Menuju konten utama

Tak Ada Kopi yang Kenikmatannya Mutlak

Kita mungkin pernah mendengar seseorang berkata, “Di sana kopinya enak,” atau “Kopi gayo lebih sedap dari kopi Lampung,” atau “Kopi Indonesia memang paling mantap,” atau pernyataan-pernyataan lain tentang rasa kopi. Tapi seperti apa sebenarnya kopi enak itu? Benarkah kopi Indonesia paling enak?

Tak Ada Kopi yang Kenikmatannya Mutlak
Suasana kelas kopi di 5758 Coffeelab, yang terletak di kompleks pondok hijau indah di daerah Gegerkalong Bandung. [Foto/perempuansore.blogspot.co.id]

tirto.id - "The most difficult thing of brewing is knowing what the customer like."

Kalimat itu tertulis di tembok sebuah warung kopi bernama 5758Coffee Lab yang berlokasi di Bandung. Ia bukan sembarang warung kopi. Di lantai dua warung kopi itu, ada kelas tempat berbagai pelatihan tentang kopi digelar. Ia adalah kampus tempat para calon barista dan Q atau R grader—penilai kopi—belajar dan mengambil sertifikasi.

“Memang tidak mudah membuat kopi enak, karena enak itu berbeda di lidah tiap orang,” kata Adi W. Taroepratjeka, salah satu instruktur sekaligus direktur 5758 Coffee Lab yang juga Q grader. Itulah alasan Adi dan rekan-rekannya menuliskan kalimat berbahasa Inggris itu di dinding dekat pintu masuk Lab.

Kalimat itu tak berdiri sendiri, sebab ada kalimat-kalimat lain yang juga mengajak berpikir ulang soal rasa kopi. Salah satunya pertanyaan “Enak itu apa?” Sebab, enak menurut barista belum tentu enak menurut pelanggan.

Pekan lalu Adi menggelar blind tasting. Sejumlah 16 orang penulis, wartawan, hingga penikmat kopi diundang. Mereka diminta meminum enam gelas kopi berbeda dari berbagai daerah dan negara. Kopi itu di-roasting pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama pula. Cara menyeduh dan meminumnya pun tak berbeda.

“Banyak yang bilang kopi Indonesia paling enak, benar nggak sih? Mari kita buktikan!” ujar Adi sebelum gelas-gelas kopi dibagikan.

Pada sesi pertama, ada tiga gelas kopi yang dihidangkan. Kopi-kopi itu berasal dari Yunan, Laos, dan Sumatera Utara (Sumut). Tentu saja para peserta tak diberi tahu jenis kopi yang mereka minum. Dari 16 orang itu, 9 orang memilih kopi Yunan, 1 orang memilih kopi laos, dan sisanya, 6 orang menyukai kopi Sumut.

Setelah sesi pertama, sesi kedua pun digelar. Tiga jenis kopi yang dihidangkan adalah kopi Yunan, Vietnam, dan Garut. Sebanyak 9 orang memilih kopi Vietnam, 2 orang memilih Yunan, dan 5 orang memilih Garut.

Jelas sekali dari kedua sesi itu kopi asal Indonesia bukan terfavorit, padahal sebelumnya kopi Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu yang paling enak.

“Lalu apabila rasa dan indikator enak tidak enak sangatlah subyektif, bagaimana para Q grader menilai satu jenis kopi? Bukankah setiap Q grader juga memiliki selera yang berbeda?”

Sebagai orang yang belum paham dunia nilai menilai kopi, pertanyaan itu saya utarakan kepada Mia Laksmi, istri Adi yang juga seorang R grader—sebutan penilai biji kopi robusta. Dalam menilai satu jenis biji kopi, Mia menjelaskan, para Q atau R grader tidak seorang diri. Setidaknya ada tiga orang yang melakukan penilaian. Ini untuk meminimalkan bias dan membuat penilaian lebih objektif.

Penilaian pun memiliki beberapa parameter. Tak hanya rasa, tetapi juga warna dan aroma. Dalam menilai kualitas biji kopi, para penilai, baik Q grader maupun R grader melakukan proses cupping. Dalam proses ini, setiap satu jenis biji kopi disajikan dalam lima gelas berbeda. Setelah kopi digiling, para penilai harus bisa menilai kualitas warna.

Setelah itu, aroma juga harus dinilai. Meski berasal dari biji kopi yang sama, aroma tiap gelas biasanya ada saja perbedaannya. Saya telah membuktikannya dengan indra penciuman saya sendiri. Perbedaan aroma biasanya disebabkan biji kopi yang cacat atau berjamur.

Para penilai ini harus bisa mendeskripsikan aroma tiap-tiap gelas kopi itu. Bukan sekadar menuliskan aromanya enak, tetapi menjabarkan aroma macam apa yang tercium. Aroma kopi beragam, bisa jadi ada aroma lada di dalamnya, atau aroma buah-buahan.

Prosedur lain dalam menilai aroma adalah, gelas-gelas itu tak boleh diangkat. Jadi, kepala penilailah yang harus menunduk. Penilaian aroma pun dilakukan tiga kali: saat masih bubuk kopi, saat diaduk, dan saat kopi sudah larut.

Setelah selesai dengan aroma, yang harus dinilai selanjutnya adalah rasa. Ada beberapa indikator rasa. Misalnya, bagaimana kombinasi rasa dan aromanya, berapa lama rasa dan aroma itu bertahan, bagaimana dengan tingkat keasaman, dan lain sebagainya.

Keseragaman rasa dari tiap-tiap gelas pun dihitung. Metode cupping digunakan para profesional untuk melakukan standardisasi rasa. Standardisasi ini dibutuhkan oleh produsen-produsen kopi kemasan atawa pemilik-pemilik kedai kopi agar rasa kopi mereka konsisten.

Meski begitu, konsumen tetap memiliki standar rasa yang berbeda. Sehingga tak ada satu jenis kopi pun yang kenikmatannya mutlak.

Baca juga artikel terkait KOPI atau tulisan lainnya dari Wan Ulfa Nur Zuhra

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Wan Ulfa Nur Zuhra
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Maulida Sri Handayani