Menuju konten utama

Tak Ada Lagi TNI di DPR, tapi Anggota Dewan Berlagak seperti Mereka

Tentara sudah diusir dari parlemen sebagai hasil dari agenda Reformasi. Tapi anggota dewan malah berlagak seperti tentara baru-baru ini.

Tak Ada Lagi TNI di DPR, tapi Anggota Dewan Berlagak seperti Mereka
Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Andika Perkasa (kiri) melakukan salam komado dengan Ketua Komisi I DPR Meutya Hafid (kanan) sebelum mengikuti uji kelayakan dan kepatutan calon Panglima TNI di Komisi I DPR, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Sabtu (6/11/2021). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/wsj.

tirto.id - Sebelum mengikuti uji kelayakan dan kepatutan Sabtu 6 November lalu, Kepala Staf TNI Angkatan Darat (Kasad) Jenderal Andika Perkasa sudah diprediksi tidak akan gagal mendapat posisi Panglima TNI. Benar saja, Komisi I DPR yang jadi penguji bukan memberi kesulitan tapi malah seperti bantuan. Hal ini tampak ketika mereka memakai baju hijau khas militer.

Ketua Komisi I Meutya Hafid mengatakan baju tersebut mereka pakai karena “senada dengan giat hari ini, fit and proper test panglima” dan “supaya tambah semangat.” Menurutnya pakaian itu hanya saja disarankan, “eh ternyata hampir semua pakai.”

Setelah foto-foto tersebut ramai para anggota dewan dihujani kritik di Twitter. Dia lantas membalas bahwa kritik “ketentara-tentaraan” adalah “labelling malam Minggu yang geli.” Cuitan tersebut dibalas lagi warganet. Ada yang misalnya mengatakan bahwa itu keliru karena tak mencerminkan supremasi sipil.

Kekhawatiran Komisi I DPR akan tidak kritis sebenarnya telah disampaikan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, dua hari sebelumnya. Dia mengatakan bahwa DPR harusnya melakukan pengujian dengan sungguh-sungguh dan tidak hanya menjadi “tukang stempel” yang hanya tahu nyanyian lagu setuju.

Andika akhirnya memang dinyatakan lulus dalam ujian yang tidak sampai enam jam.

Ada beberapa catatan dari kelompok sipil terhadap rekam jejak Andika maupun relasi keluarganya. Pertama, soal harta kekayaan yang sangat tinggi, senilai Rp 179,9 miliar. Kedua, dugaan keterlibatan menutupi kejahatan TNI.

Sekitar Februari-Maret 1998, Ketua Dewan Presidium Papua Theys Hiyo Eluay dibunuh TNI dari Grup 3/Sandi Yudha, Kopassus. Agus Zinof, ayah dari salah seorang tersangka, Kapten Rionardo, mengaku pernah didatangi Andika yang juga menantu A.M. Hendropriyono dan diminta agar anaknya mengaku bersalah. Hendropriyono sendiri adalah orang yang terlibat dalam pembantaian Talangsari pada 1989–peristiwa yang termasuk dalam kejahatan HAM yang belum tuntas.

Komisi I tidak menganggap itu cukup penting untuk menghalangi Andika jadi Panglima TNI. Mereka justru memutuskan memakai baju warna hijau seakan bagian dari Andika yang merupakan tentara, bukan sipil.

Lupa Jati Diri

Peristiwa uji kelayakan dan kepatutan Andika kemarin membawa ingatan kembali pada dwifungsi ABRI.

Dwifungsi adalah konsep yang digagas Jenderal Besar Abdul Haris Nasution. Konsep ini disebut dengan “Jalan Tengah” karena, menurut Made Tony Supriatma dan Budi Susanto, “Memberi solusi praktis bagi kekikukan militer yang sesungguhnya hanya memiliki keterampilan perang untuk tampil dalam panggung politik yang sarat dengan fenomena sipil.”

Banyak perwira tinggi yang menjadi kepala daerah sejak masa kepemimpinan Sukarno, tapi dwifungsi kian dipraktikkan pada pemerintahan Orde Baru Soeharto. Militer bukan hanya bisa jadi kepala daerah, tapi turut campur dalam urusan legislasi di parlemen. Sebanyak 100 orang ditunjuk langsung tanpa proses pemilu untuk bisa mendapatkan kursi tersebut. “Alasan dari pengangkatan 100 orang anggota ABRI adalah sebagai perwujudan dari fungsi sosial politik ABRI selain fungsi pertahanan keamanan,” catat DPR periode 1992-1997.

