hadi diajukan sebagai calon tunggal kepada DPR. TNI AU tampaknya bisa bernafas lega awal tahun depan.
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan