Menuju konten utama

Di Balik Keganjilan Survei INES

Menurut Hamdi Muluk, lembaga survei tidak kredibel bisa bertahan karena tidak ada sanksi pidana maupun sosial.

Di Balik Keganjilan Survei INES
Ilustrasi HL Indepth Lembaga Survei HL 1

tirto.id -

Hamdi Muluk tertawa-tawa sendiri saat membaca sebuah berita di internet. Berita itu memuat hasil survei Indonesia Network Election Survey (INES). Yang bikin Hamdi heran dan tertawa adalah hasil surveinya yang menyatakan elektabilitas Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 jauh lebih tinggi ketimbang Joko Widodo (Jokowi).

Hasil survei INES menyebutkan elektabilitas top of mind Prabowo Subianto sebesar 50,20 persen, sedangkan elektabilitas top of mind Jokowi sebesar 27,70 persen. Sementara itu, dalam skema pilihan tertutup untuk beberapa kandidat saja, elektabilitas Prabowo sebesar 54,5 persen dan Jokowi sebesar 26,1 persen.

Hamdi bukan orang baru dalam dunia riset. Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia itu merupakan anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi), sebuah wadah organisasi perhimpunan bagi lembaga survei di Indonesia. Bagi Hamdi, hasil studi yang dilakukan INES amat janggal.

“Ketika lembaga survei dalam waktu yang tidak jauh berbeda merilis Jokowi menang, dia sendiri yang aneh,” kata Hamdi, Selasa (8/5/2018) malam.

Kepada Tirto, Hamdi juga menceritakan keheranannya yang bertambah saat menemukan sejumlah berita-berita survei yang dilakukan INES terdahulu. INES, berdasarkan hasil surveinya, sempat menyebutkan Anies-Sandi akan mengalahkan Ahok-Djarot di Pilkada DKI Jakarta 2017 dalam putaran pertama. Namun, hasil survei INES dibantah oleh hasil perhitungan suara Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama.

“Saya geli [mendengar] pembelaan INES. [Mereka mengaku] cuma satu-satunya yang berhasil meramalkan Anies menang,” kata Hamdi.

Hamdi menengarai beberapa hal yang membuat lembaga survei tidak kredibel bisa bertahan. Pertama, adanya pihak yang memakai jasanya. Kedua, surveyor sendiri membutuhkan uang, sehingga tetap ada yang bekerja di dalam lembaga tersebut. Ketiga, ketiadaan sanksi pidana apabila hasil survei, dan keempat, sanksi sosial pun tidak kuat.

"Sanksi sosial yang saya bayangkan, tiba-tiba semua media memboikot enggak mau menyiarkan [hasil survei] dia," katanya.

Hasil survei INES bertajuk "Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Pemerintahan Jokowi dan Peta Kekuatan Politik Menjelang Pemilu 2019" memang berbeda dari hasil survei elektabilitas kandidat Pilpres 2019 yang diumumkan lembaga survei lain sebelumnya.

Pada umumnya, hasil survei semua lembaga menyatakan elektabilitas Jokowi lebih tinggi daripada Prabowo. Indikator Politik Indonesia merilis survei periode 25-31 Maret 2018 yang menyatakan elektabilitas Prabowo sebesar 29 persen, sedangkan Jokowi 60 persen. Sementara itu, hasil survei Litbang Kompas periode 21 Maret-1 April 2018 menyatakan elektabilitas Prabowo sebesar 14,10 persen, sedangkan Jokowi 55,9 persen.

Dibandingkan temuan survei-survei tersebut, angka-angka elektabilitas yang dilansir INES jelas amat berkebalikan.

Poin Keganjilan dan Perlunya Pengawasan

Menurut Sunarto Cipto Harjono, jika dua atau lebih lembaga survei memiliki metodologi sama, perbedaan hasil survei semestinya hanya sebatas margin of error.

“Kalau ada sampai yang terbalik-balik bahkan berlawanan hasil, mungkin lembaga survei itu tidak tepat atau memainkan hasil," ujar Sunarto kepada Tirto.

Penanggung jawab Sementara (Pjs) Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi)wadah organisasi bagi lembaga survei di bawah korporasi Lingkaran Survei Indonesia—itu menyatakan adanya perubahan angka elektabilitas tokoh secara tajam padahal tidak ada peristiwa besar yang terjadi sebelumnya adalah salah satu tanda hasil survei yang manipulatif.

“Lonjakan tajam [elektabilitas] biasanya didahului peristiwa-peristiwa besar. Kalau tidak terjadi, ada kemungkinan angka-angka itu tidak berubah,” ujar Sunarto.

Sunarto menilai tidak ada peristiwa-peristiwa besar yang terjadi dan memberi dampak elektabilitas kepada Jokowi maupun Prabowo saat INES menggelar survei.

Hal itu pun diakui Hamdi Muluk. Menurutnya, rangkaian aksi bela Islam, khususnya "212" berdampak besar terhadap elektabilitas Ahok di Pilkada DKI 2017. Sebaliknya, saat survei INES dilakukan tidak ada peristiwa seperti 212, begitu kata Hamdi.

Meski kental kontroversi, Sunarto tak menuding INES memanipulasi hasil survei. Ia hanya menyarankan agar hasil survei tersebut diuji. Pengujian itu biasanya dilakukan asosiasi yang menaungi lembaga survei.

“Selama belum ada pembuktian real [lewat hasil Pemilu sesungguhnya], validitas survei bisa diuji hanya oleh asosiasi yang menaunginya," ujar Sunarto.

