tirto.id - Seorang laki-laki berkaos putih yang bertuliskan #DiaSibukKerja berjalan di Car Free Day Jakarta. Tangan kanannya menggenggam ponsel, sementara sebuah tas menyelempang di pundak kanannya. Dia bukan artis pun bukan pesohor. Namun, sekelompok orang menghadangnya bak penggemar bertemu artis favorit atau wartawan berebut narasumber. Sekelompok orang itu tampak serupa: mereka sama-sama mengenakan pakaian - kaos atau topi - bertuliskan #2019GantiPresiden.
"Dibayar berapa? Sudah kenyang belum?" ujar seorang laki-laki bertopi #2019GantiPresiden sembari mengarahkan kamera ponselnya ke wajah laki-laki itu.
"Ngga. Ngga. Ngga dibayar," kata laki-laki berkaos #DiaSibukKerja itu. Laki-laki itu diketahui bernama Stedi Repki Watung. Ia akhirnya melaporkan perundungan terhadap dirinya ke polisi.
Di tempat lain tak jauh dari situ, seorang perempuan berkaos #DiaSibukKerja dan seorang anaknya mengalami hal serupa. Sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden mengerumuninya sembari menyahut, "Nasi bungkus. Nasi bungkus."
Awalnya, perempuan itu cuek. Namun, kemarahannya pecah saat anaknya menangis. "Jangan takut, Nak, kita enggak salah," kata si perempuan. Belakangan diketahui perempuan tersebut bernama Susi Ferawati. Ia juga akhirnya melaporkan perundungan di CFD itu ke polisi.
Kira-kira begitulah gambaran persaingan antara kubu #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja di Car Free Day Jakarta, Minggu (29/4/2018). Kedua momen itu berhasil ditangkap seorang videografer yang kemudian mengunggahnya ke akun Youtube Jakartanicus. Peristiwa tersebut pun menjadi viral.
CFD dan Transformasi Pawai
Seperti namanya, kubu #2019GantiPresiden membuat kampanye agar Jokowi tidak terpilih sebagai presiden dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Sedangkan kubu #DiaSibukKerja berusaha melawan narasi itu. Keduanya sama-sama memobilisasi massa dan membawa spanduk, papan nama, dan atribut kampanye khasnya masing-masing pada CFD Jakarta. Dalam terminologi kampanye politik di Indonesia, yang dilakukan kedua kubu tersebut biasa disebut pawai.
Jennifer Lindsay, dalam "The Performance Factor in Indonesian Elections" (2007), mengatakan pawai telah menjadi bagian dari kampanye politik sejak akhir 1970-an. Pawai di era Orde Baru diramaikan dengan aksi kendaraan bermotor, mulai dari sepeda motor, bus, dan truk yang memenuhi jalan utama, disaksikan masyarakat dari tepi jalan.
Dalam hal ini, yang dilakukan kubu #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja jelas menampilkan fitur yang berbeda dengan pawai di era Orde Baru. Pawai #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja dilakukan di CFD yang melarang keberadaan kendaraan bermotor dan membolehkan masyarakat (kota) memenuhi jalan. Apabila pawai di era Orde Baru diadakan agar masyarakat datang ke tepi jalan, pawai kubu #2019GantiPresiden dan #DiaSibukKerja justru dilakukan dengan mendatangi dan sekaligus menjadi bagian dari masyarakat yang tengah berkumpul di CFD.
Namun, tidak semua fitur pawai di CFD tersebut berbeda dengan pawai di era Orde Baru. Di CFD minggu kemarin, simbol-simbol yang ditampilkan melalui pakaian dan atribut tetap muncul meski dalam konteks yang berbeda.
Selama era Orde Baru, orang-orang berpawai dengan bendera dan kostum berwarna khas partai masing-masing, hijau (PPP), merah (PDI), dan kuning (Golkar). Kombinasi itu menimbulkan kesan terbentuknya lautan warna yang bergerak di atas jalan untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kubu.
Sedangkan dalam pawai di CFD minggu lalu, masing-masing kubu mengenakan kaos dan membawa atribut yang bertuliskan jargon masing-masing yang pada intinya terbelah menjadi dua kubu: mendukung Jokowi dan tidak mendukung Jokowi.
Selain itu, keserupaan pawai era Orde Baru dan peristiwa CFD minggu kemarin juga terletak dalam cara jumlah massa konversi menjadi kekuatan politik. Rekaman video Jakartanicus menunjukkan bahwa dia yang berjalan sendiri (si laki-laki dan perempuan) akan didominasi oleh mereka yang berkerumun.
