tirto.id - Dangdut tak pernah dan bahkan mustahil lepas dari kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Ia bisa muncul di panggung-panggung kampanye dan tampil dalam video klip jingle kampanye kandidat yang bertebaran di laman video-sharing Youtube. Semuanya demi menarik perhatian masyarakat agar menyimak pesan dan janji pasangan calon.
Dalam "Dangdut and Politics in Indonesia: The Use of Dangdut in Political Campaign?" (2014), Rahadian Arief mencatat bahwa semua partai politik menggunakan penyanyi dangdut sebagai salah satu metode kampanye. Rhoma Irama, misalnya, bernyanyi untuk PKB, sementara Ayu Tingting berdendang untuk Hanura.
Menggamit penyanyi dangdut untuk kampanye politik juga tengah berlangsung di Pemilu Gubernur Jawa Timur (Pigub Jatim) 2018. Pasangan calon nomor urut 2, Gus Ipul-Puti Soekarno, mengontrak primadona dangdut koplo: Via Vallen, Nella Kharisma, dan Cak Sodiq. Sedangkan pasangan calon nomor urut 1, Khofifah-Emil Dardak, didukung Rhoma Irama.
Dengan mengetik kata kunci seperti "Via Vallen Gus Ipul" atau "Nella Gus Ipul" dalam kolom pencarian Youtube, Anda akan didapatkan beragam video klip jingle kampanye Gus Ipul-Puti "Kabeh Sedulur, Kabeh Makmur", yang dinyanyikan Via Vallen dengan iringan musik elektronik. Sedangkan Nella dan Cak Sodiq mendendangkan lagu yang sama dalam irama dangdut koplo.
Seniman dan Kampanye Pemilu
Peneliti budaya dan politik Jennifer Lindsay, dalam "The Performance Factor in Indonesian Elections" (2007), membahas secara khusus relasi antara Pemilihan Umum (Pemilu) dan pertunjukan di Indonesia. Menurutnya, pengikutsertaan seniman dalam kampanye politik telah dimulai sejak pemilu pertama kali diadakan di Indonesia pada 1955. Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), menurut Lindsay, adalah salah satu contoh dari keterlibatan seniman dalam kampanye-kampanye partai.
Namun setelah peristiwa G30S, PKI dan Lekra dikategorikan sebagai organisasi terlarang. Para kader dan simpatisan, termasuk para senimannya, ditangkap dan dipenjara. Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan dan Orde Baru pun dimulai dengan Golkar sebagai mesin politiknya.
Pada 1971, Golkar memperkenalkan program "safari", yakni mendatangkan penyanyi dan musisi yang sebagian besar berasal dari Jakarta ke seluruh provinsi di Indonesia untuk meramaikan kampanye. Untuk itu, Golkar merekrut 324 seniman yang terdiri dari penyanyi, pelawak, penari, dan grup band bergabung dalam Tim Kesenian Safari Golkar 1971.
Setelah cara itu dinilai sukses menggaet massa, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) akhirnya menggandeng raja dangdut Rhoma Irama untuk meramaikan kampanyenya sejak 1977.
Andrew A Weintraub, dalam Dangdut Stories: A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (2010), mencatat kecerdikan Rhoma mengampanyekan PPP melalui pertunjukan dan komposisi musiknya. Misalnya, di suatu konser kampanye PPP, Rhoma memplesetkan lirik "Begadang" yang semula "Begadang, jangan begadang/Kalau tiada artinya/Begadang boleh saja/Kalau ada perlunya," menjadi "Menusuk boleh menusuk/Asal yang ada artinya/Menusuk boleh menusuk/Asal Ka’bah yang ditusuk."
Ketenaran Rhoma pun mengusik Orde Baru. Lagu Rhoma yang bernada kritis terhadap pemerintah—misalnya "Hak Azasi", "Rupiah", dan "Udang di Balik Batu"—dilarang diputar di televisi sejak 1977. Memasuki 1980-an, Rhoma bahkan dilarang tampil di TVRI. Rhoma baru bisa tampil lagi di televisi pada 1988 saat Orde Baru secara perlahan mendekati kelompok Islam politik sejak pertengahan 1980-an.
Tepat pada 1992, Rhoma keluar dari PPP dan beralih menjadi juru kampanye Golkar. Menurut Lindsay, semua seniman yang diundang tampil dalam kampanye Golkar selama era Orde Baru dibuat seolah mendeklarasikan diri mendukung Golkar. Sebagai timbal baliknya, mereka akan memperoleh akses ke media, proyek pemerintah, dan pertunjukan yang disponsori pemerintah.
Namun, hal itu berubah saat Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden pada Mei 1998. Kampanye Pemilu 1999 dan 2004 tetap mengikutsertakan artis dalam kampanye, tetapi mereka bisa tampil untuk dua partai berbeda, tanpa harus menyatakan dukungan.
Salah seorang penyanyi dangdut mengaku kepada Lindsay bahwa ia tampil berkali-kali untuk partai yang berbeda-beda. Pada 2014, Ira Swara tampil untuk dua partai, Demokrat dan PAN. Sementara kepada Trans TV, Via Vallen menyatakan hanya tampil untuk Gus Ipul, tetapi belum tentu memilihnya nanti.
Orde Baru Tumbang, Kampanye Terus Goyang
Tumbangnya Orde Baru pada 1998 juga menandakan era baru dalam kampanye politik di televisi. Sebelumnya, hanya Golkar yang diperbolehkan beriklan di televisi. Setelahnya, kantor-kantor televisi menampilkan iklan dan berita untuk semua partai politik.
Ada kecenderungan juga bahwa kepemilikan media dikuasai sekarang oleh para politisi. Misalnya, Ketua Umum Nasdem Surya Paloh di Metro TV (Media Group), mantan Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie di TvOne (Bakrie Group), Ketua Umum Perindo Hary Tanoesudibyo di MNC Group. Hal itu membuat para politisi dengan leluasa memanfaatkannya untuk tampil di televisi.
Kampanye para politisi pun tak hanya sebatas dangdut dan goyang. Mereka memanfaatkan acara-acara yang sedang menjadi favorit. Misalnya, pada Pemilu Presiden 2004, para kandidat presiden seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wiranto tampil di salah satu acara televisi paling terkenal saat itu, Akademi Fantasi Indosiar (AFI). Para juri—Trie Utami, Harry Roesli, dan Erwin Gutawa—turut memberikan komentar mengenai penampilan mereka, mengritik pitch control dan pemilihan materi lagu yang dibawakan SBY dan Wiranto. Sepuluh tahun kemudian, giliran Prabowo Subianto, salah satu kandidat di Pemilu Presiden 2014, tampil sebagai bintang tamu di Indonesian Idol, Jumat (23/5/2014).
Debat publik dan Talk Show jelang Pemilu Presiden dan Kepala Daerah pun dikemas seperti layaknya ajang pencarian bakat seperti AFI atau Indonesian Idol. Para kandidat hadir dengan fans yang terdiri dari anggota partai pengusung dan relawan tim sukses. Dalam beberapa kesempatan, penyelenggara acara pun mendatangkan panelis yang bertugas memberikan komentar mengenai penampilan dan program yang dibawa kandidat.
Batasan-batasan antara seni dan politik kini menjadi lebih kabur. Mungkin karena sejak awal politik sendiri adalah kontes.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf