Menuju konten utama
Kepurbakalaan Padang Lawas

Tinggalan Kerajaan Panai & Upaya Pertama Menyingkap Eksistensinya

Candi-candi di daerah Padang Lawas diperkirakan sebagai tinggalan Kerajaan Panai. Mulai diteliti pada awal abad ke-20.

Tinggalan Kerajaan Panai & Upaya Pertama Menyingkap Eksistensinya
Candi Bahal. commons.wikimedia.org/Spiiiv

tirto.id - Indonesia memiliki banyak tinggalan candi yang berasal dari masa Hindu-Buddha. Rupanya beraneka. Seturut Ayatrohaedi, dkk dalam Kamus Istilah Arkeologi I (1981, hlm. 19-20), candi merujuk pada semua bangunan tinggalan masa Hindu-Buddha berupa pemandian kuno, gapura atau gerbang kuno, maupun bangunan suci keagamaan.

Di Jawa, kita dapat menemukan banyak candi, seperti Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Kidal, dan Candi Jawi. Di Bali, dapat ditemui Candi Gunung Kawi.

Sementara itu di Sumatra, terdapat kompleks Percandian Muara Takus, kompleks Percandian Muaro Jambi, kompleks Percandian Bahal, Candi Sipamutung, Sitopayan, dan Sangkilon. Empat candi yang disebutkan terakhir merupakan candi atau biaro yang tersebar di Kabupaten Padang Lawas dan Padang Lawas Utara, Sumatra Utara.

Tinggalan Kerajaan Panai

Candi-candi yang ada di Padang Lawas dibangun sekitar abad ke-12 hingga ke-14. Candi-candi itu erat kaitannya dengan Kerajaan Panai atau Pane.

Kendati demikian, lokasi pusat kerajaan Buddhis kuno itu masih menjadi perdebatan. Pasalnya, banyak daerah di Sumatra Utara dengan toponimi Panai.

“Misalnya di Kabupaten Labuhanbatu, yaitu Kecamatan Panai Tengah, Panai Hulu, dan Kecamatan Panai Hilir,” tulis Lisda Meyanti dalam “Prasasti Panai: Kajian Ulang Tentang Lokasi Kerajaan Panai” yang terbit dalam jurnal Amerta (Vol. 37, No. 1, Juni 2019, hlm. 33).

Eksistensi kesejarahan Panai terkonfirmasi dalam beberapa sumber sejarah. Di antaranya, Panai disebut dalam Prasasti Tanjore. Prasasti berbahasa Tamil dan berangka tahun 1030 Masehi itu dibuat oleh Rajendra Cola I yang berasal dari India bagian selatan.

“Salah satu baris pada prasasti menyebutkan penaklukan Sriwijaya dan wilayah lain salah satunya Panai dengan ‘kolam airnya’,” tulis Ambo Asse Ajis dalam “Tinjauan Kesejarahan Panai Berdasarkan Sumber Tertulis” yang terbit dalam jurnal Sangkhakala, (Vol. 21, No. 1, 2018).

Ajis juga mencatat penyebutan toponimi Panai dalam Nagarakrtagama alias Desawarnana. Kakawin karya Mpu Prapanca itu menyebut Pane (Panai) termasuk wilayah yang ditafsirkan memberi upeti kepada Majapahit.

Lain itu, penyebutan Panai (P’anes) juga terdapat dalam catatan perjalanan berbahasa Armenia, berjudul Nama Kota-Kota India dan Kawasan Pinggiran Persia.

Catatan Awal Keberadaan Candi di Padang Lawas

Sejak era Kolonial, daerah Padang Lawas merupakan salah satu daerah di Sumatra yang disebut kaya temuan purbakala. Catatan dari orang Eropa mengenai tinggalan candi di wilayah Padang Lawas yang paling awal diperkirakan datang dari penjelajah cum geolog Franz Junghuhn pada 1846.

“Bagi Junghun adalah sebuah kehormatan menjadi orang pertama yang memberikan informasi awal mengenai adanya tinggalan Hindu di wilayah ini (1846),” tulis F.M. Schnitger dalam bukunya The Archaeology of Hindoo Sumatra (1937, hlm. 16).

