tirto.id - Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mencatat, nilai tukar Rupiah terhadap dolar AS melemah 4,55 persen secara year to date (ytd) per 28 Juli 2022. Tekanan terhadap nilai tukar, menurutnya tidak terjadi di Indonesia saja, namun di seluruh mata uang negara-negara seluruh dunia.
"Tekanan terhadap nilai tukar Rupiah yang meningkat juga dialami oleh seluruh mata uang negara-negara di seluruh dunia. Ini terjadi di tengah ketidakpastian pasar keuangan global yang memang masih tinggi," ujarnya dalam konferensi pers Hasil Rapat Berkala III KSSK 2022, Senin (1/8/2022).
Meskipun demikian, pelemahan mata uang Garuda diklaim lebih baik apabila dibandingkan dengan pelemahan atau depresiasi berbagai mata uang di kawasan Asia. Seperti Malaysia, Ringgit mengalami pelemahan 66,4 persen.
"India juga mengalami 6,80 persen dan Thailand yang mengalami pelemahan atau depresiasi hingga mencapai 9,24 persen," ujarnya.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo juga mengklaim nilai tukar Rupiah relatif baik dibandingkan dengan sejumlah negara lainnya. Meskipun mata uang Garuda sampai 20 Juli 202 terdepresiasi 4,90 persen secara year to date (ytd) dibandingkan level pada akhir 2021.
"Nilai tukar Rupiah sampai dengan 20 Juli 2022 terdepresiasi 4,90 persen (ytd) relatif lebih baik dibandingkan dengan depresiasi mata uang sejumlah negara berkembang lainnya," ujar Perry dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (21/7/2022).
Perry menuturkan mata uang sejumlah negara berkembang lainnya seperti Malaysia saat ini sudah terdepresiasi 6,41 persen. Kemudian India 7,07 persen dan Thailand 8,88 persen.
Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati perkembangan pasokan valas dan memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar Rupiah. Hal ini sesuai dengan bekerjanya mekanisme pasar dan nilai fundamentalnya untuk mendukung upaya pengendalian inflasi dan stabilitas makroekonomi.
Sementara, secara bulan ke bulan nilai tukar Rupiah juga terdepresiasi 0,60 persen per 20 Juli 2022 dibandingkan akhir Juni 2022 dengan volatilitas cukup masih terjaga. Depresiasi tersebut sejalan dengan masih tingginya ketidakpastian pasar keuangan global akibat pengetatan kebijakan moneter yang lebih agresif di berbagai negara.
"Kondisi itu untuk merespons peningkatan tekanan inflasi dan kekhawatiran perlambatan ekonomi global, di tengah persepsi terhadap prospek perekonomian Indonesia yang tetap positif," tandasnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Anggun P Situmorang