Infografik HL Indepth Lembaga Survei

Selama belum ada pengujian, Sunarto mengimbau agar masyarakat memerhatikan betul track record lembaga survei itu. Dia juga menegaskan agar media mencantumkan metodologi, mulai dari jumlah dan sebaran responden, margin of error, dan metode wawancara, yang digunakan lembaga tersebut.

Sementara itu, Hamdi menerangkan tujuan didirikannya asosiasi supaya ada pengawasan terhadap lembaga survei. Pengawasan ini merupakan barang penting dalam riset mengingat potensi penyelewengan dan manipulasi bisa saja terjadi.

Due procces itu yang melakukan dewan etik. Itu gunanya berhimpun supaya ada kontrol,” kata Hamdi.

Namun, pengujian terhadap hasil survei tampak sulit karena INES ternyata tak terdaftar di dua asosiasi lembaga survei, baik Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi) maupun Asosiasi Riset Opini Publik (Aropi).

Kepada Tirto, Direktur Eksekutif INES Oscar Vitriano mengatakan “Kami ini lembaga yang sudah punya SK kemenkumham, jadi kami lembaga resmi.”

Tidak masuknya suatu lembaga survei dalam anggota Aropi dan Persepi sebenarnya tidak serta merta membuat hasil yang dirilisnya tidak kredibel. Litbang Kompas yang metodologi dan hasil survei-surveinya dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, juga tidak termasuk dalam dua asosiasi tersebut.

Namun, persoalan timbul ketika ada lembaga survei yang surveinya dianggap bermasalah dan tidak termasuk dalam dua asosiasi, sehingga tidak ada asosiasi yang bisa "mengadili" validitas survei dan memberi sanksi terhadap lembaga yang bermasalah tersebut.

Di sisi lain, ada pula lembaga anggota Aropi maupun Persepi yang dinilai tidak kredibel dalam menyigi dan menyampaikan hasil survei. BBC melaporkan Jaringan Suara Indonesia (JSI) serta Pusat Studi Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis) merupakan dua lembaga survei yang tergabung dalam Persepi. Keduanya disidang dan diberi sanksi etik karena menyiarkan hasil hitung cepat yang dianggap bermasalah pada Pemilu Presiden 2014.

INES: Lembaga Kami Independen

"Lembaga lain buka tidak? Lembaga lain berani buka pendanaan? Artinya kalau kredibilitas, lihat hasil yang mendekati. Intinya, saya mau katakan bahwa [hasil survei] bisa berbeda, tapi belum tentu tidak kredibel."

Kalimat itu diucapkan Oscar Vitriano, Direktur INES, menanggapi ajakan untuk 'buka-bukaan' soal pemesan survei dan data mentah survei.

Oscar berdalih INES merupakan lembaga independen meskipun tidak bergabung dalam Aropi atau Persepi. Kepada Tirto, Oscar menjelaskan riset yang dilakukan INES itu bukan pesanan Prabowo Subianto. Dia pun mengaku tidak pernah bertemu Prabowo.

"Tapi saya jelaskan, hasil survei kami independen. Kami menerapkan metode survei yang biasa dilakukan lembaga survei lain," ujar Oscar.

Keluarnya Prabowo sebagai pemenang dalam hasil survei INES dinilai Oscar sebagai bagian dari kedinamisan isu mengenai petahana dan oposisi. Metode pengambilan sampel dan rentang waktu survei pun, menurutnya, memengaruhi hasil survei.

"Polling bisa naik dan turun. Ketika ada satu isu yang kemudian memperkuat inkumben akan memperkuat inkumben. Ketika ada isu yang dikeluarkan oposisi akan memperkuat oposisi. Mungkin pada saat kami melakukan survei persepsi publik terhadap pemerintah sedang turun dan oposisi lagi kuat," ujar Oscar.

Untuk menjalankan risetnya, Oscar mengatakan INES memiliki jaringan surveyor di 33 provinsi. Dalam riset survei bertajuk "Kepuasan Masyarakat Terhadap Kinerja Pemerintahan Jokowi dan Peta Kekuatan Politik Menjelang Pemilu 2019" yang belakangan jadi kontroversi, INES menggunakan metode wawancara tatap muka dengan jumlah responden sebesar 2.180 orang yang diambil secara multistage random sampling, tersebar di 480 kota di 33 provinsi. Oscar juga juga mengklaim selalu memverifikasi data yang diberikan para surveyor.

"Kalau sudah para network bekerja, kami peneliti dari pusat akan lakukan pengecekan, tapi hanya sampel. Kalau yang dicek sekitar 20 persen sudah sesuai, kami cek (valid)," ujar Oscar.

Oscar pun membanggakan track record INES dalam meriset kekuatan politik dalam Pilkada DKI Jakarta 2012. Saat itu, hasil survei INES menyatakan Jokowi-Ahok menang.

Namun, Oscar enggan menjawab saat ditanya kontroversi hasil survei Pilkada DKI Jakarta 2017 putaran pertama. Saat itu, hasil survei INES menyatakan paslon Anies Baswedan-Sandiaga Uno bakal menang di putaran pertama dan otomatis melaju ke putaran kedua.

Kata Oscar, "Jadi memang begini, saya diangkat direktur baru [setelah Pilkada DKI Jakarta 2017]. Yang bisa saya pertanggungjawabkan adalah survei presiden saat ini. Difokuskan ke situ saja."

Baca juga artikel terkait PILPRES 2019 atau tulisan lainnya dari Husein Abdulsalam

tirto.id - Politik
Reporter: Mufti Sholih & Husein Abdulsalam
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Maulida Sri Handayani