tirto.id - Jika bungaku mewangi restu
suntinglah seg'ra dengan rasa mesra
Jangan tunggu hingga bungamu layu
Nanti disunting si orang lalu
kecewa kalbu penuh cemburu
Untuk Bungamu – M. Mashabi
Saat dilanda gundah, Dodo kerap termenung di deretan peron kuning Stasiun Manggarai sambil memerhatikan lalu-lalang orang-orang yang pulang kerja. Hal yang sama kadang ia lakukan di Stasiun Jatinegara. Ini dilakukan ketika kedua stasiun tersebut belum direvitalisasi.
Dodo mengaku ada ketenangan tersendiri saat melihat orang-orang yang bertegur sapa dan bertemu di pintu keluar stasiun, atau melihat langkah orang yang bergegas, terburu-buru memburu KRL, lalu tertahan di pintu dan berimpitan saat kereta melaju.
Setelah itu ia beranjak pulang, lalu biasanya memutar lagu "Renungkanlah" karya M. Mashabi menjelang tidur.
"Itu lagu rekamannya detail, tapi suaranya kaya enggak stabil," tuturnya lewat obrolan ringkas.
Ketika ditanya lagu lain karya M. Mashabi yang pernah didengarkan, Dodo menyebut judul "Untuk Bungamu" karena sering muncul di laman rekomendasi playlist. Lagu yang direkam tahun 1960-an ini juga pernah dipopulerkan oleh Meggy Z dan Muchsin Alatas.
"Pokoknya sedih-sedih," tambah guru Aikido ini.
M. Mashabi merupakan musisi legendaris pada tahun 1950 dan 1960-an. Meski namanya tidak begitu dikenal banyak orang, lagu-lagu melankolisnya masih diingat hingga saat ini.
Pada pertengahan Juni 2022, namanya diabadikan menjadi nama jalan penghubung antara Jalan M. H. Thamrin dan Jalan K.H. Mas Mansyur di Kelurahan Melati, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Bermula dari Orkes Melayu
M. Mashabi atau Muhammad Mashabi lahir di Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada 1943. Ia anak kedua dari 14 bersaudara.
Bersama Husein Bawafie dan Munif Bahasuan, ia merombak gaya musik Orkes Melayu Deli dengan memasukkan tema musik populer yang kelak melahirkan salah satu genre musik paling digandrungi masyarakat: dangdut.
Jiwa bermusiknya menurun dari sang ayah, Salim Mashabi, yang cukup aktif sebagai anggota Orkes Gambus Al-Wardah pimpinan Muchtar Lutfi yang rutin tampil saban malam Jum’at di RRI Jakarta warsa 1950-an.
Pada masanya, musik gambus yang dikembangkan oleh Syech Albar memang cukup digemari seiring perkembangan industri film dan kemajuan piringan hitam. Ia menjadi seniman gambus yang kariernya melesat hingga ke Jazirah Arab.
Majalah Gatra dalam kolomnya berjudul “Orkes Gambus, dari Hadramaut ke Dangdut” edisi 13 September 2010 menyebut bahwa Syech Albar mengalihkan gaya musik gambus dari pengaruh Arab ke Mesir. Sehingga lagu-lagu yang dibawakan Umi Kalsoum, Abdul Wahab, dan Farid Alatras menjadi lagu yang akrab di telinga penikmat musik gambus.
Selain gambus, perkembangan musik Melayu menjadi dangdut juga terpengaruh orkes harmonium yang alat musik dominannya berupa harmonium, biola, terompet gendang, rebana, dan tamborin. Umumnya orkes ini memadukan lagu-lagu yang berpadukan musik India dan Melayu.
“Mereka memainkan repertoar campuran musik Melayu, Arab, India, dan Eropa… Perpaduan yang nantinya menjadi ciri khas dangdut adalah hal yang lumrah dalam ansambel-ansambel tersebut,” tulis Andrew N. Weintraub dalam Dangdut Stories:A Social and Musical History of Indonesia's Most Popular Music (2012:38).
Seiring waktu, beberapa orkes harmonium mulai beralih menggunakan nama orkes Melayu dan menambahkan instrumen lain seperti saksofon serta terompet untuk mempercantik melodi.
Menanamkan Embrio Dangdut
Musik Melayu umumnya dikenal dengan melodi yang mendayu-dayu dan lirik yang puitis. Lagu-lagu bergenre ini berbentuk pantun dan tidak ada refrainnya. Namun, perkembangan musik Melayu juga terpengaruh oleh musik lain yang membawa elemen-elemen seperti instrumen perkusi dan skala musik tertentu.
Selain itu, film India yang kerap diselingi lagu, yang cukup populer di Indonesia pada tahun 1950-an turut berperan dalam perkembangan musik Melayu. Bahkan beberapa lagu India banyak yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Warsa 1956, orkes Melayu yang didominasi musisi gambus seperti Husein Bawafie menggebrak dengan karya yang dilantunkan Ellya Khadam lewat lagu "Boneka dari India".
Lagu ini langsung populer dan menjadi rebutan banyak pendengar dari segala lapisan. Liriknya yang menghibur didukung instrumen musik seperti gendang yang bisa memicu luapan emosi.
