Menuju konten utama
Mozaik

Tinggalan Majapahit di Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro

Para peziarah di kompleks makam Ki Gede Ing Suro mungkin tidak mengira bahwa enam struktur itu adalah bangunan suci tempat pemujaan dewa-dewa Trimurti.

Tinggalan Majapahit di Kompleks Makam Ki Gede Ing Suro
Header Mozaik Candi Majapahit di palembang. tirto.id/Tino

tirto.id - Kata Nusantara erat kaitannya dengan ambisi teritorial Majapahit yang merujuk pada wilayah-wilayah di luar Jawa Timur. Oleh Gajah Mada, Patih Amangkubumi--semacam perdana menteri di masa sekarang--Majapahit, wilayah-wilayah itu hendak dipersatukan.

Menurut Agus Aris Munandar dalam "Majapahit Negeri-Negeri Sezaman: Interaksi dan Pandangan" (2020), istilah Nusantara mengarah pada daerah-daerah yang mengakui kedaulatan Majapahit. Pendapat itu disandarkan pada keterangan di dalam Kakawin Nagarakrtagama, tepatnya pada pupuh 13 dan 14.

Secara epigrafis, Munandar menyebut pula, istilah Nusantara secara implisit dibicarakan di dalam Prasasti Tuhanyaru (1323 M) masa Raja Jayanagara dan Prasasti Bendosari (1360 M) masa Raja Hayam Wuruk.

Daerah-daerah Nusantara yang berada di bawah kuasa Majapahit, menurut Munandar berstatus sebagai daerah angsa. Artinya, seluruh daerah yang tunduk itu otomatis menjadi pundi-pundi perekonomian Majapahit.

M.D. Poesponegoro dan N. Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuna (2010), berpendapat bahwa klaim Majapahit atas daerah-daerah di luar Jawa Timur dan Bali hanyalah sebatas pengaruh politik. Majapahit secara de facto tidak pernah menancapkan kuasa penuh atas daerah-daerah Nusantara yang mereka klaim.

Pendapat keduanya nyatanya mulai menemui titik buntu ketika muncul beberapa sumber sejarah sekaligus temuan arkeologis yang mengindikasikan adanya penguasaan langsung Majapahit atas daerah di luar Jawa Timur, salah satunya Palembang.

Sumber sejarah paling kuat yang membuktikan hal ini adalah Ying Yai Sheng Lan yang ditulis oleh Ma Huan, juru tulis armada Dinasti Ming yang singgah ke Nusantara pimpinan Laksamana Cheng Ho.

Menurut Kong Yuanzhi pada Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara (2007), Ma Huan mencatat bahwa sekitar abad ke-14 ketika rombongan Majapahit sampai di Palembang, wilayah yang sebelumnya disebut sebagai shih-li-fo-shih itu telah berada di bawah kuasa Jawa.

Karena Dinasti Ming menempatkan bangsawan sebagai pengawas perdagangan mereka di sana dan penguasa lokal Palembang mengirim upeti ke Dinasti Ming, Palembang kemudian diinvasi kembali oleh Majapahit dan tunduk pada kerajaan tersebut sampai keruntuhannya.

Menurut De Graaf dalam Puncak Kekuasaan Mataram: Politik Ekspansi Sultan Agung (2019), sampai dengan kekuasaan Sultan Agung di pertengahan abad ke-17, Palembang masih daerah vasal yang setia di bawah para penguasa Jawa.

Candi Gede Ing Suro

Candi Gede Ing Suro pertama kali ditemukan F.M. Schnitger pada awal abad ke-20 dan diterbitkan ke dalam satu bundel tulisan berjudul The Archaeology of Hindoo Sumatra pada tahun 1937.

Candi yang terletak di Kelurahan 2 Ilir, Kecamatan Ilir Timur 2, Kota Palembang ini secara tradisional oleh warga setempat dikenal sebagai Makam Ki Gede Ing Suro. Sosok ini merupakan bangsawan Jawa masa Demak yang datang ke Palembang pada abad ke-16 dan mendirikan dinasti raja-raja Kesultanan Palembang yang merdeka pada abad ke-17.

Secara fisik bisa dikatakan bahwa enam gugusan struktur ini lebih mirip dengan makam, mengingat kontruksi struktur hanya berupa batur (pondasi) berbahan bata yang di atasnya diletakan nisan-nisan berbahan kayu dan batu.