Nasution kemudian merasa konsepnya disalahgunakan dan kemudian menentang Soeharto. Ketidakpuasan Nasution tersaji dalam bentuk Petisi 50 yang intinya menuding Soeharto telah menyalahgunakan Pancasila.

Setelah keruntuhan Orde Baru, tentu dwifungsi menjadi salah satu agenda utama yang hendak dihapuskan para aktor reformis. Tapi B. J. Habibie yang menggantikan Soeharto tidak punya kuasa sebesar itu atas militer. Hasilnya, militer tidak sepenuhnya diusir dari parlemen, tapi dikurangi dari 75 perwakilan menjadi 38. Relasi dengan Partai Golkar juga diputus.

“Reformasi militer pertama di bawah Habibie sudah mengupayakan langkah-langkah yang signifikan, tapi seperti yang kita lihat, gerakan reformasi perlahan malah kehilangan tenaga,” catat Harold Crouch dalam Political Reform in Indonesia After Soeharto (2010).

Reformasi besar-besaran baru dilakukan pada era Presiden Abdurrahman Wahid. Gus Dur mengangkat Juwono Sudarsono dari UI sebagai Menteri Pertahanan, jabatan yang selama 40 tahun terakhir diisi tentara. Tak hanya itu, kursi Panglima TNI diberikan kepada Laksamana TNI Widodo Adi Sutjipto padahal selama ini jabatan tertinggi militer itu selalu dipegang oleh Angkatan Darat.

Kemudian, berdasarkan TAP MPR RI VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Kepolisian, institusi ABRI dihapuskan. TNI dan Polisi dijadikan dua institusi berbeda. TNI diberi tugas hanya untuk pertahanan serangan dari luar negeri.

Menurut Marcus Mietzner dalam The Politics of Military Reform in Post-Soeharto Indonesia (2006), serangkaian kebijakan itu jelas dibuat guna mengendalikan AD sekaligus memberikan kontrol sipil atas militer. “Wahid telah mengidentifikasi Wiranto (Panglima ABRI terakhir, ed) sebagai hambatan utama untuk melanjutkan reformasi militer dan dia ingin menghancurkan jaringan patronase Orde Baru yang tersebar di seluruh hierarki TNI,” tulis Mietzner.

Saat kepemimpinan Megawati Sukarnoputri, sipil mulai terlihat bergantung lagi pada militer. Tentara pun kembali berulah ketika Megawati menetapkan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) selama enam bulan pada 2003. Sedangkan di Papua, militer membunuh Theys Eluay. Pada Juli 2004, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia merilis laporan soal pembunuhan 9 orang dan 38 korban luka berat dan cacat di Wamena selama penyisiran oleh TNI/Polri pada 4 April 2003.

Tapi setidaknya supremasi sipil tetap diupayakan. Pada Pemilu 2004, fraksi ABRI sudah ditiadakan sama sekali.

Di era sekarang, pada masa kepemimpinan Joko Widodo, dwifungsi kembali mencuat. Kali ini bukan hanya dwifungsi TNI, tapi juga dwifungsi Polri. Jokowi banyak memakai jasa bekas jenderal TNI atau pun Polri di pemerintahannya. Misalnya Moeldoko yang merupakan mantan Panglima TNI sebagai Kepala Staf Presiden dan Tito Karnavian yang mantan Kapolri di posisi Menteri Dalam Negeri. Hal ini mengkhawatirkan karena, seperti kata Mietzner di Jakarta Post, “Sulit dipercaya bahwa pensiunan TNI atau polisi tidak punya kedekatan emosional atau loyalitas pada institusi mereka dahulu.”

Menurut peneliti dari Australia ini, reformasi militer mengalami stagnasi setelah 2001 atau pasca-Gus Dur. Elite politik yang takut akan adanya perpecahan menomorduakan reformasi militer.

“Setelah kepemimpinan Soeharto, loyalitas elite TNI kepada rezim Orde Baru terbilang tinggi dibandingkan negara lain yang pemerintahannya melibatkan militer. Ini menjadi masalah serius dalam penerapan reformasi,” tulis Mietzner.

Ketika eksekutif dikelilingi orang-orang militer, legislatif pun tidak bisa jadi contoh baik dalam penjelmaan supremasi sipil. Susah payah massa rakyat dan para tokoh reformis berusaha menghapus dwifungsi, Komisi I yang sudah diisi orang-orang sipil malah berdandan layaknya tentara.

Atas ini semua, tidak mengherankan muncul kritik yang mempertanyakan keberpihakan anggota DPR: Kepada tentara atau masyarakat sipil?

Baca juga artikel terkait DWIFUNGSI atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Politik
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Rio Apinino