tirto.id - Presiden Joko Widodo merekomendasikan nama Hadi Tjahjanto untuk menggantikan Gatot Nurmantyo sebagai Panglima TNI, hari ini (4/1/2017). Surat rekomendasi diberikan langsung oleh Menteri Sekretaris Negara Pratikno ke Wakil Ketua DPR Fadli Zon. DPR akan membacakan surat rekomendasi presiden di Rapat Paripurna, lalu Komisi I--selaku komisi yang membidangi urusan pertahanan--akan melakukan uji kepatutan dan kelayakan kepada nama yang diusulkan.
Muradi, Ketua Pusat Studi Politik Dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran (Unpad), mengatakan bahwa pengusulan Hadi, yang kini menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara, adalah langkah yang tepat. Menurutnya Jokowi ingin mengembalikan rotasi kepemimpinan TNI. Rotasi ini dimulai Abdurrahman Wahid pada 1999 ketika mengangkat tentara dari Angkatan Udara sebagai orang nomor satu di tubuh TNI.
"Hal ini juga menegaskan bahwa kepemimpinan bergilir adalah bagian dari membangun solidaritas antar angkatan," kata Muradi.
Dua panglima TNI terakhir dijabat oleh tentara dari AD. Sebelum Gatot ada nama Moeldoko, yang bertugas pada 30 April 2013 hingga 8 Juli 2015. Selain dua orang itu, ada Endriartono Sutarto dan Djoko Santoso sebagai orang AD yang pernah memimpin TNI, masing-masing pada 7 Juni 2002-13 Februari 2006 dan 28 Desember 2007-28 September 2010. Dengan begitu, meski ada rotasi sejak reformasi, komposisi tentara AD masih dominan. Empat dari tujuh Panglima TNI yang "naik" pasca reformasi berasal dari AD, sisanya, dua dari AL, satu dari AU.
Orang pertama dari AU yang menjadi Panglima TNI sepanjang sejarah kemiliteran Indonesia adalah Djoko Suyanto. Djoko dikukuhkan langsung oleh Presiden ke-6 Susilo Bambang Yodhoyono di Istana Negara, pada 13 Februari 2006. Serah terima jabatan dilakukan seminggu setelahnya.
Pengangkatan Djoko cukup menarik. Selain menjadi orang AU pertama yang menjadi Panglima TNI, Djoko sebetulnya sempat ditolak Fraksi PDIP di DPR. Alasannya, Djoko bukan nama yang dicalonkan Megawati Soekarnoputri. Di akhir masa jabatan sebagai presiden ke-4, Megawati mengusulkan nama Jenderal Ryamizard Ryacudu sebagai panglima. Namun, SBY yang naik melalui Pemilu langsung pertama menarik surat rekomendasi dari pendahulunya dan menggantinya dengan surat rekomendasi baru.
Proses fit and proper test juga cukup berat. Anggota dewan masih banyak yang meragukan kemampuan Djoko, yang memang naik pangkat relatif cepat. Tercatat anggota komisi yang diketuai Theo L. Sambuaga membombardir Djoko dengan ragam pertanyaan dengan durasi sampai 13 jam.
"Layak masuk Guiness Book," kata Panglima Endriartono Sutarto mengomentari "ujian" suksesornya.
Dalam wawancara dengan BBC Indonesia pada 2007, Djoko sempat bilang bahwa salah satu tugasnya sebagai panglima adalah membuat angkatan yang kuat dengan perangkat yang memadai.
"Kalau kita diberikan tugas pokok seperti ini, harus juga diberikan peralatan memadai untuk menjaga, menjamin dan menggaransi bahwa negara ini dapat kita jaga keutuhan wilayahnya," katanya.
Rusia jadi negara tujuan pembelian peralatan tempur utama setelah memberikan kredit lunak sebesar US$ 1 miliar ke pemerintah Indonesia. Namun, Djoko bilang nominal itu belum cukup.
Soal peralatan dan persenjataan jadi isu yang hangat dibicarakan sepanjang masa tugas Djoko. Tapi tidak semuanya berjalan baik. Hanya beberapa bulan setelah menjabat, tepatnya pada 26 Juni 2006, Puspom TNI menemukan ratusan senjata laras panjang dan pendek, puluhan ribu butir amunisi, dan beberapa granat di rumah Brigjen Koesmayadi. Anggota DPR bilang ini kasus yang tidak wajar.
Kepada Tempo, Djoko mengatakan kalau Koesmayadi, yang ketika itu menjabat sebagai Wakil Asisten Logistik TNI AD, bukanlah aktor tunggal dalam pengadaan senjata dan amunisi ini. Djoko memerintahkan Puspom TNI mengusut kasus ini sampai selesai. Badan Intelijen Strategis (Bais) pun turut serta.
Namun belum selesai kasus diusut, Koesmayadi meninggal pada Juni 2006 di rumahnya di Cibubur. Ada yang bilang dia diracun. Namun Djoko Santoso yang ketika itu menjabat sebagai KSAD bilang kalau Koesmayadi meninggal karena sakit jantung.
Sebelum kasus Koesmayadi, tepatnya pada April 2006 atau hanya dua bulan setelah dilantik, Djoko sudah harus berurusan dengan kasus penangkapan lima orang penjual senjata ilegal di Amerika Serikat (AS). Lima orang ini adalah rekanan TNI, tiga di antaranya warga negara Indonesia. Rekanan TNI ini tertangkap basah setelah membeli ratusan jenis senjata api, bahkan peluru kendali sidewinder dan radar pesawat terbang.
Tidak jadi soal kalau status mereka yang tertangkap hanya sebatas rekanan. Masalahnya orang-orang ini mengaku berbisnis untuk memenuhi pesanan TNI. Djoko jelas tidak mengakuinya. Ia mengklarifikasi kalau mereka yang tertangkap memang ada yang benar-benar rekanan TNI. Namun transaksi gelap ketika tertangkap bukan untuk memenuhi pemesanan TNI.
Juwono Sudarsono, yang ketika penangkapan terbongkar menjabat sebagai Menteri Pertahanan, memperkuat pernyataan panglima dengan bilang kalau pengadaan di tentara selalu melalui jalur legal. Senjata-senjata itu juga katanya sudah bisa diproduksi di dalam negeri, sehingga buang-buang waktu kalau harus mencarinya di "pasar gelap".
Djoko bergerak lebih jauh dengan mengaku kalau beberapa perusahaan rekanan TNI memang tidak semua "bersih". Maksudnya, ada yang punya relasi dengan mantan pejabat militer dan mengambil keuntungan dari situ. Terkait ini Djoko bilang akan "bertindak tegas" terhadap rekanan yang melakukan pelanggaran meski di sana bercokol senior-seniornya.
Djoko Suyanto "pensiun" sebagai Panglima TNI pada 28 Desember 2007/ Ia digantikan oleh Djoko Santoso yang berasal dari Angkaran Darat. Karier militer Djoko Suyanto pun selesai setelah malang melintang sejak lulus dari Akabri pada 1973.
Setelah itu beragam peran dia lakoni, yang tertinggi adalah menjadi Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan pada 2009 sampai 2014. Djoko juga pernah menjadi komisaris di beberapa perusahaan seperti PT Adaro dan PT Lestari Asri Jaya.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Rio Apinino