Namun sebagaimana dilampirkan oleh Nina Sani dalam "Kompleks Makam Gede Ing Suro di Palembang", enam struktur yang disebut sebagai Candi I sampai VI ini juga memiliki denah yang ideal sebagai suatu bangunan suci agama Hindu atau Buddha.

Tinggalan arkeologis yang mendukung pernyataan Sani adalah temuan tiga buah arca tepat di kompleks percandian tersebut.

Ketiga arca menggambarkan tokoh Dewa Siwa, Wisnu, dan Brahma, yang dilengkapi dengan kendaraannya masing-masing, yaitu Nandi, Garuda dan Hamsa.

Bambang Budi Utomo (ahli Sriwijaya dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional) merupakan salah satu peneliti yang pernah menggali situs tersebut di tahun 1980-an, yang ketika itu berada di bawah pimpinan R. Soekmono.

Menurutnya, bata yang menjadi bahan baku candi-candi di Gede Ing Suro memang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan bata-bata Sriwijaya seperti yang ditemukan di Muaro Jambi atau Muara Takus.

Konon, bata-bata tersebut lebih mirip dengan bata buatan Majapahit sebagaimana ditemukan di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Penelitian lainnya datang dari R. Soeroso dari Balai Arkeologi Palembang yang pernah menggali situs tersebut tahun 1997. Sebagaimana ia sebut dalam laporan penelitiannya, sewaktu penggalian di Gede Ing Suro, ditemukan beberapa fragmen keramik Tiongkok bercorak khas Dinasti Yuan dan Ming (abad ke-12 sampai 16).

Hal ini menguatkan bahwa Situs Gede Ing Suro memang telah digunakan sejak masa Majapahit yang sezaman dengan dua dinasti tersebut.

Infografik Mozaik Candi Majapahit di palembang

Infografik Mozaik Candi Majapahit di palembang. tirto.id/Tino

Bukan yang Pertama Dibangun?

Satu hal yang unik dari temuan Candi Gede Ing Suro di Palembang adalah bahwa candi tersebut hanyalah bangunan lanjutan. Pada dasarnya, para arkeolog terdahulu menemukan adanya indikasi bahwa Candi Gede Ing Suro telah ada sejak masa sebelum Majapahit.

Dugaan itu bersumber dari ditemukannya selipan pondasi berbahan batu andesit di Candi II Gede Ing Suro yang mengingatkan pada candi-candi periode Klasik Tua yang berkembang di Jawa Tengah pada abad ke-8 sampai 10.

Temuan andesit ini bukan satu-satunya gejala, melainkan juga ditemukan beberapa fragmen Arca Buddha bergaya Sailendra di sekitaran candi. Hal ini mengindikasikan praktik pemujaan Buddha dari masa sebelumnya, diperkirakan pada masa Sriwijaya.

Teori tersebut memberikan gambaran bahwa Majapahit tidak serta-merta membangun sesuatu yang benar-benar baru di wilayah taklukannya, tetapi melanjutkan apa yang sudah ada dan dikembangkan oleh penguasa sebelumnya.

Terlebih, yang menjadi unik situs percandian yang sebelumnya dipuja oleh umat Buddha dan kemudian Hindu ini, juga dijadikan wilayah suci umat Islam di Palembang pada masa Kesultanan Palembang.

Djohan Hanafiah dalam Sejarah Perkembangan Pemerintahan Kotamadya Daerah Tingkat II Palembang (1998) bahkan mengatakan bahwa Candi Gede Ing Suro di masa lalu kemungkinan berada di dalam kompleks Kraton Kuto Gawang yang dihuni oleh sultan-sultan Palembang.

Struktur berbahan bata itu saat ini kusam dan terletak di pojok timur Kota Palembang. Deru mesin pengolah pupuk milik PT. Pupuk Sriwijaya meraung-raung bertetangga dengan enam formasi bata yang bertengger di tepian Sungai Musi.

Sesekali di bulan Sya’ban, menjelang Ramadan tiba, rombongan peziarah dari Sumatra, Jawa, dan Semenanjung Melayu berdatangan mengharap berkah di tempat ini. Mereka barangkali tidak pernah mengira bahwa enam struktur berbahan bata itu adalah bangunan suci tempat pemujaan dewa-dewa Trimurti masa Majapahit.

Baca juga artikel terkait KI GEDE ING SURO atau tulisan lainnya dari Muhamad Alnoza

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Muhamad Alnoza
Penulis: Muhamad Alnoza
Editor: Irfan Teguh Pribadi