Seorang penjelajah Belanda lain bernama H. von Rosenberg kemudian mengikuti jejak Junghun mendatangi tinggalan zaman Hindu-Buddha di Padang Lawas. Dia bahkan membawa beberapa benda dari sebuah situs ke museum di Batavia.

Beberapa pejabat kolonial pun sempat pula menilik candi-candi di Padang Lawas. Ada Kontrolir E.P. van Kerchoff yang mengunjungi lima situs candi di Padang Lawas pada 1889. Seturut pemberitaan Sumatra Courant (12 Maret 1889), candi yang dikunjunginya diduga kuat adalah Candi Sangkilon dan Candi Sipamutung. Kunjungan berikutnya dilakukan oleh Residen Tapanuli pada 1901 dan 1902.

Infografik Penelitian Candi di Padang Lawas

Infografik Penelitian Candi di Padang Lawas. tirto.id/Ecun

Diteliti Lebih Lanjut

Selanjutnya, situs-situs purbakala di Padang Lawas mulai diteliti lebih lanjut. Pada 1920, arkeolog Dr. P.V. van Stein Callenfels mengunjungi Padang Lawas. Callenfels melakukan kajian mengenai pentingnya candi-candi tersebut bagi ilmu pengetahuan. Namun sayang, kajian tersebut harus terhenti karena masalah dana.

Pemerintah kolonial kemudian juga mulai menaruh perhatian lebih terhadap kelestarian candi-candi yang ada di Padang Lawas. Itu dilakukan melalui Oudheidkundige Dienst (OD) atau Dinas Purbakala.

Pada 1926, OD mengirim P.H. van Coolwijk untuk melakukan pemeriksaan dan kajian awal terhadap candi-candi yang ada di Padang Lawas.

“Setelah melakukan pemeriksaan terhadap bangunan-bangunan candi, van Coolwijk kemudian menemukan beberapa patung yang terbuat dari batu dan perunggu di Candi Bahal,” tulis koran De Sumatra Post (5 Agustus 1926).

De Sumatra Post juga menyatakan bahwa arca-arca yang ditemukan tersebut menunjukkan corak Buddhis. Karenanya, bisa disimpulkan bahwa candi-candi di Padang Lawas dibangun oleh masyarakat yang beragama Buddha.

Pendapat ini kemudian juga diperkuat dan diperjelas oleh arkeolog Satyawati Suleiman.

“Beberapa pertulisan dan beberapa arca membuktikan bahwa agama yang dianut di Padang Lawas adalah Wajrayana, yaitu suatu aliran di agama Buddha yang mempunyai sifat-sifat keraksasaan,” tulis Satyawati yang disebut-sebut sebagai arkeolog perempuan pertama Indonesia dalam “Peninggalan-Peninggalan Purbakala di Padang Lawas” yang dimuat jurnal Amerta (Vol. 2, 1985, hlm. 26).

Usaha yang dilakukan oleh OD dianggap berhasil memulihkan beberapa candi yang ada di Padang Lawas. Namun, OD dan P.H. van Coolwijk juga mendapati kesulitan dalam upaya pertama ini, yaitu sedikitnya data dan gambar atau foto yang tersedia.

“Dari beberapa bangunan candi yang ada, hanya sedikit data yang tersedia bahkan rekaman berbentuk foto tidak ditemukan,” seperti yang ditulis oleh koran Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie (20 Juli 1935).

Upaya van Coolwijk kemudian membuka kemungkinan untuk mengeksplorasi situs-situs di Padang Lawas lebih lanjut. Dan benar, eksplorasi selanjutnya memang terjadi. Namun, bukan van Coolwijk yang memimpin, melainkan arkeolog lain bernama F.M. Schnitger.

Baca juga artikel terkait CANDI atau tulisan lainnya dari Omar Mohtar

tirto.id - Sosial budaya
Kontributor: Omar Mohtar
Penulis: Omar Mohtar
Editor: Fadrik Aziz Firdausi