tirto.id - Teuku Sarong, itu nama lahirnya, putra asli tanah rencong. Lahir di Pidie tanggal 4 April 1906, dari keluarga terpandang di Aceh. Ayahnya, Teuku Bintara Pineung Ibrahim, adalah seorang Ulee Balang, jabatan lokal untuk menyebut kaum bangsawan yang punya kedudukan sebagai pemimpin suatu daerah di Serambi Mekah.
Sarong ternyata tumbuh dalam bayang-bayang kecemasan. Ia sering sakit-sakitan, tubuhnya pun kurus kering, tentunya bukan lantaran kurang makan. Seorang pandai menyarankan agar nama Sarong diganti saja (Irma Widyani Roring, Perjalanan yang Memberi Mahkota, 2000: 1). Orangtuanya setuju, dan diberilah nama baru: Teuku Muhammad Hasan.
Entah kebetulan atau bukan, nama baru itu memang seolah menjadi hoki baginya. Kelak, Hasan menjelma sebagai salah satu putra Aceh yang paling membanggakan, seorang tokoh bangsa yang punya banyak kebisaan. Dan, ternyata ia berumur panjang, usia hidupnya bahkan melintas-batas periodesasi sejarah peradaban negara ini hingga menjelang reformasi.
Berjuang dari Negeri Penjajah
Sejak remaja, Hasan memang sudah tertarik pada ilmu hukum. Maka itu, setelah tamat sekolah rakyat, lanjut ke sekolah menengah Europeesche Lagere School (ELS), kemudian Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia, ia dengan mantap mendaftarkan diri ke Sekolah Tinggi Hukum atau Rechtschoogeschool.
Lulus dari Rechtschoogeschool, minat Hasan untuk menempuh studi yang lebih tinggi lagi semakin kuat, ia ingin melanjutkan sekolah di Belanda. Beruntung, ia lulus tes dan diterima di Rijks Universiteit Leiden. Pada 1931 atau ketika usianya 25 tahun, Hasan resmi menjadi mahasiswa Fakultas Hukum (Indish Recht) di perguruan tinggi terkemuka di negeri penjajah itu.
Hasan punya alasan kuat memilih jurusan hukum. Tak sekadar untuk kepentingannya sendiri, jauh melebihi itu, ia mulai merancang impian mulia. Kalau menjadi mahasiswa jurusan sastra, paling-paling menghasilkan syair atau puisi. Namun, jika masuk jurusan hukum, sasarannya adalah Indonesia Merdeka (Hasyim & Loem, Aceh Daerah Modal, 2009:134).
Selama menuntut ilmu di Leiden, Hasan tak pernah sekalipun melupakan cita-citanya. Ia turut aktif di Perhimpunan Indonesia (PI), organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda (Muhammad Ibrahim, Mr. Teoekoe Moehammad Hasan: Karya dan Pengabdiannya, 1983). PI dimotori oleh Mohammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, Nasir Datuk Pamuntjak, dan tokoh-tokoh pergerakan lainnya.
Mencerdaskan Kehidupan Aceh
Kurang dari tiga tahun Hasan mampu merampungkan pendidikannya di Belanda. Tahun 1933, ia telah mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Master of Laws) dari Universitas Leiden, dan segera kembali ke tanah air dengan menumpang kapal laut, langsung menuju tanah kelahirannya, Aceh.
Baru saja merapat di pelabuhan Ulee Lheue, Hasan langsung berurusan dengan aparat kolonial. Buku-bukunya yang dibawa dari Leiden dianggap berbahaya bagi pemerintah Hindia Belanda dan harus disita. Beruntung, Hasan tidak ditahan meskipun ia sangat terpukul dengan kejadian tersebut (Akmal Nasery Basral, Presiden Prawiranegara, 2011: 106).
Cukup lama Hasan bersedih karena insiden di pelabuhan itu. Namun, ia sadar tak boleh berlama-lama terpuruk. Hasan kemudian bergabung dengan Muhammadiyah. Dari Aceh, ia menjadi salah satu motor penggerak organisasi bentukan KH Ahmad Dahlan yang didirikan di Yogyakarta itu.