“Gendang itu mudah membawa orang bergerak, tambah dengan pukulan basnya yang ritmis tidak jarang menumbuhkan selera goyang,” tukas Ellya Khadam sebagaimana dilansir majalah Tempo dalam artikel “Agar Bibir Tidak Keseleo” edisi 22 Maret 1975.
Dari sinilah M. Mashabi mulai naik ke panggung saat berduet dengan Ellya Khadam lewat lagu "Harapan Hampa", "Hilang Tak Berkesan", "Kecewa", dan "Ratapan Anak Tiri" (jadi soundtrack film dengan judul yang sama pada 1970-an).
Bersama Munif Bahaswan dan Husein Bawafie, M. Mashabi menanamkan embrio dangdut pada musik Melayu dengan cara merombak komposisi dan instrumen lagu. Mereka meninggalkan gong, memasukkan tema-tema percintaan pada lirik, dan tambahan unsur-unsur musik India dengan tetap menjaga esensi musik Melayu.
"Kalau semula musik Melayu itu musik etnis yang hanya dikenal di Medan dan Riau, mereka menjadikan musik Melayu menjadi bagian dari masyarakat Indonesia," ucap pengamat musik Melayu, Geisz Chalifah, kepada BBC Indonesia.
Pada awal 1960-an, M. Mashabi bergabung dengan Orkes Melayu Kelana Ria besutan Adi Karso dan Munif Bahaswan. Bersama grup musik ini, ia melakukan beberapa rekaman musik dan tampil di sejumlah panggung hiburan.
Nabiel A. Karim Hayaze dalam buku Mendendang Gambus Memeluk Indonesia: Legenda Seniman Musik Indonesia Keturunan Arab (2021:184) menuturkan, pada masa jayanya tahun 1960-an, M. Mashabi sering bernyanyi dan pentas di banyak tempat di Jakarta, mulai dari perkawinan, hajatan, hingga acara kumpul-kumpul.
"Salah satu tempat rutin Mashabi berdendang adalah di acara pemutaran layar tancap di daerah Kemang, Jakarta Selatan,” sambung Nabiel.
M. Mashabi dikenal dalam karyanya sebab menyederhanakan musik Melayu yang tradisional menjadi lebih modern dengan memasukkan unsur-unsur yang lebih populer, terutama unsur India.
Kontribusinya termasuk dalam merancang pola-pola musik yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diterima oleh khalayak luas. Lagu-lagunya memiliki daya tarik yang kuat, terutama bagi mereka yang sedang patah hati. Tema melankolis tersebut merupakan pengalaman dan emosi pribadinya.
Salah satu judul lagunya, "Hilang Tak Berkesan" atau "Hilang Tak Berbekas", mungkin sudah masuk ke dalam genre peralihan dari musik Melayu ke musik dangdut karena dominannya elemen gendang dan seruling.
Sampai Akhir Masa
M. Mashabi dengan sejumlah musisi lain telah membantu mengubah wajah musik Melayu menjadi sesuatu yang lebih dinamis, modern, dan sesuai dengan selera musik masa itu.
Pada periode berikutnya, musik dangdut banyak menelurkan nama-nama beken seperti Rhoma Irama, A. Rafiq, Elvy Sukaesih, Muchsin Alatas, Hamdan ATT, Rita Sugiarto, Meggy Z, hingga era Via Vallen dan Nella Kharisma yang telah mencapai ketenaran besar melalui platform digital.
M. Mashabi punya kontribusi besar dalam pengembangan dangdut yang kerap dicap kampungan itu menjadi musik yang naik kelas. Lagu-lagunya banyak dinyanyikan ulang oleh generasi berikutnya, seperti lagu “Renungkanlah” yang kembali populer pada pertengahan 1990-an oleh penyanyi A. Rafiq.
Paras Pakistan A. Rafiq, ditunjang cengkoknya yang khas dianggap beberapa penikmat dangdut sebagai cover terbaik setelah penyanyi aslinya, yakni M. Mashabi sendiri.
Pada April 2006, Meggy Z juga mengapresiasi karya-karya M. Mashabi lewat album Karya Mashabi Bersama Meggy Z yang diproduksi oleh Alunan Senada Record, perusahaan rekaman di Petamburan, Jakarta Barat.
Di album itu, Meggy Z membawakan karya-karya M. Mashabi yang sangat hits, seperti "Harapan Hampa", "Kesunyian Jiwa", "Hilang Tak Berkesan", "Renungkanlah", dan "Ratapan Anak Tiri".
Muhammad Mashabi meninggal dunia pada 1967 dalam usia muda. Ia menyanyi dengan sepenuh jiwa, dengan cintanya, sebagaimana lirik yang ia tinggalkan.
Rasa cinta pasti ada
Pada makhluk yang bernyawa
Sejak lama sampai kini
Tetap suci dan abadi
Takkan hilang selamanya
Sampai datang akhir masa
Ya, sampai akhir masa, namanya akan terus dikenang dalam sejarah musik Indonesia.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi