Menuju konten utama

Tangkiwood, Hollywood Ala Indonesia

Jika Amerika punya pusat industri film Hollywood, Indonesia di masa lalu punya Tangkiwood. Pada saat dunia perfilman di tanah air makin menanjak di tahun 1950-an, nama Kampung Tangki ikut melambung. Sayang, munculnya televisi membuat Tangkiwood hancur.

Tangkiwood, Hollywood Ala Indonesia
Laila Sari salah satu artis yang tinggal di Tangkiwood, Jakarta. [tirto/andrey gromico]

tirto.id - Artis tak bisa lepas dari kehidupan yang glamor dan mewah. Itu sejak dulu. Tapi tentu tidak abadi. Seperti roda kehidupan, kadang di atas kadang pula di bawah. Ada masa keglamoran dan kemewahan itu sirna.

Sebuah kampung di Jakarta Barat, yang bernama Tangki menjadi saksi masa keglamoran dan kemewahan artis Indonesia tempoe doeloe hancur. Semula, kampung Tangki menjadi pusatnya kehidupan wah para artis pada era 1940-an. Kampung Tangki pun kemudian disebut Tangkiwood karena nyaris menyerupai kemewahan dan keglamoran Hollywood.

Adalah Tan Hin Hie, saudagar Tiongkok yang berperan besar terhadap berdirinya Tangkiwood. Pada tahun 1913, raja ikan asin yang menguasai pasar Asia Tenggara ini datang ke Batavia. Di kota bandar ini, dia mendirikan Prinsen Park, sebuah pusat hiburan yang lengkap. Di sana ada panggung Toneel Melajoe, bioskop, rumah produksi film, serta galeri musik.

Prinsen Park berdiri di pusat pemerintahan Hindia Belanda. Tidak membutuhkan waktu lama bagi Prinsen Park untuk menjadi barometer kancah hiburan. Siapa saja yang mau eksis atau cepat melambung namanya sebagai aktor, aktris, bahkan musisi atau penyanyi, wajib datang ke sini.

Prinsen Park juga menjadi saksi bisu film cerita pertama berjudul “Loetoeng Kasaroeng”, sebuah film ambisius L Heuvevldrop dan G Kruger yang disokong Bupati Bandung Wiranatakusumah. Sejak itu, Prinsen Park makin dipenuhi hingar-bingar para artis.

Keramaian Prinsen Park, berdampak pada kampung-kampung di sekitarnya. Salah satunya kampung Tangki yang menjadi cikal bakal Tangkiwood.

Ada dua versi riwayat yang menuturkan kisah pendirian Tangkiwood. Versi pertama mengatakan kalau pemukiman artis ini didirikan Tan Hin Hie sebagai wilayah satelit Prinsen Park. Versi kedua menyebutkan, Tangkiwood didirikan keluarga Idris Sardi.

Namun keduanya, memiliki benang merah yang sama, yakni memudahkan mobilisasi para artis di sana. Sebab, seringkali order main film melayang sia-sia lantaran para bintangnya tinggal jauh dari Prinsen Park. Maklum, saat itu belum ada ponsel yang memudahkan komunikasi.

Santunan Bang Ali Sadikin

Pada saat dunia perfilman di Tanah Air makin menanjak di tahun 1950-an, nama Kampung Tangki ikut melambung. Sebabnya sudah jelas. Di sana, tempat bermukimnya para pelakon. Dari catatan yang ada, film “Si Pitung” yang melegenda, juga melibatkan banyak penghuni Kampung Tangki. Bukan cuma artis yang bermukim di sana, warga biasa pun mendapat peran sebagai figuran.

Meroketnya nama kampung Tangki tak bisa dibendung. Selama kurun 1950 hingga 1960-an, ketika produksi film Indonesia terus meningkat, menjadikan pemukiman tersebut turut pula terekspose.

Menyikapi ketenaran Kampung Tangki, dalam satu pernyataannya, almarhum Bing Slamet melontarkan candaan, “Kalau Amerika punya Hollywood, kita punya Tangkiwood.” Dari situlah, nama Kampung Tangki secara spontan berubah menjadi Tangkiwood.

Candaan Bing bukan tanpa niat. Dia memimpikan Tangkiwood juga jadi tersohor layaknya Hollywood. Tidak hanya itu, Tangkiwood sekaligus menjadi harapan agar kualitas serta kuantitas film Indonesia mampu menyaingi kedigdayaan Hollywood di Amerika Serikat.

Sejumlah nama besar pun tercatat bermukim di Tangkiwood saat itu. Mereka antara lain, Wolly Sutinah atau Mak Uwok, Pak Item, Ibu Supi, Fifi Young, Laelasari, M Bissu, Haji Misbach Jusa Biran, Netty Herawati, Bing Slamet, Ateng, Iskak, Edi Sud, Aminah Cenderakasih, serta Idris Sardi yang dilahirkan di sana.

Cita-cita Bing Slamet mendapat respons positif dari pemerintah Ibu Kota yang juga menginginkan Tangkiwood jadi pusat perfilman tanah air. Sayang, akhirnya, cuma jadi kembang tidur. Menjelang tahun 1970, di saat produksi film mencapai puncaknya pada dekade itu, ketenaran Tangkiwood justru meredup.

Nama Tangkiwood terus meredup hingga awal 1980-an. Penyebabnya, teknologi televisi yang baru muncul dan booming. Para aktris dan aktor yang mulai kepepet, akhirnya memilih eksodus dari Tangkiwood demi mencari peruntungan di rumah produksi film lain di luar Prinsen Park.

Memasuki tahun 1985, Prinsen Park akhirnya benar-benar ditinggalkan. Begitu juga dengan Tangkiwood. Pada awal tahun 1990-an, ketika rumah produksi film sudah menyebar ke mana-mana, Prinsen Park berubah menjadi kawasan hiburan malam yang dilengkapi diskotek, karaoke, hotel dan lain sebagainya. Sementara Tangkiwood, makin tak terurus karena ditinggal penghuninya.

Sebenarnya, demi menahan laju eksodus para pelaku seni, Gubernur Ali Sadikin sempat mengambil langkah dengan merenovasi beberapa rumah milik artis serta figuran yang namanya mulai meredup. Tiap tahun, Bang Ali juga sering datang untuk memberi santunan kepada mereka. Sayang, upaya tersebut tak manjur. Sampai akhirnya tak ada satu pun artis yang mau bermukim di sana. Tangkiwood pun berubah menjadi kampung mati, nyaris tak berpenghuni.

Nasib Tangkiwood kini makin memprihatinkan. Kampung yang pernah menjadi kawasan elite itu berubah menjadi kumuh yang sumpek dan padat. Di sudut-sudutnya, berdiri rumah semi permanen yang terkesan asal bangun. Nama besar Tangkiwood pun cuma tinggal kenangan. Bahkan Tangkiwood kini masuk dafar calon gusur Pemprov DKI Jakarta.

Demi mengenang masa kejayaannya, beberapa artis masa kini mendirikan wahana berupa food court, fashion dan sarana hiburan lainnya di salah satu pusat perbelanjaan di Bekasi, Jawa Barat, dengan nama Tangkiwood.

Tangkiwood menjadi saksi sekaligus bukti, bahwa kemewahan dan keglamoran hidup para artis adalah fana.

Baca juga artikel terkait ARTIS atau tulisan lainnya dari Mahbub Junaidi

tirto.id - Gaya hidup
Reporter: Mahbub Junaidi
Penulis: Mahbub Junaidi
Editor: Mawa Kresna