tirto.id - Indonesia masih terbilang negara muda kala Benedict Richard O’Gorman Anderson pertama kali mengunjunginya pada awal 1960-an. Indonesia belum begitu lama terbebas dari apa yang disebut Sukarno sebagai imperialisme kuno bangsa Eropa. Meski sudah merdeka, orang-orang Indonesia masih terperangkap dalam inferioritas. Di era itu, sebagian orang Indonesia masih jamak menganggap orang kulit putih lebih unggul—paling tidak secara fisik.
Ben Anderson sempat mengalami pengalaman itu. Kala baru tiba, dia mendapat sambutan dan penghormatan yang menurut sisi warasnya sangat berlebihan. Agaknya hal itu adalah warisan dari kolonialisme Belanda yang rasis, pikirnya. Orang-orang kerap memanggilnya dengan embel-embel “tuan” dan itu membuatnya risih.
“… Saya merasa terlalu sering panggil dengan sebutan Tuan, sebagaimana kolonialis-kolonialis Belanda minta dipanggil, dan beberapa orang terkesan menunduk-nunduk hormat pada mahasiswa asing tak penting ini semata-mata karena warna kulit saya,” aku Ben Anderson dalam autobiografinya Hidup Di Luar Tempurung (2016, hlm. 76).
Orang Indonesia melihat Ben sebagai orang kulit putih, sementara Ben merasa warna kulitnya seperti hewan-hewan albino. Orang Indonesia umumnya menyebut hewan berkulit albino itu dengan istilah “bulai” atau “bule”. Karena merasa serupa, Ben minta disebut bule dan bukan putih.
"Mereka suka ide ini dan menyebarkannya di kalangan mahasiswa yang mereka kenal. Perlahan-lahan sebutan itu menyebar sampai ke koran-koran dan majalah dan menjadi bagian dari bahasa Indonesia sehari-hari," tulis Ben (hlm. 76).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bule berarti “orang (binatang dan sebagainya) berkulit putih” atau “orang kulit putih (terutama orang Eropa dan Amerika); orang Barat”. Sementara bulai diartikan “putih seluruh tubuh dan rambutnya karena kekurangan pigmen”. Jadi, secara teknis tidak ada yang salah dengan pendapat Ben itu.
Lalu, satu dekade kemudian, ada peneliti sejarah asal Australia yang justru merasa kesal karena dipanggil bule. Sebutan bule itu kemudian memang berkembang dan terdengar agak menghina. Tapi, Ben lantas menasihati koleganya itu agar tak berkecil hati.
“Jadi saya minta dia berkaca dan melihat kulitnya sendiri, dan tanyakan apa benar dia ingin dipanggil Tuan. Saya juga memberi tahunya bahwa sayalah yang mempopulerkan makna baru istilah itu pada 1962 atau 1963,” aku Ben Anderson.
Si peneliti kawan Ben itu tak percaya. Maka Ben memberinya tantangan, “Berani taruhan $100 kau takkan bisa mendapati kata bule, dalam arti 'orang kulit putih' dalam dokumen apapun sebelum 1963.”
Tantangan Ben itu akhirnya terpecahkan sekira 2016. Adalah Indonesianis generasi baru Tom Pepinsky yang menelusurinya. Dia kemudian menuliskan temuannya itu di blognya.
Pepinsky menunjukkan kutipan dari buku berjudul Taman Siswa: Ialah Kepertjajaan kepada Kekuatan Sendiri untuk Tumbu. Buku itu diterbitkan pada 1952 oleh Balai Buku Indonesia. Di halaman 17 buku itu terdapat kalimat:
“Bagi rakjat biasa didjalan, jang diantaranja ada beberapa orang pemuda, melihat sadja ‘wong bule’ (orang putih) dengan heran mengedjek, revolusi itu tampak telah lewat sebagai angin sepoi-sepoi basa jang masih sedikit mengubah hidup ekonomis-sosial mereka.”
Kalimat itu jelas memertelakan bahwa kata bule telah cukup dikenal sejak sebelum Ben datang ke Indonesia. Dan yang terpenting, ia persis merujuk pada orang kulit putih.
“Catatan kaki yang menarik dari temuan ini adalah konteks kutipannya. Ia menggambarkan sentimen kaum muda pada masa Revolusi Nasional Indonesia, yaitu bagaimana ‘wong bule’ bingung dan resah dengan gejolak sosial saat itu,” tulis Pepinsky.
Seandainya Ben masih hidup, Pepinsky jelas layak dapat $100 darinya. Sayang saja Ben Anderson wafat lebih dulu pada 2015.
Asal-usul “Bule”
Istilah bule pernah pula disebut Jan Laurens Andries Brandes (1857-1905) dalam bukunya Pararaton (Ken Arok), of het Boek der Koningen vanTumapël en van Majapahit. Buku yang mengkaji naskah Pararaton itu pertama kali terbit pada 1897 dan dicetak ulang pada 1920. Dalam buku berbahasa Belanda itu (1920, hlm. 221), Brandes mencatat keterangan tentang seorang bule yang berhubungan badan dengan Raja Brawijaya. Namun, Brandes tidak menjelaskan lebih lanjut konteks atau arti kata bule itu.
Peneliti lain yang juga mempelajari Pararaton adalah Slamet Muljana. Dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara (2005, hlm. 51), Muljana mencatat bahwa Raja Brawijaya pernah kena penyakit raja singa. Dia disebut mengobati penyakitnya itu dengan meniduri seorang “bule” perempuan.
Itu adalah semacam cara raja “membuang sial”. Setelah berhubungan, perempuan bule itu dikawinkan dengan seorang juru sawah.
Yang dimaksud bule dalam naskah Pararaton itu jelaslah bukan orang Eropa. Pasalnya, di era itu, belum ada pelaut Eropa yang mencapai Kepulauan Nusantara. Kemungkinan besar bule dalam konteks zaman itu adalah orang Asia Timur yang warna kulitnya cenderung lebih terang dibanding orang Jawa.
Selain “wong bule”, masyarakat Jawa era Mataram Islam mengenal pula “kebo bule”. Istilah ini merujuk pada kerbau putih albino yang dikeramatkan oleh keraton. Kebo bule itu kerap jadi bagian penting dalam perayaan malam 1 Suro.
Seiring waktu, sebutan kebo bule itu juga dianggap manifestasi dari kolonialis Belanda. Hal itu tak terlepas dari ramalan yang disebut dalam cerita Sabda Palon Noyo Genggong atau naskah Jangka Jayabaya. Letnan Jenderal Djatikusumo, seorang pangeran dari Keraton Surakarta, adalah salah satu tokoh yang “percaya” akan ramalan itu.
“Yang bisa mengusir kerbau bule adalah orang-orang cebol kepalang dari utara, yang membawa tongkat tebu wulung. Mereka berada di sini hanya seumur jagung,” kata Djatikusumo sebagaimana dikutip majalah Tempo (18/07/1992).
Kebo bule yang dimaksud Djatikusumo itu tak lain adalah orang Belanda, sementara para cebol dari utara itu merujuk pada serdadu fasis Jepang. Di era itu, kebo bule atau bule barangkali dirasa cocok untuk merendahkan kaum kolonialis Belanda. Ben Anderson yang antikolonialisme pun senang orang kulit putih disebut bule. Setidaknya itu akan membuat orang kulit putih ingat pada dosa kolonialisme di masa lalu.
Istilah bule memang tetap dipakai hingga hari ini untuk menyebut orang kulit putih. Namun, menurut Pepinsky, ia telah kehilangan unsur penghinaannya karena proses apropriasi.
Editor: Fadrik Aziz Firdausi