Andil Hasan untuk perkembangan Muhammadiyah di Serambi Mekah sangat besar. Ia turut mempelopori berdirinya banyak cabang Muhammadiyah di 8 wilayah di Aceh, juga berbagai jenis jejaring perhimpunan ini, dari Aisyiyah bagi kaum perempuan, Hizbul Wathan untuk anak-anak muda, hingga lembaga pendidikan atau sekolah.
Hasan rupanya ingin memajukan rakyat Aceh lewat pendidikan selain melalui Muhammadiyah. Maka itu, ia juga ikut menggerakkan Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh) untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas dari keluarga yang kurang mampu (Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, 1980:356).
Selain itu, Hasan juga turut berperan dalam Perkumpulan Usaha Sama Akan Kemajuan Anak (PUSAKA). Salah satu sumbangsih organisasi ini adalah mendirikan sekolah dasar berkualitas untuk anak-anak Aceh (Rusdi Sufi, Aceh Tanah Rencong, 2008: 39).
Pada 11 Juli 1937, Hasan ia membuka Perguruan Taman Siswa di Kutaraja. Sebelumnya, ia menjalin relasi dengan pendiri Taman Siswa, Ki Hajar Dewantara, yang segera mengirimkan 3 orang utusan sekaligus guru ke Aceh untuk memperluas jangkauan lembaga pengajaran independen yang berpusat di Yogyakarta ini.
Dari Gubernur hingga Menteri
Menjelang kemerdekaan Indonesia, peran Hasan semakin meluas. Tak hanya di Aceh, kali ini ia turun gelanggang ke pentas nasional. Hasan menjadi salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Sukarno.
Sebagai anggota PPKI, Hasan turut berperan dalam memutuskan berbagai persoalan yang sedang dihadapi oleh Indonesia di awal-awal masa kemerdekaan itu (Sri Indra Gayatri, Sejarah Pemikiran Indonesia, 2007: 436). Hasan juga termasuk tokoh yang ikut merumuskan Pembukaan UUD 1945.
Tanggal 22 Agustus 1945, Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia menunjuk Hasan untuk menjabat sebagai Gubernur Sumatra. Saat itu Sumatera memang belum terbagi menjadi beberapa provinsi atau wilayah. Dan Hasan dipercaya untuk menjadi pemimpin administrasi di pulau terbesar keenam di dunia itu hingga 1948.
Saat republik terguncang lantaran aksi Agresi Militer Belanda II pada akhir 1948 dan ditahannya para pemimpin negara seperti Sukarno, Hatta, serta Sutan Sjahrir, Hasan beserta para tokoh nasional lainnya yang berada di Sumatera, termasuk Syafruddin Prawiranegara, bergerak cepat untuk menyelamatkan pemerintahan dari kekosongan.
Dari Bukittinggi, Sumatra Barat, dibentuklah Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai pembuktian kepada dunia internasional bahwa Indonesia masih berdiri. Hasan menjabat sebagai Wakil Ketua PDRI sekaligus Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, serta Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan.
Usia Lama Sang Bapak Bangsa
Setelah penyerahan kedaulatan secara resmi dari Belanda kepada Indonesia tahun 1950, Hasan tidak terlalu terlibat di dalam kabinet. Ia memilih berkiprah di parlemen dan menjadi Ketua Komisi Perdagangan dan Industri di Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS).
Hasan berperan besar dalam mempelopori upaya nasionalisasi usaha-usaha pertambangan di tanah air. Ia menjadi Ketua Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) pada Maret 1956 dan sukses menasionalisasi sejumlah perusahaan minyak asing yang nantinya menjadi cikal-bakal Pertamina.
Selama era Orde Baru, Hasan terkesan menjauh dari hingar-bingar politik. Ia memutuskan kembali ke dunia pendidikan yang sudah cukup lama ditinggalkannya dengan merintis pendirian Universitas Serambi Mekah di Banda Aceh pada 21 Maret 1984.
Dan, si kecil Sarong yang dulu sakit-sakitan itu ternyata dianugerahi umur panjang. Setelah melalui masa kolonial Belanda dan Jepang, era kemerdekaan, Orde Lama, hingga Orde Baru, Teuku Muhammad Hasan wafat di Jakarta pada 21 September 1997, tepat hari ini 22 tahun lalu..
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 5 April 2017. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti & Ivan Aulia Ahsan