tirto.id - Gelisah dan terkejut. Begitu kira-kira yang dirasakan Toto Suryaningtyas dan para koleganya di Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Kompas begitu melihat hasil surveinya sendiri pekan lalu. Hasil survei elektabilitas kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang kemudian diterbitkan di Kompas edisi kemarin, Rabu (20/3), tersebut menyatakan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf turun, sementara Prabowo-Sandiaga naik. Selisih elektabilitas kedua pasangan calon (paslon), sebulan sebelum hari Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, kian tipis.
Hasil survei yang digelar Litbang Kompas pada 26 Februari hingga 5 Maret 2019 (selanjutnya disebut survei Maret 2019) itu menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 49,2 persen, sementara Prabowo-Sandiaga mencapai 37,4 persen. Artinya, elektabilitas Jokowi-Ma'ruf hanya selisih 11,8 persen daripada Prabowo-Sandiaga.
Dibanding hasil survei Litbang Kompas pada 24 September-5 Oktober 2018 (selanjutnya disebut survei Oktober 2018), selisih elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dengan Prabowo-Sandiaga pada Maret 2019 lebih besar. Elektabilitas Jokowi-Ma'ruf menurut survei Litbang Kompas Oktober 2018 sebesar 52,6 persen. Di situ, elektabilitas paslon nomor urut 01 itu masih unggul 19,9 persen daripada Prabowo-Sandiaga.
Hasil survei lembaga lain yang dihelat dalam Januari hingga awal Maret 2019 memang menunjukkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf masih lebih tinggi daripada Prabowo-Sandiaga. Tetapi, selisih antara elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga yang ditunjukkan survei-survei itu tidak sekecil hasil survei Litbang Kompas.
"Sebelum tayang, kami sudah gelisah sendiri. Kok [selisih] bisa kecil begini. Tetapi, kami korek-korek, kami tidak menemukan ada kesalahan. Mau tidak mau ya kami unggah. Kami tidak mau manipulasi [hasil survei]," ujar Peneliti Litbang Kompas, Toto Suryaningtyas ketika dihubungi Tirto, Rabu (20/3) malam.
SMRC versus Litbang Kompas
Pada 24 Februari hingga 5 Maret 2019 Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) juga menghelat survei elektabilitas kandidat Pilpres 2019. Survei tersebut dilaksanakan pada periode yang hampir bersamaan dengan Litbang Kompas. Kedua survei juga sama-sama menggali jawaban responden melalui wawancara tatap muka.
Hasil survei SMRC menyebutkan elektabilitas Jokowi-Ma'ruf sebesar 57,6 persen. Elektabilitas Prabowo-Sandiaga sebesar 31,8 persen. Sedangkan 10,6 persen lainnya menjawab tidak tahu atau rahasia. Selisih elektabilitas Jokowi-Ma'ruf dan Prabowo-Sandiaga menurut survei ini mencapai 25,4 persen, jauh lebih besar dibanding hasil survei Litbang Kompas.
Sebanyak 2.820 responden survei SMRC dipilih secara acak menggunakan metode pencuplikan acak bertingkat secara sistematis. Namun, responden yang dapat diwawancarai secara valid (respons rate) sebesar 2.479 atau setara 88 persen jumlah responden awal. Dengan ukuran sampel itu, margin of error survei SMRC sebesar +/- 2 persen dengan tingkat kepercayaan 95 persen. SMRC juga mewawancarai kembali 20 persen dari total sampel oleh supervisor sebagai bentuk pengendalian kualitas. Hasil pengendalian kualitas tidak ditemukan kesalahan berarti.
Sementara itu, sebagaimana tercantum dalam Kompas, survei Litbang Kompas memiliki 2.000 responden. Metode pencuplikan yang digunakan juga acak bertingkat. Dengan metode pencuplikan ini, Litbang Kompas menyatakan tingkat kepercayaan surveinya secara statistik 95 persen dengan Margin of Error sebesar +/- 2,2 persen.
Namun, dalam bagian metodologi itu, Kompas juga menuliskan pernyataan yang jarang ditemui dalam publikasi hasil survei lembaga lain. Kompas menyatakan "Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi". Kompas juga tidak mencantumkan respons rate dan pengendalian kualitas, sebagaimana yang dituliskan SMRC dalam presentasi surveinya.
Toto menganggap wajar apabila hasil survei Litbang Kompas dibandingkan dengan lembaga lain. Dia juga mengatakan pihaknya menjalankan semua proses validasi survei dan mengantongi bukti-buktinya, meskipun tidak menjelaskan proses itu dalam berita yang dimuat Kompas.
