tirto.id - Sejak masa Kolonial, tinggalan purbakala di Hindia Belanda telah menjadi salah satu primadona yang menarik banyak orang. Beberapa di antaranya kemudian menjadi destinasi wisata yang dilabeli “eksotis”.
“Candi-candi terpendam dengan ikonografi Indianya memperkuat kepercayaan akan gagasan memesona bahwa pernah ada ‘koloni’ Arya Kuno,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya, Batas-Batas Pembaratan (2018, hlm. 62).
Namun, masifnya pariwisata kolonial juga membawa dampak buruk bagi candi-candi di Nusantara. Banyak benda-benda tinggalan purbakala di Hindia Belanda yang kemudian di bawa ke Eropa. Beberapa benda tersebut akhirnya kembali ke Indonesia, tapi banyak juga yang masih berada di berbagai negara.
Salah satu daerah yang menyimpan pesona purbakala di zaman itu adalah Padang Lawas, Sumatra. Di zaman Hindu-Buddha, daerah ini diperkirakan menjadi wilayah dari Kerajaan Panai yang bercorak Buddhis.
Catatan dari orang Eropa mengenai tinggalan candi di wilayah Padang Lawas yang paling awal diperkirakan datang dari penjelajah cum geolog Franz Junghuhn pada 1846.
Meski sudah diketahui eksistensinya sejak paruh awal abad ke-19, eksplorasi-eksplorasi ilmiah ke situs-situs purbakala di Padang Lawas baru semarak di awal abad berikutnya.
Pada 1926, Oudheidkundige Dienst (OD) mengirim P.H. van Coolwijk untuk melakukan pemeriksaan dan kajian awal terhadap candi-candi yang ada di Padang Lawas.
Beberapa tahun setelah upaya pertama itu—tepatnya pada Juni 1935, OD kembali mendukung usaha untuk memperhatikan kondisi candi-candi lain di Padang Lawas. Kini, upaya P.H. van Coolwijk dilanjutkan oleh arkeolog F.M. Schnitger.
“Untuk mengatasi terbatasnya data, Schnitger melakukan survei dan penggalian di beberapa titik lokasi. Hasilnya, dia banyak menemukan hal-hal menarik, mulai dari candi-candi lain, patung-patung, sisa-sisa guci perunggu, piring emas, dan wajra. Pada kesempatan ini, Schnitger juga melakukan penggalian dan pembersihan di sekitar Candi Sangkilon,” tulis Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie (20 Juli 1935).
Schnitger lalu menerbitkan hasil catatannya selama berada di Padang Lawas dalam dua buku, The Archaeology of Hindoo Sumatra yang terbit pada 1937 dan Forgotten Kingdoms in Sumatra yang terbit pada 1939.
Petualangan Schnitger
Di masa itu, perjalanan Schnitger menuju lokasi Candi Sangkilon tidaklah mudah dan memakan waktu lama. Salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah kondisi alam liar berupa derasnya aliran sungai dan dataran berlumpur di sekitarnya.
Schnitger jelas tak bisa melakukannya sendirian. Karenanya, dia membawa rombongan pekerja dan pemandu untuk sampai ke sana. Dan mengelola rombongan besar pun bukan perkara gampang.
“Tepat ketika rombongan kami hampir bertengkar, kami tiba-tiba melihat menara merah tinggi yang menonjol di antara dedaunan seperti kastil tua di tepi Sungai Rhine. Itu adalah pemandangan yang menakjubkan dan kami sangat senang dengan penemuan ini,” tulis Schnitger dalam Forgotten Kingdoms in Sumatra (1939, hlm. 89).
Kondisi Candi Sangkilon saat itu sudah tidak utuh. Beberapa bagian tembok yang mengelilingi candi telah runtuh, sementara beberapa bagian candi lainnya tertutup semak. Patung-patungnya pun yang sudah tidak utuh.
Schnitger dan rombongannya kemudian melakukan pembersihan area candi dan berhasil menemukan beberapa artefak. Salah satunya adalah prasasti yang terbuat dari emas.
Dari Candi Sangkilon, Schnitger kemudian beralih ke Candi Sipamutung yang lokasinya beberapa kilometer di sebelah utara.
“Candi Sipamutung terletak di antara pertemuan Sungai Barumun dan Sungai Pane (Batang Pane). Di sinilah (Candi Sipamutung), kuil utama Padang Lawas berdiri, salah satu candi besar yang ada di Sumatra,” tulis Deli Courant (13 Juli 1935).
Di halaman Candi Sipamutung, Schnitger menemukan beberapa arca. Menurut Edi Sedyawati dkk. dalam Candi Indonesia Seri Sumatera, Kalimantan, Bali, Sumbawa (2014, hlm. 43-44), Schnitger menemukan arca Mahakala dan Nacaiswara yang menjadi penjaga candi.
Selain itu, sang arkeolog juga menemukan dua arca buaya, dua arca singa, dan arca Buddha Amitabha. Berdasar pengamatan dan temuan-temuan itu, Dia menyimpulkan bahwa Candi Sangkilon bersama dengan Candi Sipamutung dan Bahal I merupakan situs paling penting di Padang Lawas.
Dari Sipamutung, Schnitger lantas mengunjungi Candi Si Joreng Belanga (Tandihat I). Di sekitaran candi ini, Schnitger menemukan satu prasasti yang menarik.
“Di sebelah utara candi induk, terdapat dua bukit kecil. Saat kami mulai menggali salah satunya, kami menemukan dua batu yang di salah satunya terdapat dua baris tulisan yang menyatakan tahun 1179 M,” tulis Schnitger (1939, hlm. 100).
Dari Si Joreng Belanga, Schnitger dan rombongan pergi ke Candi Bara. Selama perjalanan, rombongan ini lagi-lagi dihadang kondisi alam dan medan yang sulit. Karenanya, kunjungan mereka ke Bara tidak mendapatkan hasil yang maksimal.
Dari Bara, tujuan selanjutnya adalah Candi Pulo yang berada di dekat tepian Sungai Batang Pane. Sampai di sana rombongan segera membersihkan candi tersebut.
“Ketika sedang membersihkan struktur Candi Pulo, ditemukan beberapa relief seperti manusia yang berkepala banteng dan gajah,” tulis De Indische Courant (23 Juli 1935).
Pada September 1935, Schnitger kembali lagi ke Padang Lawas untuk mengeksplorasi Candi Bara. Menurutnya, Candi Bara merupakan kompleks percandian terluas yang ada di Padang Lawas.
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi