tirto.id -
Seorang videografer melihat dan mengabadikan saat kelompok tersebut merundung seorang laki-laki dan perempuan yang mengenakan kaos putih bertuliskan #diasibukkerja. Dua orang itu diasosiasikan sebagai pembela pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan dituding sebagai orang-orang bayaran karena memakai kaos tersebut.
"Aku dengar lagu ramai di tengah-tengah Bundaran HI terus aku maju. Kemudian aku melihat, 'Wah, nih kayaknya ada sesuatu.' Baru semenit kemudian aku inisiatif menghidupkan HP. Lihat ada orang-orang pakai baju #2019gantipresiden itu," kata videografer itu, yang enggan namanya disebutkan saat dikonfirmasi redaksi Tirto, Minggu sore (29/4/2018).
Ia menuturkan, sebelum peristiwa itu, ada sekitar ratusan orang mengenakan kaos #2019gantipresiden sedang berkumpul di CFD bundaran HI. Mereka mengampanyekan gerakan mengganti presiden di 2019.
Selain mengenakan kaos dengan ragam tulisan yang sama, mereka juga membawa spanduk yang dibentangkan tepat di Bundaran Hotel Indonesia dan ada di antara mereka yang berorasi.
"Mereka tersebar, ada ratusan. Saya lihat, di depan SOGO, Kempinski, ada sekitar 300-400 oranglah," kata si videografer.
Sekelompok orang berkaos #2019gantipresiden juga menghalang-halangi seorang pria lain dengan pakaian yang juga berkaos #diasibukkerja.
Pria yang dirundung itu dipaksa mengaku bahwa ia telah dibayar oleh pemerintah. Pria itu juga dicerca lewat kata-kata "kecebong". Beberapa pria yang mengelilinginya juga mengibar-ngibarkan sejumlah uang sambil berkata, "Udah bilang saja. Dibayar, kan?"
Selain itu, beberapa orang juga meneriakkan "kecebong" dan mengipas-ngipasi sejumlah uang ke pria tersebut.
"Saya enggak dibayar. Beneran," kata pria tersebut.
Anak-anak juga Jadi Korban Perundungan
Dalam video berdurasi dua setengah menit itu tampak tindakan perundungan yang menimpa seorang perempuan yang membawa anaknya. Perempuan itu bersikap cuek dan meneruskan langkah saat dirundung.
"Jangan takut, Nak, kita enggak salah," kata si perempuan.
Saat anaknya menangis, barulah kemarahan perempuan itu pecah dan membentak sekelompok orang berkaos #2019GantiPresiden.
Menurut sang videografer, intimidasi kepada seorang perempuan itu tindakan yang paling membuat hatinya sangat tersentuh. Ia menyaksikan anak dari ibu itu terlihat tertekan.
"Itu sepertinya anaknya akan trauma, karena ketakutan sekali," ujarnya.
Videografer ini mengatakan "ada satu teriakan, keras banget, tapi enggak terekam oleh kameraku," ujarnya.
Ia menyayangkan sikap polisi dan Satpol PP di lokasi tapi terlihat cuek atas peristiwa tersebut.
"Aku sempat omong ke polisi. Polisinya agak bingung. Kelihatan sekali bingung bergerak karena masa mengintimidasi. Ada yang ketawa, ada yang teriak keras banget," ujar si videografer.
Hingga laporan ini ditulis, video yang dibuat videografer itu telah ditonton sedikitnya 25 ribu kali.
Kejadian ini telah mengundang respons termasuk dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Komisioner KPAI, Siti Hikmawati, menyayangkan tindak intimidatif tersebut.
Menurutnya, anak-anak tak boleh menjadi korban atas kekerasan dalam kontestasi politik.
"Saya tidak tahu di lapangan suasananya seperti apa. Tapi kalau menurut saya, tindakan intimidatif yang dilakukan orang-orang dewasa karena hal-hal politis, dan hal itu berpengaruh terhadap anak, adalah pelanggaran terhadap hak anak. Anak-anak, kan, belum tahu apa-apa," ujarnya kepada redaksi Tirto.
Menurut Hikmawati, orangtua harus melindungi serta menjauhi anak-anak dari penyalahgunaan kegiatan politik. KPAI menyarankan agar para orangtua terlebih dahulu menitipkan anak-anaknya jika ingin turut serta dalam kampanye politik.
KPAI telah mengusulkan ke DPR agar partai politik yang melakukan kampanye di Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 menyediakan tempat khusus untuk menitipkan anak-anak. Ide ini muncul karena KPAI telah menemukan 22 kasus penyalahgunaan anak selama masa kampanye.
"Kalau kejadian Minggu pagi itu, saya lihat orangtuanya dan orang-orang yang mengintimidasi sama-sama salah. Karena bagaimanapun, di sana ada kerumunan orang yang berseberangan secara politik," katanya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Hendra Friana