"Ketika kita bikin survei, kesalahan bisa karena kita salah mengacak sampel. Tapi juga bisa pada waktu kita mengambil data di lapangan, pewawancara bohong, curang diisi sendiri. Itu bisa. Atau respondennya sendiri yang pura-pura, misalnya, mau pilih 01 tapi malah pilih 02. Itu namanya non-sampling error, galat (eror) yang terjadi di luar pencuplikan [sampel]," ujar Toto menjelaskan alasan Kompas menuliskan "Meskipun demikian, kesalahan di luar pemilihan sampel dimungkinkan terjadi" dalam metodologinya.
Sampel yang diambil survei Litbang Kompas Maret 2019, menurut Toto, telah mewakili populasi. Itu ditunjukkan melalui proporsi suku, gender, dan agama yang dicuplik menjadi sampel dibuat sedekat mungkin dengan populasi pemilih di Pilpres 2019.
Proses dan hasil wawancara responden pun diawasi secara ketat. Toto menjelaskan pewawancara dalam survei Litbang Kompas harus mengirim koordinat rumah responden yang diwawancarai. Kemudian, dia harus memotret nomor rumah, pemilik rumah, dan identitasnya.
Ketika orang yang direncanakan sebagai respoden menolak diwawancarai, pewawancara akan menggantinya dengan responden cadangan. Toto mengatakan responden cadangan yang digunakan dalam survei Litbang Kompas Maret 2019 tidak lebih 15 persen. Karena jumlah responden tetap 2.000, respons rate atau tingkat rendahnya tanggapan dalam survei Litbang Kompas dapat dikatakan nol.
"Responden kami kan 2.000. Nah, dari jumlah tersebut sebenarnya berapa sih yang diganti responden cadangan. Kalau penggantian respondennya di bawah 20 persen itu masih aman. Apalagi di bawah 10 dan 5 persen," ujar Toto.
Rampung diwawancarai, responden akan diberi suvenir oleh Litbang Kompas. Penyerahan suvenir itu juga didokumentasikan. Setelah itu, pewawancara pulang dan menyerahkan hasil wawancara ke koordinator lapangan. Dari koordinator lapangan, hasil wawancara dibawa ke koordinator wilayah (korwil) yang ada di tiap provinsi.
Toto mengatakan survei Litbang Kompas tidak menetapkan jumlah responden yang harus dicek ulang. Tahap demi tahap yang dilakukan pewawancara dan bukti terkait itu, menurut Toto, sudah bisa menjamin kesahihan jawaban responden. Namun, korwil akan bertindak bila dia meragukan hasil wawancara responden.
"Itu nanti kalau sudah sedemikian ketat pengambilan datanya, korwil di provinsi ragu, dia [korwil] bisa telepon lagi atau menyuruh koordinator lapangan untuk mengecek ke rumah responden. Dia cek benar atau tidak dia [responden] ditanyai; benar atau tidak jumlah pertanyaannya ada 100; benar atau tidak pertanyaannya soal ini; lalu ditanya juga dia isi sendiri atau diisikan," ujar Toto.
"Yang jelas kami tidak menerima laporan khusus, misalnya, terjadi kecurangan, kecurigaan terhadap pewawancara tertentu, atau ketika wawancara, daerah itu ditunggui aparat," tambah Toto.
"Semua Kertas Kerja Kami Lengkap"
Melihat alur kerja di atas, sebenarnya tahap demi tahap yang dilakukan Litbang Kompas dalam survei tidak jauh berbeda dengan SMRC. Namun, mengapa hasil survei SMRC dan Litbang Kompas bisa jauh berbeda? Menurut Toto, yang demikian ini tidaklah wajar.
"Secara ilmu metodologi, itu tidak wajar. Salah satu [survei] kemungkinan agak keliru. Bisa kami atau dia," ujar Toto.
Toto tidak mengelak bila ada pihak yang ingin mengaudit survei Litbang Kompas. Syaratnya: yang mengaudit bukan individu, tapi lembaga resmi, misalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Semua kertas kerja kami lengkap. Semua data lalu-lintas metadata sistem aplikasi yang menampung itu lengkap. Daftar telepon responden, pewawancara, foto, catatan penerimaan suvenir itu lengkap. Itu masih kami simpan dalam beberapa bulan ke depan sebelum kami musnahkan," kata Toto.
Editor: Suhendra