"Dalam tingkatan ini, pawai merupakan pertunjukan seberapa banyak kerumunan massa yang bisa dikendalikan dan fakta bahwa peserta pawai hari ini mengenakan baju merah dan keesokannya baju hijau tak lagi jadi soal. Yang lebih penting adalah kesan yang ditimbulkan kerumunan pada momen tersebut dan potensi bahaya yang kerumunan berikan," sebut Lindsay (hlm. 60).
Menjadi Arena Kontestasi Politik
Frans Ari Prasetyo, peneliti tata kota yang pada 2017 merilis makalah berjudul "Car Free Day: Transformasi Ruang dan Globalisasi Urbanisme Kontemporer di Bandung" mengatakan CFD adalah ruang publik.
Mengutip The Politics of Public Space (2006) yang disusun Setha Low dan Neil Smith, Abidin Kusno mengatakan dalam Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (2009) bahwa ruang publik mengandung dua arti yang berbeda tetapi berkaitan, yaitu public space dan public sphere. Bagi Low dan Smith, public space adalah geografi dari public sphere.
Public place mencakup ruang fisik dan non-fisik, seperti "jalan, taman, media, internet, pusat perbelanjaan, pemerintah, dan organisasi lingkungan lokal dan internasional seperti PBB." Pada prinsipnya, public space adalah ruang umum yang lebih bebas penggunaannya untuk partisipasi publik.
Oleh karena CFD bisa secara bebas diakses publik, tak heran jika CFD pun menjadi suatu arena kontestasi politik yang paling efektif untuk memobilisasi massa.
"Alasannya, hampir semua warga di satu kota, bahkan yang dari kota lain, akan berkumpul di tempat itu. Informasi akan termampatkan di sana. Tidak perlu lagi bikin panggung besar untuk kampanye. Cukup di CFD saja," ujar Frans.
Jokowi dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sempat berkampanye di CFD saat menjadi calon gubernur dan wakil gubernur dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta 2012. Kompas melaporkan keduanya beserta para pendukungnya menggelar flash mob di sekitar bundaran Hotel Indonesia (HI), Minggu (16/9/2012).
Di tempat yang sama, aksi kampanye sosialisasi pengumpulan fotokopi untuk pencalonan Ahok sebagai calon perseorangan di Pilgub DKI Jakarta 2017 juga sempat digelar pada CFD Minggu (30/8/2015). Lalu, di CFD Jalan Buah Batu, Bandung, Ridwan Kamil dan relawannya pun sempat melancarkan kampanye dan menghimpun dana untuk mendukungnya maju di Pilgub Jabar 2018.
Tetap Demokratis
Meski sering menjadi arena politis, CFD juga bisa menjadi ruang yang demokratis. Dalam makalah "Car Free Day: Kontestasi Ruang Ketiga Sebagai Fenomena Produksi Ruang Publik Perkotaan di Bandung" (2014), Frans menggambarkan bagaimana jemaat Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Saksi Yehovah, dan Ahmadiyah bisa dalam waktu yang bersamaan mengampanyekan isunya masing-masing di CFD Bandung.
"Kejadian seperti kemarin itu sebenarnya tidak boleh terjadi. Biasanya, di CFD bakal ada satu kubu dengan kubu lain yang saling berhadapan di satu titik yang isunya macam-macam. Misalnya, pendukung pasangan calon dalam konteks politik bisa saja bertemu," ujar Frans.
Menurutnya, peristiwa minggu lalu adalah bentuk dominasi kubu tertentu - dalam hal ini kubu #2019GantiPresiden - yang didasarkan pada seberapa banyak orang yang bisa dimobilisasi masuk ke ruang publik. Ketika itu jadi dominan, dominasi itu membuat orang jadi superior. Yang lebih sedikit menjadi inferior.
Pada Senin (30/4/2018), Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Salahuddin Uno mengingatkan masyarakat untuk tak melakukan kampanye atau kegiatan politik di CFD Bundaran Hotel Indonesia. Sebab, kata dia, ketentuan itu telah diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2016 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB).
"Pergub-nya kan udah ditandatangani Pak Basuki [Tjahaja Purnama]. Saya aja waktu pilkada nggak pernah bikin kegiatan di sana. Nggak bisa itu dan harusnya rasa mendukung satu pemilihan politik atau apapun di-channel dengan kegiatan yang positif. Misalnya bersihin kali lah, tuh masih banyak," ujar Sandi.
Frans memandang aturan tersebut tidak bisa melarang begitu saja setiap bentuk kampanye di CFD. CFD adalah ruang publik merdeka. Orang bisa melakukan beragam aktivitas di situ sepanjang tidak mencederai demokrasi dan menggunakan isu SARA.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti