tirto.id - TikTok Indonesia mengaku menerima banyak keluhan dari penjual lokal imbas akan ada regulasi yang memisahkan social commerce dengan e-commerce.
Aturan tersebut berupa revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
"Sejak diumumkan hari ini, kami menerima banyak keluhan dari penjual lokal yang meminta kejelasan terhadap peraturan yang baru," ucap TikTok Indonesia melalui juru bicara dalam keterangan persnya, Selasa (26/9/2023).
TikTok Indonesia menilai social commerce seperti TikTok Shop lahir sebagai solusi bagi masalah nyata yang dihadapi UMKM. Selain itu, social commerce bertujuan membantu pelaku UMKM berkolaborasi dengan kreator lokal dalam meningkatkan kunjugan di toko online mereka.
Meski begitu, TikTok Indonesia tetap menghormati hukum dan regulasi yang berlaku di Indonesia. Namun, TikTok tetap berharap pemerintah mempertimbangkan keberadaan TikTok Shop yang diklaim menghidupi jutaan pengusaha lokal dan kreator lokal.
"Kami akan tetap menghormati hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia, namun kami juga berharap pemerintah mempertimbangkan dampak terhadap penghidupan 6 juta penjual lokal dan hampir 7 juta kreator affiliate yang menggunakan TikTok Shop," ucap TikTok Indonesia.
Pemerintah akan memisahkan social commerce menjadi e-commerce dan media sosial. Untuk mendukung hal itu, Kementerian Perdagangan segera merevisi Permendag Nomor 50 tahun 2020 tentang Ketentuan Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan, dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan melalui Sistem Elektronik sebagai penegakan atau dasar hukum perbedaan e-commerce dan media sosial.
"Sudah diputuskan (revisi Permendag) hari ini nanti sore sudah saya tandatangani revisi Permendag 50 tahun 2020 menjadi Permendag berapa nanti tahun 2023," kata Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (25/9/2023).
Zulkifli Hasan (Zulhas) mengatakan, pemerintah sepakat bahwa social commerce tidak bisa menyediakan pembayaran secara langsung. Ia menekankan social commerce hanya bisa menjalankan iklan dan tidak bisa menerima uang.
"Social commerce itu hanya boleh memfasilitas promosi barang atau jasa. Tidak boleh transaksi langsung, bayar langsung enggak boleh lagi. Dia hanya boleh untuk promosi," sambungnya.
Kedua, pemisahan dilakukan demi mencegah penyalahgunaan data pribadi.
"Jadi dia harus dipisah sehingga algoritmanya itu tidak semua dikuasai dan ini mencegah penggunaan data pribadi untuk kepentingan bisnis," kata Zulhas.
Ketiga, pemerintah mengubah daftar barang impor yang digunakan sebagai acuan masuk ke dalam negeri. Dulu, pemerintah menggunakan daftar barang yang dilarang diimpor.
Kini, pemerintah membuat daftar barang yang boleh diimpor harus sesuai syarat. Ia mencontohkan makanan harus memiliki sertifikat halal atau kecantikan harus memiliki izin pengawasan obat dan makanan.
"Kemudian kalau dia elektronik harus ada standarnya, bahwa ini betul barangnya. Jadi perlakuan sama dengan yang ada di dalam negeri atau offline," kata Zulhas.
Ketiga, pengguna social commerce tidak boleh sebagai produsen. Dengan ketentuan barang impor satu transaksi minimal 100 dolar AS.
"Kalau ada yang melanggar seminggu ini tentu ada surat saya ke Kominfo untuk memperingatkan habis diperingatkan apalagi itu? Tutup," tutur Zulhas.
Penulis: Hanif Reyhan Ghifari
Editor: Bayu Septianto